MOJOK.CO – Orang makin malas mencoblos Jokowi atau Prabowo. Pandji Pragiwaksono memberikan penjelasan yang masuk akal ketika orang memilih golput.
Selama beberapa minggu belakangan, “golongan putih” seperti menjadi pesakitan. Orang yang enggan memilih Jokowi atau Prabowo menjadi pendosa, orang-orang yang munafik, jahat, dan tidak peduli dengan negara ini. pokoknya nggak nasionalis blas. Mereka-mereka ini diibaratkan sebagai kumpulan anak muda yang hanya peduli kepada dirinya sendiri.
Proses berpikir orang yang memilih golput tidak pernah dipahami. Mengapa mereka sampai bisa bersikap demikian? Itu yang tidak diselami, yang ada hanya diadili. Ujungnya, hanya suara orang-orang yang “bersikap” ini yang dibutuhkan. Proses dan alasannya ya peduli amat, sebetulnya. Sekali lagi, pembenci golput hanya mementingkan “suara”.
Celakanya, ketika enggan memahami alasan orang jadi golput, para pendukung capres jadi semacam hakim, semacam filfuf, dan para bijak yang sudah bertapa di bawah air terjun selama puluhan tahun. Mereka pikir, isi kepala mereka cemerlang, hati mereka bersih, dan murni dari dosa.
Bagaimana tidak, mereka yang malah mencoblos Jokowi atau Prabowo diancam dengan UU ITE, bahkan sebelumnya ada wacana mengenakan UU Terorisme. Terakhir, mereka yang golput dianggap orang berdosa ketika petinggi MUI bikin fatwa bahwa pilihan politik ini haram.
Saya kasih tahu deh. Proses orang memilih masuk dalam golongan putih itu tidak sebentar. Prosesnya panjang, dan di akhir proses berpikir itu mereka tidak mendapatkan kesimpulan yang enak. Yang ada hanya “fear” yang didapat oleh “orang-orang yang berpikir” ini.
Pandji Pragiwaksono, seorang stand-up comedian yang biasa dirundung karena nggak lucu, berhasil menyederhanakan proses berpikir orang-orang yang akhirnya nggak mau nyoblos. Intinya adalah para “swing voters” ini gagal mendapatkan sesuatu dari kampanye Jokowi maupun Prabowo. Pandji menyebutnya dengan “malas”.
Kata Pandji, ketika kampanye, baik Jokowi maupun Prabowo seharusnya menyentuh empat sisi tradisional, yaitu fear, fun, empathy, dan hope. Jokowi, ketika menang di Pilpres 2014 berhasil menghadirkan sisi hope, yaitu memberi harapan baru dalam pemerintahan.
Sementara itu, dari tahun lalu sampai tahun 2019 ini, kampanye keduanya justru menyebalkan. Keduanya hanya menyentuh fear. Misalnya dengan mengumbar narasi kebangkitan PKI kalau Jokowi menang, Orba bangkit kalau Prabowo menang, khilafah menang kalau Prabowo menang. Memang, banyak orang yang akhirnya memilih, tapi hanya karena takut.
Nah, orang-orang yang akhirnya enggan memilih, menemukan kesimpulan yang berbeda. Dibuat takut selama beberapa waktu itu bikin muak. Pandji menyebutnya dengan “hantu politik”. Padahal, baik milenial maupun Generasi Z yang belum menentukan pilihan butuh sesuatu yang konkret. Ini teori yang sangat sederhana dan kamu semua pastinya paham. Kalau kamu paham, apalagi para politikus yang pandai sundul langit itu.
Namun apa yang terjadi? Golongan putih dijadikan bahan rundungan ketika maju ke depan. Mereka dibenci. Kepala Suku Mojok, Puthut EA, sudah memperingatkan dengan menulis:
“Kelemahan timses Jokowi-Ma’ruf adalah masih menyerang para pendukung golput. Tulisan Franz Magnis-Suseno tentang golput di Kompas, bisa menjadi contoh yang baik bagaimana isu ini direspons oleh golputers. Tulisan Magnis jadi bahan ejekan. Konsepsi penulis yang hampir dianggap filsuf itu, dihajar balik, diejek, dicampakkan, tanpa perlawanan sama sekali.”
“Sebagian pendukung Jokowi-Ma’ruf mulai menyadari betapa bahaya jika golputers ini diserang. Tapi sebagian lain masih melakukan strategi bodoh ini. Saya sudah mencoba mengingatkan soal ini beberapa bulan lalu. Tapi masih ada yang sadar dan ada yang meneruskan kebodohan hanya karena sikap egoistik.”
Serangan kepada golput adalah serangan kepada sebuah “kolam” besar berisi calon pencoblos yang berpikir. Ketika mereka ditekan dengan rasa takut, fear, Pilpres 2019 jadi nggak asik. Mereka akan melawan dengan argumen yang logis.
Nggak fun, beda dengan Pilpres 2014, di mana kedua pihak sempat bikin game online dengan tajuk Jokowi dan Prabowo. Meski memang, Pilpres 2014 tetap diwarnai hoaks dan serangan personal, setidaknya orang tetap mendapatkan sesuatu yang fun. Sangat beda dengan Pilpres 2019.
Pilpres 2019 jadi semakin nggak fun ketika kita tahu Jokowi pernah berjanji menuntaskan kasus Munir (dan kasus HAM lainnya). Bahkan beliau pernah menelepon Ibu Suciwati, istri mendiang Munir untuk minta bimbingan sekaligus berjanji. Namun, janji itu tidak terwujud. Capres 01 itu kalah oleh tekanan orang-orang di sekitarnya.
Membaca paragraf di atas, Kampretos nggak usah bangga dan senyum-senyum deh. Yang dijanjikan Prabowo dan Sandiaga Uno juga nggak jelas. Misalnya ketika Mardani Ali Sera bilang capres 02 punya jiwa kepemimpinan karena pernah memimpin tim naik Gunung Everest. Nggak kompatibel dengan memimpin negara, bukan?
Yang terekam oleh publik justru narasi fear, bukan hanya 02, pihak 01 juga sama saja. Jokowi mungkin orang baik. Namun, beliau tidak bisa menentukan sesuatu dengan tegas karena kalah oleh pengaruh orang di sekitarnya. Misalnya ketika menerima Muchdi PR, seorang purnawirawan petinggi militer, yang namanya tersangkut kasus Munir. Jokowi bilang mau menuntaskan kasus ini, kok menerima orang yang dicurigai terlibat di dalamnya?
Saat ini, awareness calon pemilih sudah sangat tinggi. Mereka bukan hanya menangkap narasi dari calon presiden, tapi merekam dan memprosesnya di dalam otak. Pandji menyebutnya: “masturbasi politik”, ketika masing-masing calon tidak berusaha mengambil hati golongan putih atau mereka yang belum menentukan pilihan.
Nah, masuk akal bukan ketika orang makin malas pergi ke TPS untuk nyoblos? Sangat sudah dipahami kok alasannya. Namun enggan dipikirkan, yang ada hanya dicecar dan dijadikan pesakitan.
Mumpung masih 12 hari, bikinlah kampanye yang fun, yang seru. Bikin kami bingung memilih karena keduanya keren, kata Pandji.