MOJOK.CO – Penting untuk kita tidak ikut terprovokasi dan berusaha memahami konteks konflik Muslim dan Hindu di India yang sedang terjadi ini. Apa sih penyebabnya? Apa benar itu konflik agama?
Hastag #ShameOnIndia dan #Hindu_is_terrorist menjadi trending topik twitter di Indonesia menyusul berita terkait konflik kekerasan yang melibatkan kelompok muslim dan Hindu di India. Dari pengamatan saya, kedua trending topik tidak datang secara organik, melainkan muncul sebagai BoT yang membahas sesuatu yang tidak relevan dengan asal memasang kedua hastag tersebut.
Semakin saya telusuri, saya menemukan beberapa akun yang sejenis hendak melakukan provokasi dengan menyebarkan video kekerasan yang terjadi di India dengan menghilangkan konteks. Kenapa saya bilang provokasi? Ya karena alasan yang menyebabkan konflik terekskalasi antara kelompok muslim dan hindu di India dibahas secara parsial.
Konflik ditunjukan seakan-akan kelompok muslim di sana dirusuhi karena kelompok Hindu India punya kekuatan untuk melakukan itu (iya sih, mereka emang punya kekuatan untuk itu, tapi ada hal lain yang mendorong mereka melakukannya).
Memandang ini sebagai konflik Islam vs Hindu menurut saya sangat berbahaya karena bisa memicu sentimen buruk terhadap kelompok Hindu di Indonesia yang nggak salah apa-apa. Gimana kalau mereka dijadikan sebagai sasaran kemarahan kelompok muslim yang merasa harus bersolidaritas dengan muslim India?
Nah, sebagai manusia waras yang mengedepankan kemanusiaan, sebaiknya kita menyikapi konflik ini dengan kepala dingin. Tidak ikut terprovokasi dan berusaha memahami konteks konflik yang sedang terjadi di sana. Apa sih penyebabnya? Apa benar itu konflik agama?
Dari update yang diberikan oleh Aljazeera diketahui bahwa konflik ini awalnya berasal protes damai yang dilakukan kelompok muslim atas usulan amandemen UU kewarganegaraan India yang disebut Citizenship Amandment Act (CAA) yang dianggap mendiskriminasi kelompok muslim. Protes ini berujung konflik kekerasan ketika kelompok pendukung CAA yang diwakili oleh kelompok nasionalis hindu menyerang aksi protes yang dilakukan oleh kelompok muslim.
Apa yang tercantum dalam Citizenship Amandment Act (CAA) yang dianggap merugikan kelompok muslim dan memicu protes mereka ini?
CAA mengamandemen UU Kewarganegaraan India tahun 1955. Aturan dalam CAA membuat imigran yang beragama Hindu, Sikh, Buddha, Jains, Parsi dan Kristen yang berasal dari 3 negara mayoritas muslim (Bangladesh, Pakistan, dan Aghanistan) berhak mendapatkan kewarganegaraan India setelah tinggal di India selama 6 tahun.
Kelompok muslim merasa CAA ini tidak adil karena hanya memberikan kewarganegaraan kepada imigram non muslim saja. Padahal, banyak muslim di India khususnya di wilayah Assam butuh mendapatkan pengakuan sebagai warga negara karena selama ini selalu dianggap orang asing, dan hanya berhak menerima fasilitas sebagai “tamu” saja. CAA yang mendiskriminasi kelompok muslim dianggap bertentangan dengan klaim India sebagai negara sekuler yang seharusnya menghargai semua agama.
Sebentar, jangan dulu marah. Masih ada konteks yang harus dipahami.
Alasan CAA tidak memberikan hal serupa kepada kelompok muslim adalah, kelompok muslim seharusnya tidak dipersekusi di 3 negara tempat agama mereka adalah agama mayoritas di sana (Bangladesh, Pakistan, dan Aghanistan), sehingga seharusnya tidak perlu mencari bantuan suaka dan menjadi imigran ke India.
Sejak awal, CAA memang ditujukan Perdana Menteri India, Narendra Modi, untuk melancarkan agenda “Hinduisasi” di India.
Kelompok nasionalis Hindu yang menjadi pendukung CAA mendukung UU ini karena mereka merasa negara perlu melindungi Identitas kehinduan India yang selama ini mereka anggap terancam oleh kedatangan kelompok-kelompok imigran khususnya Imigran muslim. Tanpa CAA, kelompok Hindu yang merupakan pribumi bisa jadi minoritas.
FYI muslim di India, memang minoritas. Tapi, jumlah mereka sebenarnya banyak sekali. Ada 200 juta orang. Nah, kelompok nasionalis Hindu merasa terancam atas hal itu.
Ketakutan menjadi minoritas itu dirasakan terjadi di wilayah Assam (tempat kekerasan terjadi). Kelompok pribumi yang sudah menjadi minoritas merasakan kesulitan untuk mendapat pekerjaan, kelangkaan tanah, krisis identitas (karena sejarah mereka jauh berbeda dengan para pendatang, dan bahasa yang biasa mereka gunakan mulai tergantikan oleh bahasa para imigran). Kondisi mereka semakin parah karena semakin tertinggalnya mereka dari pembangunan.
Kondisi inilah yang kemudian menjadi bahan bakar mereka untuk menjadi kelompok supremasi yang melihat orang asing sebagai ancaman. Mereka kemudian merasa harus menyingkirkan orang asing tersebut. Dan dalam kondisi tertindas agitasi dan ujaran-ujaran kebencian jadi gampang dilakukan. Inilah yang jadi masalah sebenarnya.
Pola kekerasan yang terjadi di India saat ini disebabkan karena sentimen mayoritas-minoritas yang juga terjadi pada kelompok muslim Rohingya di Myanmar, etnis Tutsi di Rwanda, dan imigran yang kerap diusir oleh kelompok nasionalis di negara-negara barat.
Poinnya: ini bukan soal konflik etnis atau agama. Tapi konflik antara mayoritas yang selama ini selalu memaksakan kehendaknya pada minoritas yang menyebabkan kelompok mayoritas ini punya ketakutan ketika berhadapan dengan fakta bahwa bisa saja di masa depan mereka menjadi minoritas dan mereka akan mendapatkan perlakuan yang sama.
Saya bukan membela kelompok Hindu atau menjustifikasi apa yang dilakukan kelompok Hindu kepada kelompok muslim. Apalagi konflik ini semakin tereskalasi dengan semakin banyaknya korban di kelompok muslim.
Saya marah bukan main kepada pemerintah India yang seakan-akan mengizinkan konflik ini untuk termanifestasi. Konflik ini seperti perpaduan sempurna untuk menjelaskan bagaimana etnisitas, agama, dan nasionalisme ketika digunakan untuk melakukan represi kepada kelompok minoritas.
Tapi kemudian membawa konflik ini ke dalam negara kita, dengan menyajikannya sebagai konflik agama itu sama saja upaya bunuh diri karena kita ikut menciptakan polarisasi yang berbahaya. Ini adalah konflik mayoritas menekan minoritas. Konflik yang harus kita akui bibit-bibitnya juga sudah ada di Indonesia.
Karena jadi mayoritas itu enak. Dia yang punya power. Dia bisa semena-mena. Memaksakan kehendak mereka, dan selalu berusaha menjaga dominasi mereka dengan terus menekan minoritas sambil bertindak seakan-akan menjadi kelompok yang paling disakiti.
Kalau kita nggak mau kayak India, jangan mau termakan narasi kacau tentang konflik yang ada di sana. Harusnya kita belajar dari India untuk tidak memperuncing sentimen perbedaan yang ujung-ujungnya menghasilkan kelompok supremasi yang senang menggunakan kekerasan.
BACA JUGA Donald Trump Mau Giveaway-In Palestina ke Israel dan Menyebutnya Sebagai Rencana Perdamaiaian atau artikel lainnya di POJOKAN.