MOJOK.CO – Kita mungkin tertawa dengar teori konspirasi illuminati versi Ustaz Rahmat Baequni. Jangan salah, bagi pengikutnya, teori ini adalah pencerahan luar biasa.
“Umat islam sekarang memang sedang ditindas, Le,” ujar tetangga mertua saya ketika sowan.
Kebetulan usai salat ied pada hari Lebaran, saya bersama keluarga mertua bakdan ke kerabat di sekitaran kampung. Ditemani anak dan istri, saya sowan ke kediaman beliau. Saya biasa memanggil beliau, Pak Lik—meski bukan Pak Lik saya betulan.
Beliau lalu bercerita banyak soal keadaan umat Islam belakangan ini—tentu menurut versinya.
“Kita alim dikit dibilang ekstrimis, radikal. Orang-orang Islam yang pintar dikasih beasiswa ke negara-negara kayak Amerika, padahal kan harusnya ke Timur Tengah. Belajar Islam kok ke Amerika. Itu kan keliru. Ya sembrono itu. Jadi liberal kan sekarang mereka-mereka itu. Ini memang udah konspirasi menghancurkan Islam dari dalam,” kata beliau lagi.
Saya cuma manggut-manggut saja. Sambil sesekali menjawab, “Injih, Lik.”
Tak berselang lama, saya kemudian sowan ke saudara saya yang lain. Seolah tahu apa yang baru saja saya gelisahkan, beliau lalu bercerita soal keherannya dengan beberapa umat muslim yang mengeluhkan keadaan Indonesia hari ini.
“Kita itu salat di masjid atau lapangan alun-alun masih bisa, takbiran semalam suntuk masih boleh, konvoi takbir keliling malah didukung Pemda, kok bilang kita ini tertindas ini bagaimana?” kata Pak De saya.
“Yang begini ini yang bikin kita jadi keras. Khawatir sama keselamatan kita karena musuh yang kita bikin-bikin sendiri. Padahal musuh yang asli malah nggak dihadapi. Ya musuh yang asli itu kebodohan dan merasa udah pintar,” kata Pak De.
Kali ini saya manggut-manggut lagi. Tapi tentu manggut-manggutnya beda. Jika yang pertama manggut-manggut saya hanya bagian dari adab seorang tamu, yang kedua karena saya lebih cocok dan setuju sebagai seorang keponakan.
Kalau mau dilacak jauh ke belakang, Pak Lik saya yang melihat umat sedang tertindas ini bisa dimengerti. Di dekat rumahnya ada pesantren yang sudah tutup. Sudah tutup mungkin hampir 10-an tahun lamanya. Alasannya sederhana: nggak ada yang mau nyantri di situ.
Kenapa? Karena ketika pengasuh (sekaligus pendiri) pesantren tersebut wafat, putra-putranya tak ada yang mau meneruskan. Karena kehilangan sosok patron kiai, ya jelas tinggal menunggu waktu pesantren itu tutup.
Jujur, seumur-umur saya baru tahu ada riwayat sebuah pesantren betulan bisa tutup. Saya pikir, lembaga pendidikan “swasta” seperti pesantren tidak mungkin mati karena kuatnya kultur masyarakat muslim kita terhadap pesantren. Siapa sangka, di dekat lingkungan saya sendiri fenomena tersebut betulan ada.
Efek dari “kematian” pesantren ini kemudian merembet. Mereka yang bukan dari golongan keluarga pendiri pesantren (alias tetangga-tetangga yang saya sowani) melihat bahwa ini adalah keruntuhan tradisi keislaman di lingkungannya. Terutama dengan mata kepala sendiri melihat pemerintah nggak mau ikut membantu kelangsungan lembaga agama di kampung mereka.
Lalu ketika melihat anak-anak muda di kampung memilih sekolah umum ketimbang ngaji di pesantren, tiba-tiba mereka menyalahkan hal-hal di luar jangkauan mereka. Hal-hal yang kemudian mewujud dalam bentuk “memusuhi” hal di luar mereka. Dari liberal, pemerintah yang zalim, sampai teori-teori konspirasi yang ingin gerogoti agama Islam.
Dalam konteks yang lebih luas, perasaan tertindas ini kemudian bisa berkembang sampai teori konspirasi illuminati versi Ustaz Rahmat Baequni. Rumusnya sederhana: merasa tertindas –> ada kekuatan besar yang menggerogoti –> lawan.
Ketika sebagian dari kita menertawakan teori-teori yang dimunculkan Ustaz Rahmat Baequni, ada segelintir umat Islam yang percaya juga dengan penjelasan Ustaz Rahmat Baequni. Bahkan menganggap pemaparan Ustaz Rahmat Baequni adalah penemuan besar abad ini.
Beberapa dari kita yang sudah pernah lihat film Zietgeist (salah satu referensi Ustaz Rahmat Baequni) sejak 15 tahun lalu mungkin terheran-heran ketika ada orang yang percaya.
Hm, asal kamu tahu saja, perkara ketakutan terhadap hal-hal abstrak yang dibawakan Ustaz Rahmad Baequni semacam ini sebenarnya tidak hanya muncul dalam agama Islam. Tak perlu merasa istimewa seolah-olah fenomena kayak gini hanya dialami umat muslim di Indonesia.
Di utara negara Indonesia, sikap serupa juga muncul. Tepatnya di Myanmar. Bahkan sikap ini muncul dari agama paling tidak ambisius di dunia: Buddha. Sampai kemudian dunia diperlihatkan munculnya seorang ekstrimis Buddha bernama Ashin Wirathu.
Jika di negara kita, musuh umat Islam adalah illuminati, liberal, bahkan pemerintah sendiri, di Myanmar para ekstrimis memiliki sikap perasaan tertindas ini karena keimanan umat Buddha digerus oleh adanya agama Islam.
Ya, kamu tak salah baca, Islam adalah masalah besar bagi ekstrimis Buddha di Myanmar.
“Kami umat Buddha membiarkan mereka bebas mempraktikkan agama mereka, tetapi begitu muslim jahat ini memiliki kontrol dan otoritas atas kami, mereka tidak akan membiarkan kami mempraktikkan agama kami,” ucap Wirathu.
Coba kamu ganti kata Buddha di kalimat Wirathu itu dengan kata Islam, lalu kata muslim diganti dengan kata—entah—illuminati, kaum liberal, atau umat agama lain. Gimana? Terlihat mirip sama sesuatu nggak?
Oh iya, Wirathu juga pernah ditangkap pemerintah karena sikap radikalnya tersebut. Dan apa kamu tahu narasi apa yang dimunculkan oleh para pengikutnya?
Mereka menilai pemerintah sudah zalim karena sudah mengkriminalisasi seorang “guru” yang membela kepentingan agama dan negara.
Tentu saja, kamu bisa membantah argumentasi ini dengan menyebutnya sebagai sebuah cocoklogi belaka. Tidak jauh beda dengan penjelasan Ustaz Baequni yang menuduh Masjid Al Safar rancangan tim Ridwan Kamil beraroma illuminati.
Hanya saja, yang ingin saya tekankan adalah mengenai perasaan takut berlebihan terhadap sesuatu yang tak dipahami itu emang bisa muncul secara alami—meski tak selalu bisa dibenarkan.
Masalahnya, sikap ini malah bikin orang-orang ini anti untuk mempelajari apa yang mereka musuhi. Ya, maklum, dasarnya ada rasa benci. Itulah kenapa kata-kata Don Corleone dalam film The Godfather begitu relevan, “Never hate your enemies; it affects your judgment.”
Ketika penilaian kita sudah tertanggu karena sikap benci, pada titik tertentu sikap khawatir berlebihan semacam ini bisa memunculkan perasaan ogah mempelajari apa yang sedang dihadapi.
Tanyakan itu pada Joseph Gobbles, Menteri Propaganda NAZI—misalnya, yang memilih mati daripada harus terpapar ideologi yang dibawa Soviet pada Perang Dunia II. Ideologi yang benar-benar dibencinya sampai ke tulang.
Ketika “tentara merah” Soviet sudah mengepung Berlin, Gobbles memilih membunuh keluarganya. Tiga anak dan istrinya dia berikan satu per satu pil sianida. Dia sendiri (konon) memilih menembak kepalanya, agar tidak terjerumus ke “neraka” Soviet dengan ideologinya.
Sikap ketakutan memang selalu memunculkan tindakan survive pada tingkat yang mengerikan—meski itu merupakan perilaku dasar makhluk hidup. Bedanya, pada manusia, ketakutan pada ideologi dan pengetahuan bahkan dipercaya tidak bisa membawa “selamat” sampai ke kehidupan setelah mati. Lalu bikin kematian jadi hal yang tak menakutkan lagi.
Ketika kematian sudah tidak terlihat menakutkan padahal kekhawatiran sudah semakin tak tertahankan, aksi nekat akan jadi langkah terakhir yang bakal dilakukan. Sebab orang-orang ini memang sedang berjuang mencari keselamatannya sendiri-sendiri.
Dan keselamatan itu dipercaya mewujud dalam teori konspirasi illuminati yang dibongkar oleh Ustaz Rahmat Baequni.