MOJOK.CO – Maunya pemerintah apa sih? Mahasiswa disuruh kuliah ke luar negeri, eh sekarang dosen asing disuruh ngajar di sini.
Halo, anak-anak LPDP, sudah cukup deg-degan membaca berita dosen asing boleh bekerja full time di Indonesia? Hehehe.
Bukan cuma dosen dan para awardee yang terhormat yang deg-degan, kalau mau tahu, guru-guru juga ikut sport jantung. Jangan-jangan habis ini guru SMA juga boleh impor? Guru-guru sekolah internasional? Guru-guru kelas internasional? Guru-guru les bahasa asing? Guru kungfu? Guru masak?
Wajar guru, dosen, dan awardee resah, konsumen kita kan silau sama yang asing-asing. Ini ke-nya-ta-an. Apalagi kalau asingnya ori. Belajar yoga langsung dengan guru dari India. Belajar bahasa Inggris sama native dari UK. Belajar ngaji sama hafiz dari Arab.
Bungkus luarnya, ini kayak sentimen asing vs pribumi. Lapisan di bawahnya, ini soal perebutan kesempatan kerja.
Ya, gimana nggak minder. Kalau ngomong dosen, asing pula, pikirannya pasti melayang ke orang-orang kaukasia itu. Dan jelas mereka lebih unggul karena kiblat pendidikan kita ke sana semua. Diktat kuliah, buku dari ilmuwan luar. Seminar internasional, yang ngisi peneliti luar. Model pendidikan ideal, dari luar. Ki Hadjar Dewantara who? Yang bikin slogan di topi SD itu yha?
Katanya, ini mental poskolonial. Mental negara yang pernah dijajah. Ngomong soal ini saya jadi pengin cerita.
Ada teman saya suatu hari bertanya, kenapa ya orang Barat itu kalau pidato bagus-bagus? Dari pejabat sekelas Obama, siswa SMA, sampai bocah balita yang videonya wara-wiri viral. Mereka tuh kayak… fasih banget ngomong. Bisa lugas, jelas, dan mengena, gitu.
(Saat si teman bertanya, kami masing-masing langsung bayangin Sandiaga Uno diwawancarai soal banjir.)
Agak nggak pentinglah analisis warung kopi yang kami bikin untuk menjawab pertanyaan itu. Poinnya sih, kadang memang ada praduga yang merupakan bawaan dari mental minder bekas jajahan. Tapi, di lain waktu, ada momen-momen yang bikin kita kalah beneran.
Misal, kayak guru bahasa Inggris yang pasti minder kalau dibandingin guru bahasa Inggris native. Hiks.
Saya heran sama pemerintah. Mereka menentukan kebijakan kayak merumuskan nomor togel saja. Spontan tiap bangun tidur, bawaannya pengin bikin kebijakan baru. Sementara orang di mana-mana berteriak, cari kerja susah, kesenjangan ekonomi makin ekstrem, mereka malah bikin pernyataan yang nggak pernah lengkap.
Iya, setiap ada kehebohan seperti ini, akarnya selalu sama kok. Penjelasannya nggak lengkap. Detailnya mana, wahai pemerintah? Wajar orang jadi insecure. Mereka kan memang nggak ngerti ini duduk perkaranya kayak apa. Akhirnya respons pertamanya ya marah. Persis kamu yang marah kalau diputusin tanpa penjelasan detail. Padahal ternyata putus pacaran untuk diajak menikah. Maksudnya baik jadi buruk karena tidak selesai mengutarakannya. Kayak video yang dipotong.
Sejumlah orang sudah menulis soal baik buruknya membolehkan dosen asing bekerja penuh waktu di Indonesia. Tapi, itu soal lain, itu bahasan soal mutu dan kualifikasi. Sementara, hal yang bikin orang resah ialah perkara gaji dan kesempatan kerja. Bukankah itu yang bisa kita tangkap dari kepanikan yang menyertai hoax sekian juta pekerja China masuk Indonesia? Beritanya sih hoax, sudah dikonfirmasi Menteri Tenaga kerja, tetapi rasa takutnya riil.
Saya rasa, orang bukan anti sama asing. Buktinya kita masih menjadikan kuliah ke luar negeri sebagai tolok ukur mutu dan kebanggaan. Tidak sedikit juga yang senang ketika dosen bermutu dari penjuru dunia kini mungkin untuk mengajar di Indonesia. Tapi, bagi tenaga kerja, perlu ada kepastian di muka. Bagaimana nasib dosen yang sekarang sudah ada? Nasib dosen honorer? Nasib anak-anak yang sedang kuliah di luar negeri? Nasib kesetaraan gaji dan jaminan tidak ada diskriminasi?
Cukup dengan merasakan kehidupan sehari-hari orang kebanyakan, harusnya presiden atau menteri paham hal-hal seperti ini. Sederhana sekali. Bagaimana mau meningkatkan mutu pemerintahan kalau yang pejabatnya sulit paham? Masak kita perlu impor presiden dan menteri asing yang lebih berkualitas?