Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Kebimbangan Pada Rumah Makan Islami Tapi Tak Islami

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
6 Juli 2019
A A
ayam penyet
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Saya sering sekali makan di sebuah rumah makan dengan menu ayam di Jogja. Sebut saja namanya Rumah makan X. Ada banyak alasan saya suka makan di rumah makan ini, selain pelayannya yang ramah dan cukup sigap, menunya juga enak. Ayam penyetnya, juga ayam bakarnya, legit betul. Apalagi sambal bawangnya, tahu dan tempe kremesnya, juga es cendolnya. Ah, semuanya serba menyelerakan.

Kalau bukan karena kewajiban menulis, ingin rasanya saya berhenti menulis paragraf ini sekarang juga untuk kemudian ngeslah motor dan langsung meluncur ke sana.

Bukan hanya pelayan dan menu makanannya saja yang bikin nyaman. Keunggulan rumah makan ini adalah nuansa islami yang sangat kental. Segala yang ada para rumah makan ini memang terasa sangat islami. Di beberapa titik temboknya tertulis tentang jaminan kehalalan menunya. Tertulis juga nasihat-nasihat baik yang sangat islami. Tentang salat, tentang ibadah, dsb.

Hampir seluruh pelayannya yang perempuan berjilbab. Karyawan yang lelaki juga beberapa pakai peci. Pokoknya makan di rumah makan ini berasa makan di rumah makan yang dikelola oleh pesantren.

Satu-satunya hal yang mungkin tidak menyenangkan dari rumah makan ini adalah harganya. Yah, ana rega ana rupa. Ada harga ada rupa. Maklum kalau harganya agak mahal, wong memang enak rasanya.

Namun kegemaran saya makan di rumah makan X ini beberapa waktu yang lalu mendapatkan hantaman yang sangat keras.

Adalah pacar saya, yang memberikan hantaman itu.

Kepada saya, ia bercerita tentang rumah makan X yang dianggapnya zalim pada karyawannya. Ia bercerita bahwa salah satu saudara dari kawannya bekerja di rumah makan tersebut, dan ia diceritani betapa tidak menyenangkannya bekerja di rumah makan X.

“Mas tahu nggak berapa gaji kerja di rumah makan X itu?” Kata dia dari atas motor saat saya bonceng dan kebetulan melewati rumah makan tersebut.

“Enggak, memangnya berapa?”

“Cuma satu juta per bulan, Mas. Satu juta. Itu untuk karyawan baru. Sedangkan untuk karyawan yang sudah lumayan lama, satu juta dua ratus. Padahal kerjaannya berat banget. Nguleg sambalnya banyak banget, bersih-bersih outlet, mbungkusin, menyiapkan pesanan, belum kalau pas jam ramai, sibuknya setengah mati.”

Saya yang diceritani begitu tentu saja kaget. Seakan tidak percaya dengan apa kata pacar saya.

Gaji satu juta per bulan adalah gaji yang sangat keterlaluan, setidaknya jika melihat beban kerja yang tampak. Saya bisa melihat sendiri betapa sibuknya karyawan di rumah makan tersebut. Semacam pekerjaan yang bergegas. Apalagi saat jam makan siang.

“Aku tu emosi pas diceritain sama kerabatku itu,” kata pacar saya.
Bayangin, sudahlah gajinya kecil, bonusnya juga kecil. Kemarin aja, pas puasa, pesanan paket box-nya itu bisa sampai ratusan, tapi bonus buat THR-annya tahu nggak cuma berapa? Cuma seratus ribu, Mas.”

Iklan

Pacar saya tampak sangat emosi. Saya juga.

“Harusnya kalau memang mau menerapkan rumah makan yang islami, jangan cuma pakai embel-embel atau simbol yang islami, tapi juga menerapkan nilai-nilai keislaman, misal keadilan untuk pekerja, atau nilai-nilai menjauhkan diri dari kefakiran dengan memberikan upah yang layak untuk para karyawannya. Wong menu makanannya saja mahal, kok nggaji karyawannya keterlaluan.”

Saya kemudian berada dalam kondisi yang penuh dengan pergolakan batin. Di satu sisi, saya marah dan ikut murka dengan apa yang diceritakan oleh pacar saya. Di sisi yang lain, lidah saya tidak pernah bisa bohong, saya suka dan ketagihan dengan ayam bakar rumah makan tersebut.

Saya diam sejenak.

“Ya sudah,” kata saya tiba-tiba. “Besok kita nggak usah makan di situ lagi.”

Dia diam, tampak lebih tenang. Saya pun begitu. Hati saya jadi terasa lebih tenang. Walau sejujurnya, saya akui, lidah saya tidak sependapat dengan hati saya.

Entah, besok saya bakal kuat atau tidak memboikot rumah makan tersebut.

Tapi ya Tuhan, ayam bakarnya memang enak.

Terakhir diperbarui pada 6 Juli 2019 oleh

Tags: ayam penyetislamirumah makan
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

Derita Mahasiswa Sumatera Makan Nasi Padang di Jogja: Bukan Cuma Nasi Pulen dan Sambal yang Manis MOJOK.CO
Uneg-uneg

Derita Mahasiswa Sumatera Makan Nasi Padang di Jogja: Bukan Cuma karena Nasi Pulen dan Sambal yang Manis

23 Maret 2024
Rumah Makan di Surabaya Tempat Bung Karno Menitip Surat Cinta untuk Gadis Muda MOJOK.CO
Catatan

Rumah Makan di Surabaya Tempat Bung Karno Menitip Surat Cinta untuk Gadis Muda

24 Februari 2024
Kopi Lali, rumah makan bayar seikhlasnya di Jogja punya pensiunan BUMN.MOJOK.CO
Kuliner

Makan Sepuasnya Bayar Seikhlasnya di Kopi Lali Jogja Milik Pensiunan BUMN, Pantang Rugi Selama 4 Tahun

16 Februari 2024
PO Rosalia Indah Pelopor Bisnis Rumah Makan di Kalangan Perusahaan Bus. MOJOK.CO
Ekonomi

PO Rosalia Indah, Pelopor Bisnis Rumah Makan di Kalangan Perusahaan Bus

23 Juli 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.