MOJOK.CO – Walau sudah menerima SP 2 dari pemerintah (udah kayak pegawai aja), kecil kemungkinan Facebook ditutup beneran di Indonesia.
Sebenarnya bukan ditutup sih, tapi pemerintah akan memblokir akses Facebook dari IP address Indonesia. Anak-anak yang di kantornya ada larangan menggunakan Facebook pasti sudah tahu gimana cara mengakalinya. Xixixi.
Kenapa dibilang kecil kemungkinan Facebook ditutup beneran?
Kita bisa berkaca dari kasus blokir-blokiran sebelumnya. Prinsip pemerintah begini: selama pihak yang ditegur mau menuruti permintaan pemerintah, blokir nggak mungkin dilakukan. Dalam hal ini pemerintah meminta penjelasan Facebook, bagaimana mereka akan menjaga data pengguna supaya nggak disalahgunakan oleh pihak ketiga lagi.
Persisnya lagi, pemerintah meminta supaya Facebook tidak lagi men-support kuis-kuis kepribadian di FB. Akar dari masalah Cambridge Analytica tempo lalu.
Jika Facebook tetap membandel, blokir mungkin dilakukan. Tapi, nggak akan selamanya. Ya hanya selama Facebook membandel.
Facebook jelas akan mencari cara supaya mereka nggak kehilangan kunjungan dari pengguna di Indonesia. FYI aja, menurut data 2017, pengguna aktif FB ada 2 miliar, dan 100 juta disumbangkan Indonesia.
Kita bisa melihat di kasus blokir situs web yang sebelumnya pernah dilakukan pemerintah. Umumnya, blokir dilakukan karena ada laporan masyarakat tentang konten yang bermasalah. Pemerintah lalu menegur pihak pengelola situs web dan ketika konten itu diturunkan, taraaa… situs web bisa diakses lagi.
Jadi, nggak usah resah-resah amat dengan kabar Facebook mau ditutup pada 24 April besok. Ini cuma ancaman pemerintah. Urusannya pemerintah sama Facebook, kita ongkang-ongkang kaki aja.
Justru yang menarik adalah respons netizen terhadap sengketa pemerintah vs FB. Jika melongok pada kasus Cambridge Analytica, harusnya yang paling marah justru pengguna FB. Tapi, di Indonesia, gerakan #DeleteFacebook nggak bergaung. Yang ada justru ya itu tadi, pada resah dan bertanya-tanya apakah FB bakal ditutup beneran.
Kenapa coba netizen Indonesia nggak ngamuk, terus menyerukan #BoikotFacebook, misalnya?
Jawabannya mungkin mirip-mirip dengan FPI yang tempo hari berniat memboikot FB dan pindah ke media sosial lain bernama redaksitimes.com. Ditunggu-tunggu, ujung-ujungnya FPI nggak jadi pindah dengan alasan, kami masih butuh Facebook.
Yak, kita nggak marah karena kita ini konsumen lemah. Kita masih butuh Facebook :’(
Tapi, di sisi lain, jika memang masih butuh Facebook, kenapa nggak ada yang marah juga dengan rencana pemerintah memblokir FB?
Nggak kayak ketika pemerintah memblokir Telegram, Vimeo, atau Tumblr yang bikin netizen ngamuk-ngamuk. Sungguh, kasus FB ini benar-benar anomali.
Tebakan saya sih, sebenarnya orang juga udah bosan dengan FB. Sebagai tempat mencari informasi, Twitter bisa jadi alternatif. Buat narsis? Mending di Instagram. Chatting? Enakan di Line atau WhatsApp laaah. Intinya, FB nggak punya sesuatu yang spesial lagi buat pelanggannya.
Ketimbang marah sama FB atau marah sama pemerintah, isu FB ditutup justru membuat orang bikin status-status perpisahan. Absurd memang.
Ini bukan kali pertama ada isu FB mau ditutup. 2011, kabar serupa tersiar yang belakangan terbukti bahwa itu sebenarnya berita parodi dari satu situs web di Amerika yang dikira seriusan sama orang Indonesia. Kali kedua, tahun lalu ketika Rudiantara mengancam akan menutup Facebook dan YouTube jika tidak mereka tidak mau membantu pemerintah memfilter postingan radikal. Dua-duanya terbukti cuma angin lalu kan.
Soal blokir dan FB, ada dua hal yang jauh lebih menarik untuk dibahas sebenarnya.
Pertama, kalau kita memang muak dengan FB karena dia tidak melindungi data kita dari kepentingan politik, gimana sikap kita pada Instagram yang juga milik FB? Jangan remehkan IG. Perhatikan saja, sebagian besar trending topic harian di Indonesia ditentukan oleh apa yang diposting sama Lambe Turah. Dan di mana ia berada? Yak betul, di Instagram. Lalu gimana dengan WhatsApp yang juga milik Facebook? Apakah kita sudah benar-benar tahu cara kerjanya sehingga ia bisa tetap gratis?
Kedua, raksasa kayak Google itu juga menakutkan. Ketika FB mengakses kontak di telepon kita dan bahkan menyinkronisasi ulang tahun teman FB di reminder kalender ponsel kita, Google bahlan tahu di mana posisi kita berada. Mesin Google juga mencatat preferensi kita. Kamu bisa tes, membandingkan search engine Google di ponselmu dan ponsel temanmu, dan kalian coba ketik kata yang sama. Hasilnya bisa beda, disesuaikan dengan situs web apa yang sering kita buka.
Kemudian soal blokir. Maret lalu saya membaca status Ronny Lantip yang mempertanyakan, kenapa setiap kita hendak mengakses situs web yang diblokir, kita otomatis di-redirect ke situs web internetpositif.uzone.id (ke mana kita ter-redirect, tergantung provider internet yang kita pakai)? Padahal situs itu juga kayak memuat artikel-artikel, sama kayak Mojok, Hipwee, atau IDNTimes. Itu kan sama aja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Saat ini, uzone.id yang bahkan ada di peringkat ke-12 di Alexa.com.
Ribet ya? Emang. Nggak ada makan siang gratis.