MOJOK.CO – Katanya driver Gojek Jogja baiknya kebangetan. Bagi saya sih, mereka tidak hanya baik dan sopan. Tapi juga pekanya bikin gagal paham.
Ada sebuah thread di Twitter dari akun Mbak @ubermoon yang menceritakan tentang pengalaman menyenangkan seseorang karena hampir selalu mendapatkan perlakuan yang baik oleh driver Gojek Jogja. Membaca sebagian besar thread tersebut beserta komentar-komentarnya membuat saya mengangguk-angguk setuju. Ya, saya juga sering kali juga merasakan hal yang sama. Para driver ini, selain sopan, perhatian, dan berkendara dengan aman—membuat saya lebih nyaman dibonceng Gojek daripada Mas Pacar yang kadang suka ngebut—sebagian besar dari mereka juga peka. Sebuah formulasi lengkap untuk dijadikan teman perjalanan yang menyenangkan, yang bisa diajak bermotoran ke sana ke mari dan tertawa.
Saya termasuk sering merasakan kepekaan para driver Gojek Jogja ini. Misalnya, ketika mereka datang menjemput dan menemui muka saya yang datar dengan senyum tipis. Mereka akan langsung mengungkapkan permintaan maafnya karena telat menjemput—dengan alasan macet—dengan kata-kata yang bikin saya malah merasa bersalah telah sebal pada mereka. Padahal, bisa jadi muka datar saya, ya karena saya lagi nggak pengin ekspresif aja. Sungguh, sebuah sikap mengalah yang belum tentu dimiliki oleh pasangan saya. Eh.
Selain itu, mereka juga cukup peka jika dalam perjalanan tersebut saya sedang ingin diam dan tak ingin diganggu. Misalnya, ketika mereka bertanya, “Udah kerja atau masih kuliah, Mbak?” Mereka dengan sangat canggihnya bisa membedakan jawaban, “Kerja, Mas,” yang sama namun saya ungkapkan dengan nada yang berbeda.
Jika saya menjawabnya dengan nada yang lebih ringan dan intonasi yang agak panjang, biasanya mereka akan melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya, “Kerja di mana?” Tetapi, jika saya menjawabnya dengan nada yang lebih kaku dan intonasi yang lebih cepat, biasanya mereka akan memilih berhenti bertanya. Memahami, bahwa saya tidak sedang ingin diajak ngobrol sana-sini. Bagaimana, masih mendiskreditkan kemampuan sensitifnya yang sungguh mumpuni ini? Yang membuat saya kadang berpikir…
…jangan-jangan kalau ada kesempatan mengobrol lebih panjang dengan mereka. Mereka bahkan bisa membaca pikiran dan alam bawah sadar saya, tanpa perlu menatap pergerakan mata saya seperti yang biasa dilakukan oleh Ibu Poppy. Lha wong dari nada bicara saja mereka sudah semampu itu.
Dari thread tersebut, beberapa orang di sana mengaku sering dikecewakan oleh jasa Gojek di kota lainnya dan menganggap bahwa driver Gojek Jogja memang berbeda. Berbeda di sini, karena mereka merasa para driver di Jogja baiknya kebangetan. Bahkan saking baiknya, mereka sering meminta maaf untuk kesalahan yang tidak mereka lakukan.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah hal ini ada kaitannya dengan budaya pekewuh yang dimiliki oleh orang Jogja, ya? Dari sepengamatan saya yang asli Jawa Timur ini dan telah tinggal di Jogja hampir 7 tahun, saya memang merasa teman-teman saya yang asli Jogja, memiliki sikap pekewuh yang sangat kuat. Sederhananya, mereka mudah merasa tidak enak hati. Mereka tidak enak dan takut jika sikapnya tersebut dapat menyakiti, menyinggung, atau bahkan menyengsarakan orang lain. Mereka pun biasanya akan cenderung bersikap dan berbicara dengan hati-hati supaya tidak memberikan kesan kurang sopan atau tidak menyenangkan.
Nah, ketika cara kerja untuk menilai peforma driver Gojek menggunakan penilaian bintang 1 sampai 5 dari pengguna jasanya tersebut, menjadi tidak mengherankan jika para driver ini akan bertindak lebih berhati-hati pada pelanggan. Sebab, masa depan karier si driver di Gojek ditentukan oleh bintang yang diberikan. Pada kenyataannya, dalam kasta tersebut, pelanggan memang memiliki kasta tertinggi karena dialah yang memiliki hak untuk memberikan penilaian. Hal ini kemudian disikapi dengan lebih cermat oleh driver Gojek Jogja, sebab mereka memiliki budaya pakewuh yang telah mengakar kuat.
Jadi, dengan kuatnya penilaian dari pelanggan saja, sudah dapat ‘mengatur’ perilaku seseorang supaya sikapnya dapat menyenangkan orang lain. Apalagi jika itu ditambah dengan memiliki budaya pekewuh kepada orang lain. Maka menjadi tidak mengherankan, jika para driver Gojek Jogja baiknya kebangetan.
Sikap pekewuh ini tentu tidak ada masalah jika memang digunakan untuk melakukan hal-hal yang positif, misalnya untuk berbuat baik pada orang yang juga baik kepada kita. Apalagi dalam bisnis apapun, pelanggan adalah raja. Meski sering kali, baiknya mereka ini, membuat saya sungkan-sungkan sendiri.
Contohnya nih, Bapak Gojeknya usianya sudah lanjut usia. Eh, beliaunya memperlakukan saya dengan sangat sopan. Misalnya cara ngomong beliau sampai harus nunduk-nunduk dan badan yang agak membungkuk ketika ngasih helm. Padahal, saya merasa nggak perlu sampai segitunya juga, sih. Justru saya merasa sangat tidak pantas diperlakukan seperti itu. Lha wong, kami juga sama-sama manusia. Malah saya jauh lebih muda dari beliau dan harusnya saya yang bersikap demikian.
Tapi dari sekian banyak pengalaman menggunakan jasa Gojek yang saya alami atau yang saya dengar, kisah paling epik masih datang dari driver Gojek di Lombok yang dialami oleh teman saya. Jadi, kalau kita naik ojek online di Jakarta, Surabaya, atau kota-kota besar lainnya, biasanya bakal ditawari, “Mau pakai masker nggak, Pak?” Tapi kalau naik ojek online di Lombok, yang mereka tawari justru, “Mau pakai helm nggak, Pak?” Sungguh, sebuah kearifan lokal yang mantap.