MOJOK.CO – Ketika standar pendidikan Indonesia begitu tinggi, tapi pemerintah tak mampu kasih tangga, bimbel macam Ruangguru lah yang akhirnya makelarin beli tangga.
Melihat begitu gencarnya amarah-murka-penuh-durja netijen Indonesia kepada Ruangguru, sejujurnya saya heran bukan kepalang.
Ya heran saya saja sama mereka yang sirik dan dengki sama kesuksesan Ruangguru selama ini. Terutama setelah Ruangguru sukses bikin pagelaran akbar yang ngeblok 9 stasiun tipi beberapa waktu lalu.
Ini serius. Heran saya.
Coba ngana sekarang pikir. Bukannya keberadaan Ruangguru atau program bimbingan belajar (bimbel) macam tu justru merupakan contoh konkret bagaimana nyampluk muka pemerintah itu ndak perlu pakai cara demo-demo atau main tagar-tagaran?
Hmmm, sebelum kamu bingung lantas mau ngamuk-ngamuk, dengerin penjelasan saya dulu.
Gini.
Apa ngana selama ini sadar, keberadaan bimbel semacam Ruangguru itu menjadi bukti bahwa pemerintah kita sangat payah soal kebijakan-kebijakan pendidikan? Bukan pemerintahan kita saat ini aja, tapi sejak jaman dulu.
Yaaah, nggak perlu ngomong soal pemerataan fasilitas pendidikan dulu deh, kita ngomongin soal standar pendidikan secara umum aja laaah. Yang general gitu.
Jangankan untuk orang kismin tak berpunya, bagi orang berduit saja, masih banyak kok yang ngerasa pendidikan Indonesia selama ini dianggap tak cukup memfasilitasi sebagai alat bantu kesuksesan.
Sebentar, sebentar, bagaimana premis nggapleki semacam ini bisa muncul?
Hayaa dengan membanjirnya program bimbel sejak era Tes Hasil Belajar (THB) sampai era Ujian Akhir Sekolah (UAN). Sejak dari kemunculan Primagama, Neutron, sampai Ruangguru yang ngetren belakang ini.
Keberadaan lembaga bimbel swasta macam tu, sebenarnya menunjukkan betapa bimbel merupakan salah satu ini bisnis pendidikan yang menjanjikan sejak dahulu kala.
Kenapa? Ya karena di saat pemerintah ngasih standar nilai pendidikan begitu tinggi, lalu nggak mampu ngasih solusi ke sekolah-sekolah, bimbel-bimbel ini lah yang akhirnya memanfaatkan ruang kosong ketidakmampuan pemerintah itu.
Bahkan dulu ketika era UAN masih jadi sosok mengerikan bagi adik-adik kita di sekolah, bimbel cukup bisa mendulang panen raya memanfaatkan ketidaksinkronan pemerintah dalam memberi standar kelulusan dengan fasilitas pendidikan.
Makanya kemudian maklum saja kalau masyarakat menengah ke atas yang duitnya lumayan ada, menggunakan fasilitas bimbel itu tanpa merasa perlu menuntut lebih ke pemerintah. Ya udah deh, kalau standar pendidikan di Indonesia ini tinggi dan cara belajarnya adalah kawin silang antara gaya kolonial cum milenial, kita mandiri aja cari cara belajar di luar sekolah.
Kan lebih baik menyalakan lilin ketimbang menyalahkan kegelapan to? Bukan begitu, Mas Belva?
Dan salah satu cara menyalakan lilin itu ya ikut bimbel. Apalagi kalau ikutnya Ruangguru yang pemiliknya adalah mantan staf khusus presiden itu. Ini mah nggak cuma nyalain lilin, tapi udah nyalain kompor namanya. Kompornya yang punya bimbel tapi.
Tentu saja sekolah-sekolah swasta sebenarnya juga sudah menyediakan fasilitas itu semua. Apalagi sekolah swasta yang standarnya internasiyinil. Cuma kebanyakan harga SPP-nya kelewat mahal. Wajar kalau bimbel jadi alternatif yang lumayan “ngirit”.
Sekolah tetep di sekolah negeri yang murah meriah aja, tapi bimbelnya yang keren sekalian.
Oleh karena itu, kalau kita mau berprasangka baik, keberadaan bimbel semacam Ruangguru itu sebenarnya merupakan kritik paripurna terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Mereka tahu betul pendidikan di Indonesia nggak bagus-bagus amat kok, makanya terus bikin bimbel.
Ya iya dong, coba aja ngana suruh Mas Belva bikin bimbel Ruangguru di Finlandia sana. Hapasti nggak bakal laku saya jamin. Kenapa? Ya karena sistem pendidikannya udah bagus, ngapain harus ikut kursus segala kalau mutu sekolah negerinya udah buagus dan merata?
Oleh karena itu, saya justru bersyukur dengan adanya acara “Ruangguru 6 Tahun” itu. Karena program acara yang berisi artis dan penyanyi papan atas ini seolah jadi panggung Mas Belva untuk ngasih tahu lewat media bahwa pemerintah udah nggak becus sama pendidikan, makanya blio perlu hadir di tengah-tengah masyarakat guna memperbaiki itu semua.
Kan ini udah sesuai titahnya, “Bukan waktunya saling menjatuhkan atau saling membully. Ayo bertanya pada diri sendiri ‘apa yang bisa saya lakukan untuk negeri?’”
Lebih kerennya lagi, Mas Belva dengan Ruangguru-nya itu menggunakan kekuataan untuk mengkritik plus nyampluk pendidikan di Indonesia itu dengan memakai “bantuan-bantuan” pemerintah sendiri. Kan kueeeren banget ini sumpah.
Ini ibarat ada mahasiswa LPDP, udah dapet duit beasiswa, eh duit beasiswanya malah dibikin penelitian soal bagaimana kekurangan-kekurangan program LPDP.
Lantas dari hasil penelitiannya, bukannya dipakai untuk memperbaiki program LPDP, tapi malah bikin program kursusan untuk bisa tembus LPDP.
Ironisnya, program yang sebenernya merupakan kritik sedikit nyampluk ini malah dibiayai sama LPDP sendiri. Kan ya wangun tenan ikiiih, Pakdeee.
Memang betul og, Mas Belva dan Ruangguru pancen oye. Jan udah kayak Oskadon aja. Meski terbukti tak mampu mengobati, paling tidak sudah sukses meredakan nyeri.
Caranya? Hayaaa dengan acara-acara seremoni. Apalagi?
BACA JUGA Yang Harusnya Belva Pelajari dari Lord Luhut Sebelum Mengundurkan Diri dari Stafsus atau tulisan soal PENDIDIKAN lainnya.