MOJOK.CO – Setelah kecelakaan di Balikpapan trending, ada saja orang yang sok-sok menasihati, “Seharusnya begini, seharusnya begitu.” Hassh, sampah.
Tak ada seorang pun yang menginginkan kena musibah atau menjadi alasan musibah bagi orang lain. Saya percaya itu, sangat percaya.
Pun dengan sopir truk tronton bernomor polisi KT-8534 penyebab kecelakaan massal meliputi 2 angkot, 2 mobil pribadi, dan 2 mobil pikap, plus 14 sepeda motor. Belasan kendaraan yang sedang menunggu lampu merah di Simpang Muara Rapak, Balikpapan.
Sopir yang menjadi pesakitan atas kecelakaan mengerikan yang menewaskan 5 orang dan belasan lainnya orang luka berat pada Jumat pagi (21/01).
Ada banyak postingan di Twitter akan kecelakaan mengerikan di Balikpapan. Beberapa ada yang mengirimkan video sesaat setelah kecelakaan, beberapa yang lain ada yang memposting tayangan CCTV, dan yang lainnya.
Meski begitu, perhatian saya jatuh pada salah satu postingan yang menunjukkan foto sopir truk tronton kecelakaan maut di Balikpapan itu sedang berada di kantor polisi. Beberapa netizen ada yang bersimpati atas kesialan yang menimpa si sopir truk, ada yang geram, meski beberapa yang lain ada juga yang justru soksokan memberi nasihat, kira-kira begini.
“Sudah tahu di depannya ada rombongan kendaraan berhenti dan rem sedang blong, kenapa nggak banting stir ke kiri bla-bla-bla.”
Saya heran dengan komentar-komentar sok tahu begitu. Serius. Orang-orang seperti ini, yang merasa bahwa dalam keadaan terdesak ia merasa sanggup bisa bersikap tenang begitu saya bisa pastikan tidak pernah berada dalam situasi serupa. Terdesak pada sebuah keputusan membingungkan yang bisa saja menjadi garis batas antara hidup dan mati.
Tentu saja, saya bukan sedang dalam posisi membela sopir truk tonton penyebab kecelakaan maut di Balikpapan tersebut. Komentar itu justru membuat saya jadi mengingat peristiwa yang saya alami di masa lalu. Masa ketika saya pernah juga berada dalam situasi serupa. Situasi antara garis batas hidup dan mati.
Untungnya, situasi saya bukanlah kecelakaan maut seperti yang ada di Balikpapan. Pada kasus saya, saya mengalami kerampokan di daerah Ring Road Utara, Yogyakarta, pada tahun 2009.
Dari kejadian itu, saya harus kehilangan satu handphone, mendapat kenang-kenangan bekas luka sayatan di tangan kiri saya, meski untungnya saat itu masih bisa menyelamatkan kendaraan saya.
Lucunya, saya dirampok saat sedang dalam keadaan makan di warung burjo bersama teman saya. Situasi juga tidak yang malam-malam banget, masih jam 7 kok, sekitar bakda isya. Dalam keadaan makan santai begitu, saya meletakkan hape dan kunci motor di samping piring saya.
Dalam situasi sedamai itu, saya terkejut ketika tiba-tiba ada seseorang yang mengenakan helm masuk warung dan langsung mengambil hape dan kunci motor saya. Dalam keadaan itu, saya sejujurnya tak tahu apa yang terjadi. Gerakan saya gerakan refleks saja memegangi tangan orang tersebut.
Pada saat yang bersamaan, ternyata raihan tangan saya berhasil menangkap kunci motor saya. Dalam keadaan itu pun, saya belum sadar benar apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba dari arah tangan kiri saya ada sesuatu yang menyengat. Secara refleks saya melepaskan pegangan ke tangan orang itu sekaligus memberi tendangan refleks sampai ia terjatuh keluar dari warung (ini bukan karena saya kuat, tapi memang adegan ini terjadi di pintu keluar). Dan itu semua terjadi dalam mode auto-pilot.
Setelah orang itu jatuh, saya baru mendapat gambaran bahwa orang itu ternyata membawa semacam belati di tangannya. Belati yang kemungkinan besar ia gunakan untuk mencoba menusuk saya. Untungnya belati itu justru melaju dalam garis serangan diagonal, sehingga luka yang saya terima luka sayatan alih-alih luka tusukan.
Di situlah saya sadar bahwa saya sedang kerampokan. Lalu teriak sekuat tenaga, “RAMPOOOK, RAMPOOOK!” sambil mengejar orang yang kini berlari ke arah jalan karena sudah berhasil membawa hape saya.
Di luar, rampok itu sudah ditunggu komplotannya yang sudah ready mengendarai motor. Mereka kabur, dan saya baru sadar tangan saya berdarah-darah. Rasa sakit bahkan tidak terasa karena adrenalin sudah memenuhi darah saya.
Sesaat setelah menyadari saya ternyata habis kerampokan, tubuh saya tremor parah, tangan saya pun mulai terasa sakit. Jangankan untuk bicara, untuk berdiri saja saya tidak kuat. Tak berapa lama, warga mulai berdatang dan mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Cerita ini tentu saja saya bawa ke teman-teman saya. Dan respons paling bedebah yang kerap saya dengar adalah seperti ini.
“Seharusnya kamu lemparin itu piring ke muka rampoknya.”
“Seharusnya kamu teriak rampok sejak awal, jadi warga bisa keburu datang sebelum rampoknya kabur.”
“Seharusnya … bla-bla-bla.”
Dan seharusnya-seharusnya lainnya.
Saya selalu tersenyum kecut mendengar nasihat-nasihat seperti itu. Yang bisa saya syukuri adalah untuk saya masih hidup, untung belati itu tidak jadi ditusukkan ke perut saya, dan untung saya cuma kehilangan hape saja.
Kesan mendengar nasihat yang sama juga terjadi ketika saya membaca komentar orang-orang bahwa sopir tronton kecelakaan maut di Balikpapan itu seharusnya begini, seharusnya begitu.
Maaf, saudara-saudara semua, itu semua sudah kejadian. Nasihat Anda semua sudah tidak berguna. Sama sekali. Pengalaman yang dialami si sopir itu sudah jadi nasihat paling dahsyat yang melebihi celotehan Anda semua. Sebuah pengalaman pahit yang bakal diingat dalam sisa hidup si sopir tronton.
Dalam keadaan seperti itu, peristiwa musibah kerap kali terjadi dalam hitungan detik. Dan butuh waktu lebih lama dari itu untuk menyadari kita sedang berada dalam situasi apa. Dalam kasus saya, kejadian saya dirampok itu saya kira hanya terjadi tak lebih dari 5 detik. Brak-bruk-brak-bruk, tiba-tiba tangan kiri saya sudah berdarah-darah.
Pun dengan sopir truk kecelakaan maut di Balikpapan. Ketika saya melihat CCTV-nya, kejadian itu mungkin hanya terjadi tak lebih dari 5 detik pula.
Itu waktu yang cukup untuk berpikir jika keadaaan Anda sedang leyeh-leyeh santai mengetik komentar lewat hape Anda, tapi dari sisi orang yang berada dalam situasi seperti itu, waktu yang berjalan berlalu sangat cepat.
Biasanya Anda baru menyadari secara utuh situasi di hadapan Anda, beberapa waktu setelah peristiwa itu terjadi. Masa-masa ketika mode auto-pilot Anda berangsur-angsur menghilang. Dan ketika itu terjadi, tiba-tiba Anda baru sadar bahwa Anda sudah ada di dalam rumah sakit atau di kantor polisi setempat.
Daripada konsentrasi komentar ke arah ke sana, saran saya, mending Anda doakan saja korban-korban. Semoga mendapat tempat terbaik, dan doa juga untuk keluarga korban semoga mereka semua diberi kekuatan.
BACA JUGA Tentang Sebuah Kampung yang Ketagihan Judi Togel dan ESAI lainnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi