Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

I Love You Om dan Tante, tapi Kumpul Keluarga Besar Kadang Cuma Bikin Pusing

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
31 Mei 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Lebaran selalu dinanti-nanti, tapi bagaimana dengan acara kumpul keluarga besar? O, o, tunggu dulu!

Setiap Lebaran tiba, keluarga besar saya—seperti keluarga besar kamu-kamu sekalian—berkumpul menjadi satu. Kalau biasanya kita cuma ketemu orang tua dan saudara kandung, di Hari Raya ini kita jadi bisa ketemu banyak orang: om, tante, sepupu, keponakan, anaknya sepupu, anaknya keponakan—

…tunggu, tunggu. Tua amat, Bang, sampai keponakan udah punya anak sendiri?!

Pada intinya, Lebaran adalah hari di mana kita bakal bertemu keluarga besar. Tak jarang, kumpul keluarga sangat-besar bahkan diadakan, misalnya dirunut dari keluarga besar ayahnya kakek kita. Biasanya, di acara begini, ada meja tamu di bagian depan dan kita bakal diminta mengisi kolom sebagai keturunan dari kakek yang mana.

Seumur hidup saya, pengalaman kumpul keluarga besar (trah) yang seperti itu hanya pernah saya alami beberapa kali.

Setidaknya, ada dua tempat kumpul keluarga besar yang semestinya saya kunjungi untuk mengenal seluruh anggota trah: Dayeuhluhur di Cilacap, serta Bantul, Yogyakarta. Karena kampung halaman saya di Cilacap, tentu lebih masuk akal kalau semestinya saya datang ke Dayeuhluhur, meski berjarak 2-3 jam dari rumah.

Tapi nyatanya, saya jarang datang ke sana, sementara orang tua dan nenek saya tak pernah absen. Apa pasal?

Monmaap, nih, seluruh om, tante, mbah, sepupu, keponakan, sampai tetangga-tetangga sekalian—yang ajaibnya tetap mengenali saya—tapi…

…saya kadang nggak ngerti kalian ngomong apa dan saya merasa terasingkan.

Cilacap adalah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat sehingga di kota ini sangat memungkinkan kamu menemukan seseorang berbicara dengan bahasa Ngapak, sementara yang lainnya berbahasa Sunda. Di Dayeuhluhur, semua orang—saya ulangi lagi: semua orang—berbicara dengan bahasa Sunda yang fasih.

Saya, yang bahasa Sundanya mentok di pertanyaan “Tiasa nyarios Sunda?”, jelas cuma bisa bengong doang di sana.

“Ya kamu cari orang yang nggak pakai bahasa Sunda, lah. Itu tuh, ada yang sebaya sama kamu. Kalau nggak salah, dia sepupu dari cucu kakaknya ayahnya ayah. Ajak kenalan, gih,” kata Ayah, saat kami datang ke sana. Sementara itu, saya udah keburu pusing duluan menebak alur persaudaraan saya dengan anak perempuan yang dimaksud Ayah.

Di Bantul, sementara itu, bahasanya lebih bisa saya terima karena menggunakan bahasa Jawa, bukan bahasa Sunda. Tapi, masalah muncul karena saya tidak bisa mengenali semua orang di sana.

Literally semua orang. Eh, kecuali Bude saya, ding.

Iklan

Sebagai satu-satunya perwakilan dari Cilacap yang datang ke kumpul keluarga besar di Bantul, saya diperkenalkan dengan cukup heboh oleh Bude. Tadinya saya pikir, orang-orang bakal merespons dengan B aja karena—yah—siapa, sih, saya???

Nyatanya, respons-respons yang saya terima malah membuat saya kebingungan:

“Waaaah, udah gede, ya, sekarang! Dulu masih kecil suka Om gendongin. Inget Om nggak?”

“Kok sendirian? Nggak sama Bapak? Eh, itu anaknya sepupu omnya bapakmu yang tinggal di Bandung, namanya siapa, ya?”

“Tolong ini dibagikan di sana, ya. Kamu minta tolong dibantu sama anaknya Om aja. Masih inget, kan? Kalian baru nggak ketemu 15 tahun aja, kok!”

Ujung-ujungnya, saya kebagian tugas duduk manis di meja tamu, meminta seluruh anggota keluarga yang datang untuk menuliskan nama dan membagikan snack.

Dari kedua acara trah alias kumpul keluarga besar itu, jujur saja saya nggak merasa nyaman-nyaman amat. Malah, saya merasa seperti sedang ada di acara kondangan yang sesama tamunya cuma bisa senyum-senyum sopan, padahal diam-diam mengeluh “Ini selesainya jam berapa, sih?!”

Untuk itulah, saya lebih memilih absen ke acara trah dan akhirnya datang ke acara kumpul keluarga besar yang nggak besar-besar amat. Maksud saya, keluarga yang datang adalah keluarga yang sudah saya kenali satu per satu dan tidak akan membuat saya merasa terasingkan.

Tadinya saya pikir, sih, begitu.

Namun, sejak memasuki usia dewasa, segalanya jadi agak—apa, ya—berbeda. Setidaknya, saya memahami bahwa kumpul keluarga besar ini akan lebih “menantang” sejak tahun-tahun di mana om dan tante saya sibuk membagikan amplop berisi uang lebaran kepada para sepupu, lalu memandang saya sambil berkata, “Kamu nggak usah, ya? Kan udah besar.”

Saya, yang saat itu masih kuliah dan tidak bekerja sambilan, cuma bisa tersenyum kuat sambil pura-pura sibuk mainan sama adik sepup yang dengan entengnya menitipkan setumpuk amplop uang lebaran ke tangan saya.

Berturut-turut, tantangannya semakin lebar, mulai dari pertanyaan “Kamu, kok, jarang pulang?”, “Mau kerja di mana? Masa Jogja lagi? Nanti kamu nggak berkembang, loh!”, “Eh, pacar kamu itu kerjanya apa, sih, kok gitu doang?”, “Apa? Kamu putus? Aduuuuh, gimana sih!”, “Sekarang pacarnya siapa?”, “Kamu gendutan, ya? Kurusin, lah, nanti nggak ada yang suka, loh!”, dan tentu saja, pertanyaan emas di semua lini kesempatan: “Kapan nikah?”

Sungguh, saya kira, hal paling mengerikan di dunia adalah ketika menyadari kiamat di depan mata dan kita belum punya tabungan amal apa-apa. Tapi ternyata, datang ke acara kumpul keluarga besar bisa cukup mengerikan, apalagi kalau kita jomblo dan sudah berusia “seharusnya” siap menikah.

Hadeeeh, memang nggak bisa, ya, acara kumpul keluarga besar pas Lebaran diisi dengan kegiatan zumba bersama aja, biar pada kecapekan dan diam seribu bahasa???

Terakhir diperbarui pada 31 Mei 2019 oleh

Tags: Hari RayaKapan Nikahkumpul keluarga besarLebaranMudiktrah keluarga
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

pulang ke rumah, merantau.MOJOK.CO
Catatan

Duka Setelah Merantau: Ketika Rumah Menjadi Tempat yang Asing untuk Pulang

16 September 2025
THR ludes, libur lebaran selesai, sementara gajian masih lama. Kembali ke perantauan dengan penuh keprihatinan MOJOK.CO
Ragam

THR Ludes sementara Gajian Masih Lama, Kembali ke Perantauan dengan Nelangsa dan Hidup dalam Keprihatinan

6 April 2025
SOBSI dan Kisah Perjuangan Buruh Mendapatan THR
Video

SOBSI dan Kisah Perjuangan Buruh Mendapatan THR

5 April 2025
Lebaran 2025 Lebaran Paling Aneh 10 Tahun Terakhir MOJOK.CO
Esai

Mudik Lebaran 2025 Terasa Aneh dan Berbeda: Penumpang Bus Sepi Hingga Pedagang Asongan Menghilang

4 April 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.