MOJOK.CO – Beda bintangnya, beda pula makanannya, beda pula cara memaknainya.
Kalau suatu ketika Anda menginap di hotel bintang tiga, empat, atau lima, maka sudah hampir bisa dipastikan bahwa sarapan yang akan Anda santap di pagi hari pastilah makanan yang kualitetnya jempolan dan punya rasa yang di lidah bukan hanya bisa bergoyang, tapi juga berdansa.
Apalagi kalau bintang lima, makanannya pasti sempurna.
Telor rebusnya pas dan eco. Ia seperti direbus dengan durasi yang presisi: tidak kelamaan, tidak juga kecepetan. Warna kuning telurnya sempurna serupa bendera Golkar yang masih baru dan belum sering kena angin malam dan sinar matahari.
Nasinya pun pulen setengah mampus. Dibikin dari beras terbaik. Nasi yang dengan mengunyahnya saja niscaya langsung bisa meningkatkan kepercayaan diri seseorang yang sudah bertahun-tahun menerima jatah beras cap raskin dari kelurahan.
Steak dagingnya juga pasti dibikin dari daging sapi yang mumpuni. Sapi yang pakannya saja pasti rumput pilihan yang sama sekali tidak bercampur dengan gulma, hasilnya, dagingnya begitu empuk dan legit. Tidak butuh banyak tenaga dan makian untuk bisa mengunyahnya dengan sempurna.
Buahnya apalagi. Rasanya pasti enak betul laksana buah dapat nyolong. Segarnya paripurna. Warnanya menggoda. Merahnya semangka, kuningnya nanas, jingganya pepaya, dan putihnya begkoang, semuanya tampil dalam warna yang paling ranum dan paling estetik, yang semakin menyelerakan hati untuk segera melahapnya.
Kalau hotel yang nggak berbintang, ya jangan harap bisa mencicipi kesempurnaan-kesempurnaan di atas. Mentok roti panggang dengan isi coklat yang tidak merata. Kadang sesekali menunya nasi goreng yang rasanya, mengutip apa kata Mahbub Junaidi, netral. Tidak manis tidak juga asin. Pokoknya blas tidak ada rasa nasi gorengnya.
Itu juga masih beruntung karena roti dan nasi goreng bagi sebagian orang dianggap masih cukup kompetitif dan menyenangkan.
Di beberapa hotel malah hanya menyediakan teh anget dengan kacang rebus sebagai makanannya. Makanan, lebih tepatnya cemilan, yang bakal membuat siapa pun tamu yang menginap langsung merasa sebagai seorang peronda penjaga poskamling di masa darurat kamtibmas alih-alih seorang turis tajir yang sedang melancong.
Saya tentu saja bukan pelancong yang rajin. Kendati demikian, saya cukup sering menginap di hotel berbintang.
Musababnya karena saya sering sekali diminta untuk menjadi pemateri kelas menulis atau menjadi pengisi acara mewakili kantor tempat saya bekerja. Kalau acara tersebut diselenggarakan di luar kota, saya sering diinapkan di hotel yang bagus oleh panitia. Sungguh berkah anak shaleh.
Namun, saya jarang sekali bisa menikmati makanan hotel. Entah kenapa, seenak apa pun sarapan yang disediakan oleh hotel, rasanya tak pernah bisa memuaskan batin saya. Kenyang memang kenyang. Enak memang enak. Namanya juga hotel bagus, hotel berbintang. Namun rasanya kayak ada yang kurang.
Saya baru merasa plong kalau saya sudah makan ayam penyet atau pecel lele hasil beli via go-food yang kemudian saya makan di dalam kamar sembari menonton tayangan ular yang sedang memburu kodok atau azab piton rakus yang tertusuk duri-duri landak di channel National Geographic.
Ada semacam kepuasan saat memakan pecel lele itu. Pada setiap suapan yang masuk, ada bagian dari diri saya yang hilang sejak menginap di hotel yang seakan muncul kembali.
Perasaan itu sudah saya rasakan bahkan sejak driver go-jek mengirim pesan “Pak, saya sudah di depan!”
Saya, setelah membaca pesan tersebut, bakal langsung bergegas. Saya melompat dari tempat tidur, saya raih kacamata, saya pakai sandal hotel saya yang empuk itu, langsung saya merangsek keluar kamar dan segera menuju ke lobi.
Keluar dari lift, saya cepat melesat. Dari jauh, sudah tampak si Bapak driver berdiri mencangking makanan pesanan saya.
“Bapak Agus, ya?”
“Iya,” jawab saya.
“Ini, Mas,” katanya sembari menyerahkan bungkusan yang ia tenteng kepada saya.
“Sudah pakai go-pay ya, Mas.”
“Ya, Mas,” jawabnya.
“Sudah lama kerja di sini, Mas?” tanyanya.
Saya tercekat. Bajingan. Ia ternyata mengira saya karyawan di hotel ini, dan bukannya tamu.
Saya tentu saja agak tersinggung dengan pertanyaan itu. Pertanyaan itu seolah meragukan kemampuan finansial saya. Pertanyaan yang berisi tuduhan bahwa tampang saya ini tidak punya potongan turis yang kuat nginep di hotel berbintang.
Tapi sebagai pribadi yang luhur, tentu saja tetap saya jawab belaka pertanyaan yang berbau tantangan terbuka itu.
“Saya nginep di sini, Pak.”
“Oh…”
Ia kemudian berlalu, saya pun kembali ke kamar.
Kali ini, ada perasaan aneh yang lain. Saya merasa tak perlu memakan pecel lele untuk menghadirkan kembali sebagian dari diri saya yang hilang sejak menginap di hotel. Pertanyaan keparat dari driver go-jek tadi ternyata sudah cukup untuk menghadirkan kembali sebagain dari diri saya yang hilang.
Kelihatannya memang sudah sepantasnya saya diragukan. Seharusnya memang begitu.
Di dalam kamar, membuka bungkusan makanan tadi sambil harap-harap cemas, semoga isinya benar-benar pecel lele, bukan teh anget dan kacang rebus.