Cinta itu bukan ilmu pasti, karena itulah ia selalu dibentuk oleh teori-teori. Bahkan bagi banyak orang, cinta adalah teori itu sendiri.
Salah satu teori cinta yang paling populer adalah teori yang mengatakan bahwa cinta adalah hal yang tak butuh alasan, sebab ketika ia butuh alasan, ia bukan lagi cinta, melainkan pamrih.
Dengan bahasa yang lebih njlimet, cinta itu terbentuk oleh komponen “walaupun”, bukan oleh komponen “karena”.
Ehm… penjelasan kira-kira begini, lah.
Aku cinta X karena dia…
Aku cinta Y walaupun dia…
Cinta untuk X memperlihatkan sebuah kepamrihan, sesuatu yang transaksional, ketidaktulusan, penuh alasan, dan berbau timbal balik. Sedangkan cinta untuk Y memperlihatkan sebuah ketulusan, kebesaran hati, kerelaan, serta menerima apa adanya.
Jadi, cara yang baik untuk mencintai seseorang adalah dengan mencari kekurangannya, lalu berusaha untuk sama sekali tidak menggubrisnya. Itulah cinta yang sesungguhnya.
Saya sendiri tak pernah setuju, namun juga tak menolak teori tersebut. Sebab hal itu memang membingungkan.
Saya lebih percaya bahwa cinta terbentuk oleh sebuah reaksi sebab-akibat. Pepatah Jawa mengatakan, “Witing tresno jalaran soko kulino”, cinta itu lahir dari kebiasaan. Dan saya sangat-sangat setuju itu.
Kisah asmara bapak dan emak saya terbentuk dari proses reaksi itu.
Dulu bapak saya bekerja sebagai penjual bakso keliling. Sedangkan emak saya bekerja sebagai karyawan di pabrik bakso rumahan yang menyetok bakso yang dijual oleh bapak.
Kebiasaan yang terus terjalin, intensitas pertemuan yang rutin, ditambah dengan obrolan-obrolan ringan, lambat laun menautkan hati keduanya hingga kemudian terbitlah cinta yang bersemi antara dua sejoli yang dipertemukan oleh musabab bakso tersebut.
Semasa SMA, saya pernah naksir sama adik kelas saya, sebut saja Luna. Saya naksir dia sebab dulu saya sering membeli es di warung milik ibunya. Dulu setiap sore, saya sering bermain bola di lapangan tak jauh dari warung milik Luna. Menjelang maghrib, sehabis bermain bola, saya biasanya menyempatkan diri untuk membeli es cola-cola atau es finto untuk diseruput sepanjang perjalanan pulang ke rumah bersama kawan-kawan.
Biasanya ibunya Luna yang melayani saya, namun tak jarang, Luna sendiri yang turun tangan membuatkan es untuk saya. Cara dia menyobek bungkus cola-cola atau finto, cara dia menyiduk es prongkolan dari termos, sampai cara dia menuangkan serbuk penyejuk ke dalam plastik, semuanya terasa menyenangkan.
Pertemuan yang terus berulang itu melahirkan semacam perasaan yang aneh. Dan tak butuh waktu yang lama bagi saya untuk menyadari bahwa saya suka sama dia. Saya cinta sama dia.
Saya pikir, itu pula yang terjadi pada saya tatkala saya memutuskan untuk memacari pacar saya sekarang.
Saya mengenal pacar saya sebagai seorang penulis. Kami menulis di sebuah media yang sama, sebut saja namanya Mojok.
Saya sering membaca tulisan-tulisannya. Hingga kemudian, pada satu titik, saya juga mulai sering mengintip akun sosial medianya. Dan voila, belakangan baru saya tahu bahwa ternyata ia melakukan hal yang sama pada saya.
Saya pun sadar, bahwa saya mencintai perempuan yang kelak jadi pacar saya ini. Saya kemudian mendekatinya dengan semangat seorang petarung. Dan pada akhirnya, ia benar-benar jadi pacar saya. Saya bilang kalau saya cinta sama dia, eh, dasar nasib lagi mujur, ternyata ia juga cinta sama saya.
Saya tak tahu pasti, apa sebab ia menerima saya saya sebagai pacarnya. Apakah ia mencintai saya karena terbiasa membaca tulisan-tulisan saya dan terbiasa melihat akun sosial media saya? Entahlah.
Namun yang jelas, kemarin saat saya tanya, apa alasan dia suka dan cinta sama saya, alasannya sungguh tak terduga dan bikin saya jengkel.
“Sebab, dulu kalau kamu nganter aku pulang ke kos, di jalan kamu selalu berteriak menirukan suara motor saat sedang kampanye, retetet ndona-ndona, retetet ndona-ndona… Aku terhibur, dan aku suka.”
Bangsat.