MOJOK.CO – Berbicara politik praktis di istana tentu sebuah kesalahan tersendiri bagi seorang presiden, dan Jokowi melakukannya.
Pertemuan antara Presiden Jokowi dan Wakil Walikota Solo Achmad Purnomo beberapa waktu yang lewat sejatinya hanyalah pertemuan yang biasa saja. Sekadar pertemuan seorang warga Solo dan warga Solo lainnya. Pertemuan antara seorang kader PDIP dan kader PDIP lainnya.
Namun pertemuan keduanya menjadi bermasalah karena digelar di istana negara dan yang diperbincangkan adalah perkara politik praktis tentang Pilkada. Dan menjadi lebih bermasalah lagi karena setelah pertemuan, salah satu dari mereka kemudian dinyatakan positif corona.
Achmad Purnomo adalah sosok yang tadinya akan diusung sebagai calon Walikota oleh DPC PDIP Kota Solo sebelum akhirnya digeser oleh Gibran.
Kepada media, Achmad Purnomo mengatakan bahwa di Istana, ia dan Jokowi membahas tentang Pilkada Solo. Dalam pertemuan tersebut pula Achmad Purnomo diberi tahu oleh Jokowi bahwa yang mendapatkan rekomendasi dari partai untuk Pilkada Solo bukanlah dirinya, melainkan Gibran Rakabuming.
Jokowi pun dikritik di media sosial. Ia dianggap menyalahi etika karena mengundang Achmad ke istana dan kemudian membicarakan masalah Pilkada. Padahal, ada larangan bagi presiden untuk bertemu siapa pun di istana untuk membicarakan tentang politik praktis.
Sebagai seseorang yang sangat peduli pada citra publik, Jokowi tentu saja luput memperkirakan hal tersebut. Kejadian itu tak seharusnya terjadi.
Jokowi seharusnya bisa menggelar pertemuan dengan Achmad Purnomo, atau tokoh-tokoh lainnya, untuk membicarakan politik praktis di tempat-tempat lain, yang jelas bukan di istana.
Di tempat pembuangan sampah
Ini tempat yang bagus untuk membicarakan politik. Bagi banyak orang, politik adalah sampah belaka, maka sangat pas jika membicarakan politik di tempat yang penuh dengan sampah. Dari sampah kembali ke sampah.
Bau sampah yang menyengat akan membuat orang yang mental dan nyalinya lemah cenderung ingin terburu-buru mengakhiri pembicaraan dan menyetujui apa saja yang dikatakan oleh lawan bicaranya tanpa banyak protes. Ini tentu bagus, utamanya jika Jokowi sedang menawarkan sesuatu yang cukup berat untuk diterima.
Di atas motor
Berbincang berdua di atas motor, apalagi motornya Astrea Grand merupakan momentum romantik-sufistik yang sangat cocok bila dipadukan dengan politik.
Perbincangan jenis ini adalah perbincangan yang intens dan penuh dengan kenyamanan. Ia bisa menghasilkan keputusan-keputusan penting yang dirumuskan oleh otak yang dingin, dan tubuh yang dingin pula karena angin yang semribit.
Pada titik tertentu, perbincangan di atas motor bisa menghadirkan pressure tertentu yang cukup ampuh untuk menguji nyali lawan.
“Gimana, kamu bersedia mengambil penawaranku apa nggak?”
“Kalau nggak mau, kenapa?”
“Ya nggak papa, tinggal motor ini aku tabrakin ke mobil depan.”
Di dalam gorong-gorong
Gorong-gorong, sependek apa pun itu, adalah salah satu dari sekian banyak jalan panjang yang mengantarkan Jokowi ke kursi Presiden. Maka tak salah rasanya jika suatu saat, Jokowi mencoba melintasi jalan tersebut dan mengajak kawan untuk berbincang.
Biarkan lawan bicara Jokowi merasakan betapa berat dan keras jalan yang dulu pernah harus dilalui Jokowi untuk sampai ke titik yang sekarang.
Gorong-gorong bisa menjadi semacam pesan yang lugas pada lawan bicara Jokowi “Gorong-gorong yang bau tikus saja bisa aku terjang, apalagi mulutmu.”
Di Warmindo
Tak ada tempat senyaman Warmindo alias burjo. Berbincang di sana, tentang politik dan apa saja, akan selalu menyenangkan. Ditemani mie dokdok, teh anget, atau indomie goreng yang rasanya selalu lebih enak ketimbang mie goreng yang di masak di rumah, obrolan bakal menjadi sangat cair dan lumer.
Jokowi bisa mengusahakan pengosongan warmindo agar obrolan menjadi lebih intim sehingga hanya ada Jokowi, lawan bicara, dan Aa’ burjo yang tahu apa saja yang diobrolkan.
“Jadi begini, Pak Achmad. Di Pilkada besok partai sudah memutuskan bahwa…” kata Jokowi, “Eh, sek, tak pesen teh anget dulu.”
“Baik, Pak. Monggo.”
“A’ teh anget hiji, sama indomie pedes, kasih cabenya opat,” kata Jokowi agak berteriak kepada Aa Burjo.
“Lho, Pak Jokowi bisa bahasa sunda, tho?” kata Achmad Purnomo.
“Jangankan cuma ngomong Sunda, wong bikin Gibran maju saja saya bisa… Aduh, malah keceplosan duluan. Ya wis, lah. Sekalian. Jadi besok itu, yang dapat rekomendasi bukan sampeyan, tapi anak saya, Gibran. Gimana. Sampeyan nggak keberatan, tho?”
“Ehm… sek, saya tak pesen makan juga dulu deh.”
“A’ teh anget hiji, sama indomie pedes, kasih cabenya opat,” kata Achmad agak berteriak kepada Aa Burjo.
“Lho, Pak Achmad bisa bahasa sunda juga, tho?”