MOJOK.CO – Jubir FPI mengritik hasil Munas NU soal rekomendasi penggunaan kata non-muslim untuk menggantikan sebutan kafir. Dukuuuung!
Ada pepatah bilang, katakanlah kebenaran meski kebenaran itu sepahit paracetamol. Hal itulah yang selalu kukuh dilakukan oleh sahabat-sahabat Front Pembela Islam (FPI) di tengah kemunafikan di mana-mana ini.
Sejak mengalahkan gubernur tapir di Jakarta sampai sekarang FPI selalu berada di garda depan membela Islam dengan cara keras jenius mereka. Benar-benar idolaaak.
Menanggapi hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang berpandangan bahwa penyebutan kafir bisa menyakiti umat agama lain, NU sepakat bahwa penyebutan untuk non-muslim warga Indonesia yang tepat adalah “muwathinun”, atau warga negara. Biar setara di hadapan konstitusi katanya. Halah, mbelgedhes.
Hasil dari Bahstul Masail Maudluiyyah inilah yang dikritisi habis oleh juru bicara FPI, Kang Munarman yang Tamvan. “Kok tiba-tiba bagi sebagian kecil hamba Allah yang membahas, malah menempatkan diri sebagai penentang Allah. Berani sekali mereka,” kata Munarman seperti diberitakan Tempo.
Betul. Berani sekali itu kiai-kiai NU yang menentang sebutan kafir untuk para non-muslim di Indonesia. Itu kan sudah sesuai dengan perintah Tuhan versi tafsir Munarman. Memang kiai-kiai NU di Munas kemarin ini siapa aja sih? Bikin demo berjilid-jilid dan berjuta-juta umat juga belum tentu bisa udah mau sok-sokan.
“Kata dan konsep kafir itu bukan ujaran kebencian atau pun diskriminasi, itu istilah yang diberikan Allah kepada manusia yang menutup diri dari kebenaran Islam yang dibawa melalui Baginda Rasulullah,” ujar Kang Munarman.
Jadi sebenarnya sebutan kafir ini merupakan anugerah untuk warga dunia yang tidak muslim. Itu merupakan imbauan untuk membedakan mana yang Islam kaffah dengan yang tidak mengimani Islam. Ya umat lain nggak boleh protes kalau disebut “kafir”. Salah sendiri mereka nggak dilahirkan dari rahim seorang ibu yang Islam.
Kalau mereka yang merasa tersakiti ya berarti itu salah mereka. Udah tahu bahwa jadi kafir itu nggak enak karena selalu dikatain “kafir”, eh malah bertahan gitu aja. Nggak mau membenarkan Islam, mau mualaf juga ogah.
Cara ini sebenarnya merupakan sebuah strategi biar mereka gerah aja sih, lalu karena ogah disebut begitu, akhirnya jadi mualaf. Ini nih yang namanya menstimulus hidayah dengan cara mem-bully. Soalnya, hidayah itu kan bentuknya memang harus rada-rada maksa gitu. Nggak boleh kalau cuma nunggu otoritas dari Tuhan saja. Keburu kiamat dong, Sobat Miramar.
Kalau ternyata sampai saat ini reaksinya malah negatif, ya nggak apa-apa. Yang penting Jubir FPI udah melaksanakan tafsirnya akan perintah Tuhan. Kafir ya kafir aja. Nggak usah ditambah-tambahin. Udah enak gitu lho nyebutnya. K-A-F-I-R. Duuuuh, enaknyaaaaa ngatain orang.
Kayak orang Nahdliyin aja, sukanya pakai jargon “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Nggak usah pakai shalih-shalihan, pokoknya kalau nggak sesuai tafsir kami ya sesat. Rusak. Nggak kaffah. Hidup FPI! Hidup Kang Munarman!
Jadi perasaan merasa tersakiti nggak boleh diutamakan dong. Namanya tafsir beginian ya harus ditegakkan. Nggak boleh setengah-setengah begitu. Apalagi sampai mempertimbangkan perasaan orang lain yang tersakiti.
Kayak perasaan keponakan Nabi Muhammad, Utbah bin Abu Lahab, yang selalu merasa tersakiti ketika surat Al-Lahab dibacakan. Baik ketika surat itu dibaca oleh Nabi Muhammad maupun oleh sahabat yang lain.
Lha gimana? Bapaknya Utbah ini diabadikan dalam surat Al-Quran dengan nama surat yang sama persis dengan nama bapaknya. Bukan cuma sama persis, isi surat ini pun memang soal bapaknya. Bagaimana Abu Lahab, bapaknya Utbah, disebut “binasalah” karena bakal dimasukkan ke neraka selama-lamanya.
Itulah kenapa tak ada satu pun riwayat yang menyebutkan bahwa Sahabat Nabi akan memilih surat Al-Lahab untuk dibaca pada waktu salat jamaah terutama ketika Utbah bin Abu Lahab ikut jadi makmum. Ya mana tega para Sahabat Nabi membaca surat Al-Lahab di hadapan putra Abu Lahab?
Tapi beda Sahabat Nabi, beda dong dengan FPI. Beda Utbah, beda dengan orang kafir dong. Jadi nggak apa-apa kalau kafir disebut kafir. Lha wong pancen kafir kok.
Masa iya Utbah bin Abu Lahab dan keturunannya mau protes kalau nama bapaknya dimasukkan jadi surat dalam Al-Quran? Kan nggak?
Itu juga yang jadi hasil Bahtsul Masail yang menegaskan bahwa penyebutan kafir ini berbeda konteksnya dengan surat Al-Kafirun atau penyebutan kafir dalam surat-surat lain dalam Al-Quran.
Soal istilah itu memang dari Tuhan, tapi kalau penggunaannya ke sesama manusia itu masih pilihan. Dan karena pilihan, makanya Sahabat Nabi nggak tega kalau baca surat Al-Lahab di hadapan Utbah. Kecuali kalau memang ada ayat lain yang memerintahkan para Sahabat harus baca surat Al-Lahab di hadapan Utbah bin Abu Lahab di segala macam kondisi.
Jadi bisa dibaca kalau dari hasil Bahtsul Masail ini otoritas penyebutan kafir ini jelas milik Tuhan, tapi ketika sampai manusia, penyebutan ini jadi opsi. Idih, lha kan kami ini memang perwakilan Tuhan di muka bumi. Jadi ya nggak apa-apa dong kalau kami nyebut orang lain dengan sebutan kafir. Kami kan punya otoritas tafsir paling kaffah satu-satunya di planet bumi.
Lagian kalau diksi kafir untuk sebutan mau diganti begitu, ya tentu ini makin bikin susah dong kelompok-kelompok yang demen kafir-kafirin. Terus gimana dong kalau mau nyebut orang Islam abal-abal yang tafsirnya sok moderat itu?
Soalnya makna kafir itu belakangan udah meluas lho. Untuk para pendukung penista agama, ulama yang pemikiran terbuka, atau yang nggak sekaffah kami walau pun ia seorang muslim, kan juga layak kalau disebut kafir. Masa mau disebut non-muslim? Kan ya nggak pas dong? Bijimana sih? Masa beginian aja NU nggak paham?
Pandangan ini sebenarnya juga menentang sikap sok-sok penghalusan bahasa. Jika dulu kita suka nyebut cacat untuk orang yang tubuhnya nggak komplet, lalu sekarang muncul istilah difabel atau disabilitas. Nyebut orang buta dengan istilah tunanetra, orang bisu jadi disebut tunawicara, orang jomblo disebut tuna-asmara.
Idih, sok-sok mau sopan.
Udah bilang aja, “buta” atau “bisu” kan nggak apa-apa. Memang kenyataannya emang buta dan bisu begitu kok repot pakai istilah-istilah yang ruwet. Lagian sejak kapan sebutan buta atau bisu dianggap ungkapan diskriminatif?
Ini pasti kerjaannya orang-orang liberal yang bersekongkol dengan Wahyudi dan Mamarika nih. Agar umat Islam di Indonesia bisa bersatu dengan para kaum kafir lalu memunculkan persatuan dan kesatuan Indonesia dengan dasar negara yang thoghut ini.
Hadeh, kalau udah makin parah begini satu-satunya solusi memang cuma satu: Khilafah!