MOJOK.CO – Apa yang ada di pikiran istri terduga teroris di sibolga ketika memutuskan untuk meledakan diri?
Selama ini, ketika membicarakan teroris, bayangan yang muncul dalam otak kita adalah bayangan lelaki bersenjata dengan bom di tangannya (sebagai pelaku) dan bayangan anggota densus 88 lengkap dengan senjata laras panjang, rompi, helm, dan kaca mata hitam yang mirip orang mau fogging (sebagai petugas).
Nggak pernah rasanya muncul bayangan perempuan. Ya ada sih, tapi ya bayangan sebagai korban atau istri dari pelaku teroris yang menangis karena si suami digondol densus 88 tadi.
Bahkan setelah kemunculan Dian Yulia Novi—perempuan calon pelaku bom bunuh diri pertama yang ditangkap desember 2016 lalu—dan aksi teror bom bunuh diri Surabaya yang dilakukan oleh seorang ibu 13 Mei lalu, bayangan perempuan sebagai pelaku kekerasan masih saja wagu dalam pikiran kita.
Lha nggak wagu gimana, perempuankan makhluk tuhan paling baik je, beda sama laki-laki yang boleh bangsat dan bajingan, pikiran perempuan terlibat kekerasan apalagi sampai bisa membunuh orang ya jelas nggak masuk akal.
Kalau pun ternyata terbukti bisa melakukan kejahatan, otak kita pasti langsung menyangkal dengan menganggap bahwa kejahatan yang dilakukan perempuan itu pasti karena akal busuk dan pengaruh laki-laki yang meracuni otak dan pikiran mereka. Pokoknya perempuan itu ya nggak mungkin jahat titik!
Tapi hari ini, lagi-lagi saya meragukan premis-premis itu ketika istri terduga teroris di Sibolga memilih untuk meledakan dirinya (dan anaknya) daripada menyerahkan diri ketika si suami jelas-jelas sudah tertangkap terlebih dahulu oleh Densus 88.
Bukankah logikanya jika perempuan tergabung dalam kelompok kekerasan karena ikut-ikutan atau terpengaruhi suami harusnya dia ikut menyerahkan diri ketika si suami jelas-jelas sudah ditangkap densus dan polisi?
Ya ngapain coba dia harus resisten ketika dia harusnya menuruti apa yang dilakukan suaminya? Tapi kenyatannya, dia tidak melakukan itu semua. Dia memilih meledakan dirinya daripada menyerahkan diri dan kembali bersama suaminya.
Saya jadi membayangkan teror jenis apa yang ada di kepala istri terduga teroris di Sibolga itu.
Apa yang ya yang dia rasakan ketika harus bernegosiasi dengan polisi, densus 88, dan tokoh agama yang berkali-kali memintanya untuk menyerahkan diri sambil menyebut-nyebut nasib anak-anaknya yang tidak mengerti apa-apa?
Doktrin kekerasan apa yang saking kuatnya, bisa mematikan insting melindungi anak yang dia miliki hingga mengabaikan proses negosiasi dan akhirnya memilih untuk meledakan diri?
Apa mungkin perempuan bisa sebrutal itu?
Jawabannya adalah mungkin.
Iya, perempuan juga bisa berbuat jahat, jika memiliki motivasi dan dipengaruhi doktrin yang sangat kuat apalagi yang diberikan oleh kelompok teroris semacam ISIS.
Saya jadi ingat sebuah podcast berjudul Caliphate yang dibuat Rukmini Callimachi, seorang reporter New York Times yang menceritakan pengalamannya turun langsung ke Irak dan Suriah ketika ISIS sedang berada di awal-awal masa kejayaannya.
Rukmini dalam podcastnya itu menjelaskan sebuah doktrin yang dimiliki ISIS—yang membuat saya sebagai seorang perempuan merasa tertarik dan memikirkan bahwa apa yang dilakukan ISIS sebenarnya sangat masuk akal.
Doktrin yang dijelaskan Rukmini dalam podcastnya ini adalah doktrin yang bersumber dari sebuah ceramah seorang tokoh Salafi yang bernama Anwar Al Awlaki yang berjudul Al wala wal bara. Inti dari doktrin ini menjelaskan tentang loyalitas terhadap tuhan.
Dalam ceramah itu, Awlaki menjelaskan bahwa kalau kita mengimani tuhan, kita harus ikut membenci dan mencintai apa pun yang dibenci dan dicintai tuhan. Tidak boleh pilih-pilih.
Dan apa yang dicintai tuhan (menurut ISIS) adalah tegaknya hukum Syariah-Nya, dan yang dibenci Tuhan adalah orang-orang yang menghalang-halangi tegaknya hukum syariah itu. Siapa yang menghalang-halangi itu? Ya negara demokrasi, dan seluruh isinya utamanya polisi.
Dan siapa pun yang melawan orang-orang yang menghalang-halangi keinginan Tuhan untuk menegakan Syariah adalah sebaik-baiknya bentuk jihad. Dan ini berlaku bagi siapa saja, perempuan dan laki-laki.
Bagi orang-orang yang sudah teradikalisasi, apa yang dilakukan negara yang menekankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah terorisme terbukti menjustifikasi doktrin bahwa negara menghalang-halangi kehendak tuhan. Apalagi jika kita melihat penangkapan yang kejam yang tidak sungkan untuk melumpuhkan—bahkan membunuh seseorang yang masih disebut terduga teroris, semakin menguatkan bahwa doktrin polisi musuh Tuhan itu benar-benar nyata adanya.
Saya pikir, doktrin ini juga yang membuat istri terduga teroris di sibolga memilih untuk meledakan dirinya daripada menyerahkan diri. Artinya, saking radikalnya, dia memilih untuk mati daripada harus tunduk pada musuh Tuhan.
Kalau benar yang terjadi seperti itu, ternyata ketika perempuan teradikalisasi, perempuan bisa bertindak jauh lebih radikal dibandingkan laki-laki.
Sayangnya, selama ini kita cenderung meremehkan potensi perempuan untuk teradikalisasi. Karena yang selalu kita anggap teroris itu laki-laki, kita nggak pernah mikirin strategi proteksi yang bisa mencegah perempuan dari doktrin kekerasan yang selama ini digencarkan kelompok teroris seperti ISIS.
Dan ketika kita nggak melihat perempuan bisa radikal, di saat bersamaan kita nggak punya strategi yang bisa menangani perempuan yang sudah punya pemikiran radikal.
Coba kalau kita sebelumnya memikirkan bahwa perempuan juga bisa radikal, apa jangan-jangan kita bisa melakukan pendekatan yang lebih persuasif—dengan melibatkan sesama perempuan dalam bernegosiasi dalam kasus seperti ini misalnya, saya pikir hasilnya akan berbeda. Kan kalau yang negosiasi perempuan, mereka bakal bisa menyentuh sisi perempuan pelaku dibandingkan dengan polisi atau densus 88 yang menyeramkan itu?