MOJOK.CO – Jokowi kembali bikin gaduh ketika memviralkan istilah politik genderuwo. Benarkah istilah keras itu merupakan serangan kepada kubu Prabowo?
Masa-masa kampanye menjelang Pilpres 2019 begitu gaduh. Jangan salah, Pilpres 2014 pun juga gaduh. Dari 2014 ke 2019, yang terjadi, semakin hari semakin gaduh. Ya pada intinya sama saja, sih. Sama-sama gaduh dan semakin tidak mengasyikkan untuk disimak. Dari stuntman ke tempe, dari sontoloyo ke politik genderuwo.
Satu pihak menyerang dengan menebar ketakutan Indonesia bubar, berita-berita bohong yang layu sebelum mekar, hingga analogi-analogi soal tempe yang norak. Satu pihak lagi, bertahan dengan tidak muncul langsung ketika meresmikan kebijakan tidak populer tetapi berdiri paling depan ketika meresmikan sesuatu “yang gratis”. Hampir tidak ada adu ide yang nikmat untuk dipelajari.
Tetapi begitulah politik. Saling serang, sampai terkadang seperti tidak punya batas. Jokowi, entah terdorong oleh sebuah motivasi yang masih kabur, membuat gaduh dengan dua istilah yang ia gunakan. Pertama adalah politikus sontoloyo dan yang kedua politik genderuwo.
Untuk satu sisi, terdengar menarik karena seperti menunjukkan keberanian dan ketegasan. Namun, di sisi lain, ketika kamu merespons sesuatu yang sebetulnya “tak perlu direspons”, kamu bisa dianggap kalah. Mengapa sampai Jokowi menggunakan ungkapan yang keras untuk merespons situasi yang dibikin oleh kubu lawan?
Hendri Satrio, pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina berpendapat bahwa ada dua sebab Jokowi menggunakan istilah politik genderuwo. Pertama, ia terpengaruh oleh bisikan-bisikan buzzer. Kedua, kubu Jokowi panik dan mengubah strategi bertahan dengan taktik “pertahanan terbaik adalah menyerang”.
Lantaran hanya ada dua calon, maka sangat mudah kita menyimpulkan (meski mungkin saja bisa dibilang prematur), bahwa politik genderuwo ditujukan kepada kubu Prabowo yang menebar ketakutan. Benarkah seperti itu? Bukankah dengan membuat kegaduhan, Jokowi juga sedang meng-genderuwo-kan dirinya, yaitu dengan melahirkan keresahan?
Apa sih makna yang terkandung dari kata “genderuwo” itu? Sebagai bangsa demit, makhluk mitologi, atau apa pun kamu menyebutnya, sifat-sifat genderuwo itu digunakan untuk saling menyerang jelang Pilpres 2019.
Sifat yang dapat ditemukan di dalam makna kata “genderuwo” dan “politik gendruwo” adalah ‘suka menakut-nakuti’, ‘jahil’, hingga ‘menebar keresahan’. Variasi makna inilah yang digunakan Jokowi ketika menyerang balik kubu Prabowo yang dianggap menebar ketakutan sebagai sebuah strategi di masa kampanye ini.
Buktinya? Masih ingat ketika Prabowo bilang bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030? Setelah dicek, sumber informasi tersebut berasal dari sebuah buku fiksi. Saat itu, Jokowi merespons “ketakutan” yang diumbar kubu Prabowo dengan cantik. Petahana bilang bahwa pada 2030, ekonomi Indonesia akan masuk tujuh besar dunia.
Skor: Jokowi 1-0 Prabowo
Mei yang lalu, Prabowo sempat “geram” ketika TKA dari Cina konon membanjiri Indonesia. Lapangan pekerjaan seolah-olah diserobot oleh TKA ini. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Dede Yusuf, kader Partai Demokrat yang notabene anggota koalisi Prabowo, tidak ditemukan TKA Cina yang “membanjiri” Morowali. Sah, ini aksi menebar keresahan ala politik genderuwo.
Skor: Jokowi 2-0 Prabowo
Satu kejadian yang tidak mungkin tidak dimasukkan ke dalam tulisan ini adalah Ratna Sarumpaet. Atau lebih tepatnya hoaks Ratna Sarumpaet. Sebuah kejadian yang membuat kubu oposisi mendapat julukan Koalisi Prabohong. Sungguh telak dan pedas. Sah, ini aksi menebar ketakutan dan keresahan sekaligus. Ini politik genderuwo.
Skor: Jokowi 3-0 Prabowo
Nampaknya Jokowi unggul jauh jika melihat perolehan skor. Lantas, politik genderuwo adalah Prabowo, dong? Eits, tunggu dulu. Jangan pikir petahana tidak melakukan aksi yang “meresahkan”. Mari kita simak.
Setelah calon yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin tersebut meresmikan gratisnya Jembatan Suramadu, berbagai kritik muncul. Salah satu yang begitu telak adalah kritik dari salah satu anggota koalisi mereka sendiri. Adalah Effendi Simbolon, politikus PDIP, partai Jokowi sendiri yang melemparkan kritikan pedas.
Effendi menyindir Jokowi yang memilih menggratiskan lewat Suramadu ketimbang mengangkat 1,2 juta guru honorer menjadi PNS. Padahal, menurut Effendi, pemerintah punya dana yang dibutuhkan. Apalagi, tempo hari, Jokowi enggan menemui guru honorer yang tengah melakukan demo. Sah, ini sebuah keresahan yang belum tertangani.
Skor: Jokowi 3-1 Prabowo
Mardani Ali Sera, Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo dan Sandiaga Uno justru gembira ketika Jokowi menggunakan dua istilah yang keras. Mardani memandang bahwa dua istilah yang keras tersebut jauh dari kebiasaan petahana. Ia memandang, lantaran tidak sopan dalam budaya Jawa, citra petahana akan tergerus. Menurut Mardani, politik itu tidak boleh baper. Citra di dunia politik, adalah segalanya.
Hmm…sedikit memaksa sih, tapi boleh juga. Skor? Jokowi 3-2 Prabowo.
Suhud Alynudin, Direktur Pencapresan PKS, mengungkapkan bahwa istilah politik genderuwo justru paling cocok disematkan kepada penguasa. Suhud menyebut bahwa salah satu sifat genderuwo adalah manipulatif. Politik genderuwo penguasa misalnya dengan mengaburkan wujud asinya ketika gagal memenuhi janji kampanye. Hmm…masuk akal, sih.
Janji yang tidak ditepati artinya menebar keresahan. Untuk kali ini, perlu diakui kalau masuk akal. Sah, Prabowo menyamakan kedudukan. Skor, 3-3.
Dari pembuktian sederhana di atas terlihat bahwa masing-masing kubu sama-sama menebar ketakutan, manipulatif, dan keresahan. Jadi, ketika Jokowi menyerang dengan istilah politik genderuwo, kubu Prabowo jangan senang dulu. Demikian juga sebaliknya.
Kalian-kalian itu semua politikus genderuwo. Menebar keresahan dan ketakutan di tengah masa kampanye. Yang seharusnya rakyat disuguhi adu ide yang mencerahkan. Malahhan disuguhi panggung norak. Sontoloyo semua!