MOJOK.CO – PKS dikritik dari berbagai sisi soal janji kampanye SIM Seumur Hidup. Sekilas janji ini nggak masuk akal. Halah, kalian aja yang nggak paham betapa jeniusnya usulan ini.
PKS lagi-lagi kena getah dari program yang dijanjikan untuk kampanye Pemilu Legislatif tahun depan. Gara-garanya sederhana, PKS cuma mengusulkan RUU untuk memberlakukan SIM seumur hidup untuk seluruh rakyat Indonesia. Ealah, cuma gitu doang kok pada protes.
Padahal apa salahnya mencoba membantu warga masyarakat biar nggak perlu repot-repot datang ke Satpas tiap (kurang dari) lima tahun sekali? Apalagi menurut Almuzzammil, Ketua Tim Pemenangan Pemilu (TPP) PKS, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi beban rakyat yang semakin berat.
Udah tarif listrik tambah mahal, beras mahal, tempe mahal, sampai orang-orang daerah Boyolali udah nggak bisa masuk hotel berbintang.
Orang-orang yang mengritik usulan PKS yang luwar biyasa ini akalnya masih belum dipakai secara penuh. Padahal apa yang diperjuangkan ini demi kemaslahatan rakyat banyak. Apalagi tarif perpanjangan SIM itu juga nggak murah-murah amat lho. Untuk SIM A sebesar 80 ribu, untuk SIM C 75 ribu.
Uang segitu sih lumayan untuk beli cilok lima tahun sekali buat kalian kelas menengah ngehek jaman now. Lah kalau buat masyarakat kismin, angka segitu lumayan buat bayar rumah kontrakan atau nambah modal usaha, bijimana seh?
Lagian, orang-orang yang nyinyir soal usulan ini tidak mau melihat fakta. Katanya hal ini tidak masuk akal karena SIM tidak bisa disamakan seperti KTP. Kata mereka, KTP memang bisa berlaku seumur hidup karena tidak ada kecakapan hidup yang perlu dicek oleh penyelenggara negara tiap periode. Ini tentu berbeda dengan SIM yang membutuhkan cek kemampuan berkendara tiap periode tertentu.
Selain pihak yang nyinyir, pihak Kepolisian dan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, juga tidak sepakat dengan usulan tersebut. Hedeh, dasar orang yang nggak mau memikirkan kemaslahatan umat.
Jika pihak Kepolisian menganggap SIM tidak bisa disamakan dengan KTP, maka Fahri Hamzah menyoroti bahwa usul ini justru kontraproduktif dengan usaha pemerintah untuk menggiatkan transportasi massal.
Yah, maklum aja sih. Kepolisian kan emang nggak pernah suka sama PKS, sama seperti Fahri Hamzah, kader yang dipecat dari partai kebanggaan kita semuwa itu. Mana ada orang yang suka dengan pihak yang telah memecat dirinya ya kan?
Padahal orang-orang yang nyinyir sama janji kampanye PKS ini nggak mau melihat keadaaan yang sebenarnya di lapangan.
Coba deh kalau ente ke Satuan Penyelenggaraan Pelayanan (Satpas) SIM untuk perpanjangan SIM, jika SIM ente masih dalam masa aktif untuk diperpanjang, apakah ente bakal dites ulang? Kan nggak dong. Yang ada ya ente cuma diminta antre, bayar, antre lagi, foto, antre lagi, lalu ambil deh SIM baru. Mana ada tes kecakapan berkendara lagi ya kan?
Beda kalau memang SIM ente sudah mati, sudah nggak berlaku. Lalu ente datang ke Satpas untuk bikin SIM, nah saat kondisi seperti itu baru ente disuruh untuk tes lagi. Itu baru yang namanya tes kecakapan berkendara lagi. Tes yang berguna untuk menilai apakah ente masih berhak menyandang SIM itu atau tidak.
Fakta semacam ini seolah-olah dilupakan saja sama pihak yang nyinyir. Seolah-olah usulan ini nggak ada masuk akalnya sama sekali. Padahal kan ini semua karena mengacu pada kenyataan di lapangan saja.
Kita tes berkendara itu cuma saat kita mau bikin SIM pertama kali, kalau perpanjangan mana ada itu tes praktik dan teori segala? Idih, bicara soal konsep ideal, padahal argumentasi yang digunakan untuk ngritik jebul juga nggak ideal tuh. Malu-maluin emang.
Lalu kalau ada dari kalian yang kemudian bilang; lah kalau begitu seharusnya solusinya bukan dengan RUU SIM seumur hidup dong, tapi dengan memperbaiki sistem perpanjangan SIM supaya pemilik SIM benar-benar bisa terpantau kecapakan berkendara dalam periode tertentu.
Nah, di situlah letak kejeniusan PKS sebagai sebuah partai kebanggaan kammi.
Pihak tukang nyinyir usulan RUU tersebut nggak sadar bahwa sebenarnya PKS sedang mengritik sistem Kepolisian soal perpanjangan SIM. Kalau memang SIM diberlakukan dengan jangka tes setiap lima tahun bagi pemiliknya, tentu hal itu justru merepotkan banyak masyarakat.
Sudah antre lama-lama untuk perpanjangan, eh, disuruh tes teori lagi. Sudah bayar mahal-mahal, eh disuruh tes praktik lagi. Disuruh lewatin tikungan bentuk S, bentuk angka 8, sampai dengan tes-tes sulit lainnya, padahal dulu waktu bikin SIM udah lulus semua. Masa mau diulang lagi? Merepotkan lah.
Sebenarnya sih PKS mau mengupayakan hal-hal itu. Agar para pemegang SIM terpantau oleh Kepolisian bahwa mereka benar-benar cakap berkendara. Dengan sulitnya ujian untuk mempertahankan SIM tersebut (baca: perpanjangan) pemegang SIM jadi nggak bisa main-main lagi.
Ada kontraprestasi dari keringat yang bercucuran saat mengikut tes, ada kesabaran yang digerus saat datang antre, ada air mata menahan emosi karena mau nyogok sekarang udah nggak bisa (katanya). Akhirnya, SIM yang susah didapat dan diperpanjang akan dijaga betul-betul biar nggak kena tilang.
Pengendara-pengendara yang berkompeten dengan SIM yang susah diperpajang akan hati-hati di jalanan. Lalu pelanggaran di jalan raya bisa ditekan karena yang berkendara paham betul rambu-rambu lalu lintas, terus secara otomatis angka kecelakaan bakal bisa dikurangi.
Kalau sudah begitu maka cita-cita Fahri Hamzah supaya kepemilikan SIM diperketat guna memaksa masyarakat mau naik transportasi publik dengan sendirinya bisa tercipta. Ya daripada tiap lima tahun mesti tes terus, mending naik bus umum ya kan? Tuh, gimana? Hebat kan?
Masalahnya, kalau memang PKS sejenius itu, lalu kenapa Almuzzamil, Ketua Tim Pemenangan PKS, tidak berterus terang saja bahwa usulan mereka sebenarnya justru mendukung usulan Fahri Hamzah?
Bahwa PKS sebetulnya punya janji kampanye agar masyarakat kita itu perlu dipantau betul-betul dalam berkendara? Ini malah yang keluar usulan konyol RUU SIM seumur hidup.
Jawabnya: ya karena usulan semacam ini nggak populer lah.
Sebab, rakyat mana mau memilih partai yang ngusulin hal yang bakal nyusahin mereka. Lha wong jelas ini kampanye buat rakyat, bukan buat Kepolisian. Hedeh, ada-ada saja.