MOJOK.CO – “Drama Prambanan” menunjukkan satu kesan ini: betapa manajemen PSS Sleman semakin berjarak dengan suporternya sendiri. Kalau merasa benar, kenapa menjauh?
Kelakuan orang-orang berduit memang kadang aneh-aneh. Saya sebut aneh karena mereka kelompok minoritas yang punya cara pandang berbeda.
Di Indonesia, yang katanya negara kaya akan sumber alam saja, jumlah mereka hanya 0,05 persen dari total jumlah penduduk (data 2020). Dan karena mereka hanya segitu jumlahnya, logika berpikir mereka akan dianggap aneh ketimbang sekian persen sisanya.
Ibaratnya, jika mayoritas penduduk Indonesia yang tidak kaya cukup puas main Football Manager (FM) atau mainin mode Master League di PES maupun FIFA, maka orang-orang kaya tadi bisa beli saham klub betulan. Lalu memainkannya seperti kita main FM.
Meski begitu, sekalipun saya menggemari permainan simulasi sepak bola, tapi sebagai orang yang tidak kaya, saya masih merasa bahwa keputusan beberapa orang kaya di Indonesia untuk merawat klub sepak bola pakai uang betulan sebenarnya masih jadi keputusan aneh.
Ngapain buang-buang duit untuk bisnis tak masuk akal seperti membeli saham sebuah klub sepak bola?
Boro-boro di Indonesia, kamu beli klub bola di Thailand atau Malaysia yang lebih “modern” dari iklim bola di Indonesia saja kamu belum tentu untung, ngapain coba main peruntungan kayak gitu di sini?
Oke lah, keputusan orang-orang kaya ini masih bisa diterima kalau buang duitnya atas dasar cinta. Punya ikatan emosional tertentu terhadap klub yang diakuisisi. Hanya saja, kalau yang digunakan pakai alasan rasional untung-rugi, ya justru tindakan yang dilakukan itu sama sekali tidak rasional.
Keanehan inilah yang saya lihat dalam “drama Prambanan” antara suporter PSS Sleman dengan manajemen PSS Sleman sejak petang kemarin (29/10).
Beberapa suporter PSS Sleman, sampai tulisan ini dibuat, masih ada yang menunggu tim kesayangannya balik ke Sleman usai bertandang dari Stadion Manahan, Solo, dan kalah secara meyakinan melawan Bali United. Mereka menunggu dengan sabar di daerah Prambanan, menanti tim kesayangannya “pulang”.
Entah karena alasan apa (konon katanya karena ada “tembok” yang menghalangi) manajemen PSS Sleman justru enggan balik ke Sleman. Tentu saja ini jadi pertanyaan banyak pihak, wabilkhusus suporter PSS Sleman.
Jangankan saya, yang memang lahir ceprot di Sleman, kawan saya Yamadipati Seno, yang merupakan suporter rival PSS Sleman saja sampai ikutan bingung dengan tingkah manajemen PSS Sleman lewat tulisan yang bisa kamu baca di sini.
Wajar kalau kemudian pertanyaan demi pertanyaan yang bermunculan sejak semalam jadi keniscayaan.
Ada apa dengan manajemen PSS Sleman? Kenapa mereka sejauh itu berjarak dengan suporternya sendiri? Kenapa mereka coba memisahkan para pemain dengan orang-orang yang sudah berdarah-darah mendukung klub ini bahkan sejak dari kromosomnya?
Okelah, tidak perlu jadi suporter PSS Sleman, tapi sebagai warga Sleman saja kami semua sadar. Otran-otran ini memang sudah berjalan kelewat akut. Sejak saham mayoritas klub kabupaten tempat saya lahir ini diakuisisi oleh you-know-who, kelakuan manajemen PSS Sleman makin aneh-aneh.
Keanehan yang mengerucut pada satu kesimpulan: bahwa manajemen PSS Sleman yang sekarang justru memiliki kesan menganggap para suporter adalah beban. Mereka seperti tidak menganggap suporter layaknya “darah” yang memompa oksigen untuk keberlangsungan hidup klub.
Tak ada kesan merangkul dari manajemen ke suporter. Benar-benar seperti pasangan sejati yang lagi pisah ranjang. Pisah ranjang karena yang satu melihat hubungan ini (klub dengan suporternya) pakai modal, sedang yang satu pakai rasa sayang.
Memangnya, sesulit itukah menghadapi kekalahan? Serumit itukah mengakui kesalahan? Sebebal itukah mengakui kekeliruan?
Kelakuan orang-orang kaya di balik manajemen PSS Sleman ini benar-benar seperti orang yang udah ketahuan salah berkali-kali, tapi merasa malu untuk mengakuinya secara terbuka. Tidak jantan untuk menghadapinya. Bahkan sekadar “melewati” rombongan suporternya sendiri saja tak mau dan tak mampu.
Ironisnya, sikap tidak sportif ini justru ditunjukkan oleh orang-orang yang mengelola sebuah organisasi sport, organisasi sepak bola. Pfft.
Apa yang dilakukan orang-orang kaya di balik manajemen PSS Sleman ini sebenarnya tidak terjadi hanya kali ini—dan saya pikir semua anak muda di Sleman juga tahu hal itu. Dan ini adalah mindset yang tak boleh diremehkan, kalau kamu-kamu-kamu benar-benar mencintai klub ini.
Soalnya, kalau kita tarik agak jauh, usaha menjauhkan fans genuine (penduduk sekitar tempat klub itu berada) dengan klub sepak bola juga pernah terjadi juga dalam sejarah sepak bola. Dan itu terjadi jauh di Inggris sana. Bertepatan dengan kemunculan merek dagang bernama Premier League pada 1992.
Secara singkat saja (bisa kepanjangan kalau saya runut sejarahnya), PSSI-nya Inggris merancang usaha untuk mengondisikan tribun klub sepak bola di negaranya. Tidak ada lagi pagar pembatas, tidak ada lagi tiket berdiri, semua penonton harus mendapat tempat duduk.
Ide ini di satu sisi memberi efek positif karena sukses mengindustrialisasi sepak bola Inggris, meski di sisi yang lain—entah disadari atau tidak—membuat tiket menonton pertandingan jadi jauh lebih mahal untuk ukuran suporter genuine klub sepak bola di sana.
Imbasnya, kemunculan Premier League pada saat itu justru “sukses” menyingkirkan para suporter sepak bola dari kalangan menengah ke bawah. Mereka yang sudah berdarah-darah membela klub kebanggaannya layaknya prajurit yang rela mati untuk tanah airnya disingkirkan secara sistematis, terstruktur, dan masif lewat pola ini.
Pada perkembangannya kemudian, suporter di stadion berganti menjadi “turis-turis” yang ingin menyaksikan kemegahan pentas teater di atas lapangan sepak bola. Masih ada memang yang suporter dari kalangan lokal, tapi mayoritas sudah tersingkir ke pojokan bar demi bar di luar stadion.
Kebanggaan terhadap teritori klub pelan-pelan memudar karena industrialisasi ini mengubah sebuah klub lokal menjadi merek dagang global. Dari sana lalu kita mengenal apa itu Manchester United, Liverpool, Manchester City, sampai Newcastle United. Merek-merek dagang yang mempesona untuk jadi tempat tujuan wisata dengan konsekuensi: “menyingkirkan” penduduk sekitar dari stadion sepak bola.
Persis seperti kehadiran orang kaya yang melihat sebuah sumber tambang di sebuah daerah. Lalu mengakuisisinya, mengeksploitasinya, dan ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan di lapangan, mereka akan berkelit untuk menyingkirkan eksistensi orang-orang asli yang sudah mendiami daerah itu.
Sebuah skenario yang semoga saja tidak pernah terjadi dengan PSS Sleman.
BACA JUGA Menculik PSS dan tulisan soal PSS lainnya.