MOJOK.CO – Sandiaga Uno mencitrakan dirinya sebagai politikus yang dinamis, spontan, penuh rasa humor. Apakah memang berhasil? Atau justru menjadi norak?
Gaya komunikasi politikus sangat penting perannya dalam masa-masa kampanye. Ia harus menyesuaikan diri dengan tren baru, mudah dipahami, dan menggunakan bahasa yang sederhana. Pada titik tertentu, usaha politikus untuk berkomunikasi dengan lingkungan yang baru tidak berbeda dengan anak-anak muda yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Jokowi dan Ahok melakukannya dengan baik ketika bertarung di palagan Pilkada DKI tahun 2012. Pemakaian “seragam” kotak-kotak sangat jauh dengan citra politikus yang kental dengan gaya safari, jas, atau kemeja batik resmi. Pun gaya berbusana tersebut dinarasikan dengan pas, yaitu tentang perbedaan yang disatukan. Sederhana, trendi, dan terasa dekat dengan pemilih baru.
Untuk Pilpres 2019 ini, ada dua sumber suara yang perlu dibidik oleh para capres dan cawapres. Mereka adalah yang dinamakan sebagai “emak-emak” dan milenial. Posisi “emak-emak” ini semakin penting setelah Ahok ditumbangkan oleh Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Kampanye yang menyasar ibu rumah tangga sangat efektif mendiseminasikan program dan isu.
Untuk mendekati “emak-emak”, yang dekat dengan isu ekonomi, Sandiaga Uno menggunakan pendekatan ala dirinya sendiri. Mantan wakil Anies Baswedan tersebut berusaha menunjukkan sisi humoris di dalam dirinya. Emak-emak dibuat tertawa, terpukau dengan pesona kemudaan Sandiaga Uno, kejenakaannya, dan spontanitas ketika bertemu warga.
Dibandingkan calon lainnya–Jokowi, Ma’ruf Amin, dan Prabowo–Sandiaga Uno memang yang paling muda. Seharusnya, calon wakil presiden yang merangkap pengusaha sukses tersebut menjadi calon yang paling mudah melakukan pendekatan. Bahasa, baik verbal maupun tindakan, yang paling dekat dengan usia mayoritas warga yang ada di jalanan, pasar, dan tempat keramaian lainnya.
Nah, di sini masalahnya. Usaha mencitrakan diri sebagai orang muda yang suka guyon, spontan, dan punya selera humor jangan sampai kebablasan. Sering terjadi, diri ini merasa tingkahnya sudah lucu. Namun, di mata orang lain, yang kamu lakukan justru garing, sulit dipahami, bahkan konyol. Yang lebih berbahaya selanjutnya: gagal menyampaikan informasi yang benar, bahkan dianggap hoaks.
Citra yang berusaha dibangun justru menjadi bumerang. Apalagi di tengah arus informasi yang sangat cepat dan mudah dijaring seperti saat ini. Kebenaran lebih mudah ditemukan, berbanding lurus dengan kabar bohong yang terus diproduksi setiap saat.
Contohnya seperti apa, sih?
Misalnya, gaya komunikasi Sandiaga Uno perihal melemahnya rupiah terhadap dolar dan efeknya kepada situasi faktual di lapangan. Kok ya kebetulan, Sandi sering bertemu dengan tempe ketika turun menyapa warga.
Betul, tempe ini sempat viral berkat celotehan Sandiaga Uno. Ia menyebut gara-gara rupiah melemah, tempe sekarang sudah setipis ATM. Lalu, ketika ketemu tempe yang dibungkus daun pisang, ia menyebutnya saat ini tempe sudah sasetan. Yang terakhir, kali pertama melihat tempe berukuran besar, ia menyebut tempe ada yang sebesar tablet.
Membaca paragraf di atas secara sekilas, ada usaha “melucu” yang sebetulnya gagal. Pertama, ketika berkunjung ke Purwokero, Sandiaga Uno ketemu dengan tempe yang dipotong tipis. Yang ia temukan adalah tempe khas Malang, tempe keripik, yang digoreng kering. Masalahnya, Sandi menyebut bahwa tempe yang semakin tipis itu adalah akibat dari pelemahan nilai tukar rupiah.
Padahal, sejak dahulu, tempe keripik khas Malang memang tipis. Sudjiwo Tedjo menyebut bahwa sebagai manusia, sama seperti Jokowi atau kita semua, Sandiaga berbuat salah. Pada tahap ini, Tedjo meminta kita untuk “woles” saja. Sangat bijak, namun kita tak boleh lupa kalau klaim Sandi itu adalah kabar bohong.
Seperti tempe ATM, Sandi juga berceloteh bahwa saat ini tempe sudah sasetan. Padahal, yang dirujuk Sandi adalah tempe yang dibungkus daun pisang. Kata “sudah” mengindikasikan bahwa dahulu belum pernah terjadi. Perlu Pak Sandi ketahui, sebelum bapak dan ibu saya lahir, tempe dibungkus daun pisang sudah ada. Lagi-lagi, kebohongan yang dibalut humor norak.
Bergeser dari tempe, kita masuk ke petai. Ketika berkunjung ke Pasar Terminal Sukawelang, Subang, Jawa Barat, dengan spontan, Sandiaga memakaikan satu ikat petai ke kepalanya. Ia melakukan ini sambil mengkritik Andi Arif. Sebelumnya, Andi Arif menyebut kalau Prabowo adalah capres yang malas. FYI, habis disindir Andi Arif, Prabowo langsung blusukan ke Blok M. hmmm…perlu disindir dulu, nih pak?
Spontanitas Sandi sukses memancing tawa emak-emak yang berjualan dan membuat suasana yang terlihat dari foto menjadi lebih cair. Spontanitas ini perlu bagi politikus. Sebagai ice breking, sebagai usaha mendekatkan diri mereka ke “guyonan ala bapak-bapak” yang begitulah. Soal petai ini, saya serahkan sepenuhnya kepada sampeyan semua. Menghibur, atau norak?
Pencitraan sebagai “seseorang yang mendengar” ditunjukkan Sandiaga ketemu dengan nelayan Indramayu. Ketika nelayan mengeluhkan perizinan penangkapan ikan yang dipersulit, Sandi berjanji akan memangkas birokrasi SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) jika terpilih sebagai wakil presiden. Sebuah janji yang sudah biasa kita dengar ketika kampanye. Gaya klasik politikus.
Menjanjikan sesuatu ketika kampanye tentu saja tidak salah. Masalahnya, lagi-lagi, Sandiaga gagal menyampaikan kebenaran terkait perizinan penangkapan ikan. Kenapa salah? Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti memberikan penjelasan yang menohok. Saya kutipkan saja supaya jelas.
“Politikus jangan asal bicara. Nanti kayak yang operasi plastik, tidak cek dan ricek langsung di-bluff. Dan Pak Sandi Uno harus tahu UU Perikanan.” Ouch!
Jawaban yang sangat menohok dari Menteri Susi. Untuk diketahui, peraturan yang dibuat adalah untuk kapal-kapal yang berukuran besar di atas 30 GT (Gross Tonnage). Untuk nelayan yang kapalnya di bawah 10 GT, Menteri Susi sudah membebaskan perizinannya sejak 7 November 2017. Salah info lagi, Pak Sandi?
Ini logika saja. Ketika memutuskan untuk mengunjungi nelayan di Indramayu, berarti Sandiaga Uno tidak melakukan persiapan yang ideal. Sampai-sampai, ia tidak tahu soal UU Perikanan. Komunikasi, ketika tidak dipersiapkan dengan baik, apalagi ketika situasinya cair dan butuh spontanitas, yang dibutuhkan politikus bukan hanya humor, melainkan kebenaran.
Ketika janji manis Sandi diserang balik oleh Menteri Susi–dan serangan balik itu sangat jitu–citra yang dibangun menjadi sia-sia. Kelucuan yang diumbar, kegaringan yang terbangun, dan kekonyolan yang berlebihan tidak ada gunanya di depan kebiasaan menyebarkan kabar hoaks. Demikian pemirsa. Kekonyolan Sandi itu menghibur, atau norak belaka?