MOJOK.CO – Ada cerita perjuangan seorang mahasiswi yang jadi driver Gojek dan berhasil lulus cum laude. Keren, sih, tapi harus banget, ya, dielu-elukan berlebihan?
Lulus kuliah itu seksi, setidaknya bagi mereka-mereka yang berharap skripsi bisa mengerjakan dirinya sendiri. Saya pernah merasakan hal yang sama—capek nongkrongin pembahasan skripsi dan ingin cepat-cepat wisuda saja.
Tapi, berita yang beredar belakangan ini seolah menampar diri saya di masa lalu: Seorang mahasiswi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang berhasil lulus kuliah dengan masa studi 3 tahun 9 bulan, membawa IPK 3,67 yang berarti cumlaude, dan—ini yang menjadi daya tarik bagi banyak pembaca—ia merupakan mahasiswi yang jadi driver Gojek sejak semester 5.
Namanya Leony, dan kisahnya menjadi viral setelah thread tentang dirinya diluncurkan di Twitter. Disebutkan, Leony adalah mahasiswi yang masuk Jurusan Hukum dan Masyarakat—yang merupakan jurusan dengan “kutukan” lulus paling lama—sekaligus mahasiswi yang aktif di organisasi dan lomba debat. Kesibukannya ini berlanjut dengan pekerjaannya sebagai driver, dan dia berhasil “membayarnya” tuntas dengan toga dan slempang cum laude.
Terdengar fantastis? Tentu saja.
Tapi, apakah hal-hal semacam ini baik untuk dielu-elukan? O, tunggu dulu.
Pola yang sering berulang di masyarakat kita adalah betapa cepatnya seseorang yang dianggap fantastis ini menaiki tangga kepopuleran. Karena dianggap hebat (meski tentu saja mereka hebat beneran!), semua orang jadi ingin mengulang kisahnya lagi dan lagi, termasuk pada kisah mahasiswi yang jadi driver Gojek di atas.
Apa yang kita temukan viral di media massa hari ini, bukan tidak mungkin bakal muncul di layar televisi tiga hari kemudian, lengkap dengan narasi yang spektakuler, bahkan kadang dikisahkan dengan sedikit dramatis.
Bahwa Leony si mahasiswi yang jadi driver Gojek itu berprestasi, saya setuju. Tapi, ayolah, kenapa sih kita suka sekali “mendewa-dewakan” manusia yang dianggap super berprestasi?
Maksud saya, tidakkah ini malah jadi “mengguncang” bagi sebagian orang?
Mereka yang seusia Leony mungkin sekarang justru sedang insecure atas kemampuannya sendiri. Apakah mereka yang masa studinya memasuki 3 tahun 10 bulan berarti tak bisa dianggap sehebat Leony? Apakah mereka yang tidak menyambi pekerjaan lain dan masih (terpaksa) bergantung pada orang tua tidak pantas diapresiasi atas nilai-nilai kuliahnya yang cemerlang?
Ada kasus mahasiswa-mahasiswa baru yang berusia 15 tahun, sedangkan kebanyakan dari kita masih duduk di kelas 10 SMA di usia yang sama. Selagi kita masih sibuk memikirkan jurusan sekolah dan mata pelajaran pilihan untuk UN, orang ini sudah sibuk dengan urusan ospek, dan tentu saja bergaul dengan teman-teman baru yang usianya 3 hingga 4 tahun lebih tua.
Karena kehebatannya pula, manusia-manusia berprestasi ini kerap menerima tekanan dan tuntutan dari masyarakat, tanpa sadar. Bukan tidak mungkin, dalam kasus Leony si mahasiswi yang jadi driver Gojek tadi, kita jadi berekspektasi ia bakal lolos beasiswa Master dan tetap bisa seimbang menjadi driver Gojek tanpa lelah sedikitpun.
Padahal, sekeras apa pun Leony bertekad dan berencana, ia berhak untuk menjalani hidupnya sendiri, tanpa dibebani ekspektasi yang berat dan menuntut.
Hal yang sama berlaku pada mahasiswa-mahasiswa baru yang masih super muda di usianya yang 15 tahun. Selagi kita mengelu-elukannya dan mengirim doa (atau tuntutan) baginya untuk kuliah dengan sukses dan cemerlang, tidakkah mungkin ia sedang bertanya-tanya bagaimana serunya merasakan cinta monyet di SMA bareng teman-teman sebayanya? Atau, merokok diam-diam di belakang kantin setiap istirahat?
Apresiasi itu perlu—penting, bahkan. Tapi, ayolah, hati-hati. Jangan sampai harapanmu jadi ekspektasi berlebihan yang membebani orang tersebut, atau bahkan mengecilkan perjalanan orang lain.
Lagian, sebelum sibuk-sibuk mengelu-elukan dan mengapresiasi orang lain berlebihan, mbok kamu tu ngaca dulu: Kamu udah mengapresiasi diri sendiri belum hari ini?