MOJOK.CO – Beberapa santri sempat kebingungan melihat layar laptop pengurus pesantren. Lah gimana? Di sana ada foto pocong yang jelas banget jeh.
Dulu sebelum saya masuk pesantren, saya pikir kisah horor itu hanya berkutat pada tiga tempat saja; rumah sakit (wabilkhusus kamar mayat), kuburan, dan rumah tua yang lama tak ditinggali.
Di luar dugaan, ketika saya masuk pesantren, ternyata tempat yang saya pikir steril dari kisah horor ini juga menjadi salah satu latar tempat yang kerap dipakai demit buat eksis. Sesuatu yang agak absurd kalau saya ingat-ingat lagi.
Bukan apa-apa, gini lho, coba ngana sekarang pikir. Demit itu kan anti sama baca-bacaan ayat suci, kumpulan orang-orang saleh, atau santri-santri yang kerap salat berjamaah… lah kan jadi aneh, kok bisa-bisanya demit masih ada yang betah di tempat kayak gitu? Ini demit cari mati atau lagi cari kehangatan?
Kisah horor di pesantren saya dulu memang banyak sekali, tapi salah satu yang paling fenomenal adalah soal foto pocong yang nongol di kamera digital milik salah satu pengurus pesantren kami. Itu epik sih, bahkan ketika saya menulis kejadian itu dan mengingat-ingatnya lagi, saya masih suka merinding sendiri.
Jadi ceritanya, di kamar mandi pondok putra ada rencana mau direnovasi. Kamar mandi ini ada di lantai dua, posisinya ada di pojokan paling ujung pesantren. Tempatnya memang gelap, kotor, keramiknya beberapa ada yang pecah—karena tidak pernah dipakai bertahun-tahun.
Alasan tidak pernah dipakai sebenarnya bukan karena di sana ada praktik demit lagi eksis gangguin santri, bukan, bukan itu. Kamar mandi itu tidak dipakai karena bak mandi dan tandon untuk kamar mandinya bocor.
Oleh sebab itu, ketimbang kamar mandi itu malah jadi gudang (iya, jadi gudang buat nyimpen semen, batu-batu proyek, sama bambu-bambu), pengurus pondok berencana mau memfungsikan lagi itu kamar mandi.
Nah, proses renovasi ini tentu makan waktu karena ada banyak pintu yang sudah mulai rusak dan keran-keran yang sudah mulai macet. Untuk itu, sebelum renovasi, beberapa pengurus pondok diminta untuk memotret beberapa bagian kamar mandi yang rusak. Rencananya mau dibelikan bahan-bahan bangunan yang cocok dulu sebelum memanggil tukang.
Apalagi, di pondok itu kan kalau mau mencairkan dana harus ada laporan ke yayasan pesantren dengan cukup jelas. Foto-foto ini rencananya juga menjadi bagian dari proposal agar dana renovasi kamar mandi bisa cair.
Nah, kebetulan proses pemotretan yang dijadwalkan itu dilangsungkan malam hari. Bukan karena para pengurus pondok ini memang berencana mau dapat foto kuntilanak atau foto pocong, bukan. Tapi memang waktu selo mereka hanya malam hari.
Maklum, kebanyakan pengurus pondok di tempat saya itu adalah mahasiswa juga, sehingga waktu senggang mereka hanya pagi hari atau malam sekalian. Rata-rata pada kuliah siang soalnya.
Masalahnya, memotret kamar mandi yang mau direnovasi itu tidak mungkin di pagi hari juga. Lah piye? Posisi pondok lagi penuh-penuhnya dengan santri yang berkegiatan. Makanya, waktu malam-malam yang dipilih. Dan itu pun dini hari, biar posisi pondok cukup tenang.
Tak ada hal yang ajaib ketika pengurus pondok melakukan pemotretan. Keran dipotret, bak mandi dipotret, tandon yang bocor juga dipotret, semua sesi pemotretan berjalan normal seperti tidak ada apa-apa.
Sampai pada pagi harinya, ketika pengurus pondok mau mengecek dan memilih foto-foto yang mau dimasukkan ke dalam proposal, salah satu pengurus melihat sesuatu yang ganjil. Sebut saja pengurus pondok ini namanya Kang Rijal—bukan nama sebenarnya.
Kang Rijal melihat sesuatu yang aneh pada salah satu foto jepretannya. Merasa ragu, dia pun memanggil Kang Jadul. Sesama pengurus pondok.
“Dul, ini apa ya?” tanya Kang Rijal ke Kang Jadul menunjukkan hasil foto yang sudah dipindah di laptopnya.
Kang Jadul yang dari jauh awalnya tak memerhatikan.
“Apa sih? Itu kan cat tembok yang mengelupas,” kata Kang Jadul sambil berjalan mendekat.
“Masak cat tembok mengelupas bentuknya bisa kayak gini?” Kang Rijal tidak percaya.
“Astaghfirullah, apa ini ya?” kata Kang Jadul tak percaya dengan matanya sendiri ketika sudah mendekat ke layar laptop.
“Kayak pocong nggak sih?” tanya Kang Rijal.
Kang Jadul masih tak percaya, dia zoom in foto tersebut lalu mencari detail lagi. Karena foto dalam keadaan gelap yang mendadak terang kena blitz kamera (dan ini adalah kamera digital tahun 2000-an), jadi pixel-nya tidak terlalu tajam.
“Iya ini, Kang. Ini foto pocong. Fix sih ini,” kata Kang Jadul.
Kabar ini segera menyebar seantero pondok pesantren. Kabar bahwa ada foto pocong di kantor pondok yang berhasil tertangkap kamera. Mendadak, laptop Kang Rijal jadi seperti barang museum. Satu demi satu santri ingin melihat juga foto pocong itu.
Maklum, zaman itu, sekitar pertengahan dekade 2000-an, kamera digital dan laptop masih barang langka sekali. Jadi perpindahan datanya tidak kayak sekarang. Cuma ada satu jalan kalau santri mau lihat foto pocong yang fenomenal itu, ya dengan melihatnya di laptopnya Kang Rijal, nggak ada lagi yang lain.
Hampir setiap hari, setiap jam istirahat, semua santri berkerumun di kantor pondok. Ingin lihat foto pocong yang sudah jadi cerita dari mulut ke mulut itu. Saya termasuk salah satu yang penasaran juga dengan foto pocong itu.
Dalam penglihatan saya ketika menyaksikan foto pocong itu, saya lihat bahwa ternyata pocong bisa setinggi itu. Gambarnya cukup jelas meski tidak terlalu fokus. Sayang sekali saya tidak punya softcopy foto pocong itu (seingat saya zaman segitu flashdisk saja masih jadi barang langka, itu pun yang kapasitasnya masih 124 mb).
Kalau bisa saya gambarkan, foto pocong yang berhasil dipotret Kang Jadul itu bentuknya benar-benar pocong berwarna putih mulus. Yang bikin horor sebenarnya bukan putih-putihnya di foto pocong itu, melainkan karena tinggi pocongnya yang sepertinya hampir 3 meteran.
Kenapa saya bisa memperkirakan tinggi pocong itu 3 meter? Ya karena di foto itu terlihat pocongnya berdiri di ujung lorong kamar mandi, dari bagian kakinya di lantai sampai kepalanya yang sampai menyentuh langit-langit kamar mandi. Tinggi banget.
Soal wajah pocong itu gimana sih memang tidak cukup jelas, soalnya kondisinya terlalu jauh dari jepretan cahaya kamera. Bagian yang jelas ya hanya bagian badan dan kaki pocongnya saja.
Tapi bukan itu saja yang bikin seram dari kisah foto pocong di pesantren saya, tapi tiga hari setelah foto pocong Kang Jadul ini viral. Entah kenapa, pada hari ketiga dan saya masih penasaran ingin lihat foto itu sekali lagi, saya dengar dari seorang teman bahwa pocong di dalam foto Kang Jadul menghilang.
Tentu saja saya sempat tak percaya, mana mungkin gambar di dalam jepretan kamera bisa menghilang begitu saja?
“Serius, Daf. Gambar pocongnya hilang. Semua orang juga nggak ngerti kenapa di foto yang sama, pocongnya bisa hilang gitu. Padahal fotonya masih,” begitu kira-kira kata teman saya ketika memberi tahu saya.
Anehnya, kabar ini malah bikin kehebohan baru, beberapa santri yang kemarin sempat melihat foto pocong malah jadi kepengin lihat foto itu lagi. Saya sih nggak sempat melihat lagi karena terlalu banyak santri yang mau lihat foto tersebut, dan males saja harus antre.
Meski kemudian, bertahun-tahun kemudian, saya baru tahu cerita sebenarnya. Bahwa foto pocong yang—katanya—pocongnya hilang di dalam foto itu tidak benar-benar hilang dalam artian “gaib”, melainkan karena disuruh hapus oleh salah satu sesepuh pesantren.
Bukan apa-apa sih, ini terkait sama kehebohan di kalangan santri yang bikin kegiatan pesantren jadi agak terganggu. Biar kondisi stabil lagi, akhirnya foto pocong itu dihapus. Masalahnya, ada saja mulut-mulut buzzer offline yang cuma bikin geger dengan bilang: pocongnya yang kabur dari fotonya Kang Jadul.
Ealah. Bukannya pesantren jadi stabil, yang ada ya malah jadi heboh lagi. Pitikih.
BACA JUGA Bocah yang Mendadak Muncul dari Bak Mandi atau ESAI lainnya.