MOJOK.CO – Sudah tahu hidup orang dewasa itu keras, kenapa cita-cita masa kecil tidak langsung saja dirancang untuk menghadapi masa-masa sulit?
“Cita-citamu apa?”
Waktu duduk di bangku SD, pertanyaan ini rasanya sering kali terdengar. Saya—dan teman-teman—bakal menjawab dengan antusias, dengan keyakinan yang luar biasa tinggi: “Jadi dokter!”, “Jadi polisi!”, atau “Jadi presiden!”.
Sewaktu masih aktif mengajar anak-anak SD, saya pun menanyakan hal yang sama pada murid-murid di kelas: apa cita-cita yang kamu miliki?
Kertas jawaban mereka bertabur mimpi: ada yang ingin jadi model, jadi bos, jadi suami, jadi barista, jadi artis, atau jadi tentara. Cita-cita masa kecil, pada bayangan mereka, adalah mimpi indah yang bakal menyuarakan kemenangan di masa depan, kebanggaan yang bisa menjamin hidup bahagia. Eaaaa~
Saya tidak pernah ingin menjadi dokter, tapi jelas saya pernah punya cita-cita masa kecil. Perkara cita-cita itu terkabul atau tidak adalah hal yang lain, tapi saya juga jadi bertanya-tanya…
…seberapa penting, sih, punya cita-cita??? Terus, memangnya cita-cita harus selalu berwujud profesi aja, ya??? Kenapa kita (hah, kita???) malah tanpa sadar mendorong generasi muda untuk mencita-citakan sesuatu yang terbatas pada lingkungan pekerjaan, padahal kita tahu bahwa hidup orang dewasa itu keras dan bisa jadi sangat menyebalkan???
Padahal, mengingat prinsip “ucapan adalah doa”, sepertinya akan jadi jauh lebih baik kalau cita-cita masa kecil dirancang dengan lebih banyak pertimbangan, matang secara mental, dan berisi harapan-harapan yang langsung diadakan demi menghadapi masa-masa sulit (halah!) sebagai berikut:
Pertama, cita-cita menjadi orang-yang-kuat-saat-menyadari-dirinya-didatangi-teman-cuma-waktu-ada-butuhnya-doang. Mamam~
Hey, hey, hey, tolong jangan tertawa. Nyatanya, fenomena ini kerap terjadi di dalam dunia kehidupan orang dewasa dan kian terasa saat lingkar pertemanan kian menyempit. Kawan yang sudah lama tak terdengar kabarnya bisa tiba-tiba datang, bertanya kabar, bersikap sangat baik, eh ternyata mau minta tolong agar kita jadi panitia pemugaran rumah pribadinya.
Kedengaran aneh? Memang, tapi—well, kehidupan juga bisa seaneh itu, Surnyoto. Percaya, deh.
Dan kalau kita tidak menyiapkan diri untuk menjadi orang yang kuat, siap-siap saja—ambyar kowe!
Kedua, cita-cita menjadi orang-yang-kreatif-bertahan-hidup-waktu-dompet-sedang-tipis.
Sekali lagi, tolong jangan tertawa. Sebaiknya, kamu-kamu ini introspeksi, lah: ngapain, sih, anak-anak kecil diajarin bercita-cita jadi dokter atau polisi terus??? Biar uangnya banyak, gitu??? Lantas, kamu pikir jadi kru Mojok nggak pantas untuk dicita-citakan apakah mereka juga bakal siap menghadapi kenyataan hidup kalau sewaktu-waktu mereka bakal kehabisan uang dan miskin mendadak??? Hmm???
Konon, salah satu pelajaran hidup yang penting adalah kala kita (hah, kita???) berada pada situasi ekonomi yang sulit. Kalau dari kecil aja kita nggak diajak untuk bersiap-siap menghadapi badai ekonomi pribadi begini, mau jadi apa kita??? Jadi kru Mojok???
Ketiga, cita-cita menjadi orang-yang-tetap-waras-saat-patah-hati.
Karena dulu saya nggak pernah pacaran di bangku SD, saya nggak tahu rasanya putus cinta di kelas 3. Namun, melalui investigasi mendadak, teman-teman yang pernah pacar-pacaran dengan seragam putih-merah pun mengaku bahwa “udahan” ala mereka waktu itu terasa biasa dan nggak sedih-sedih amat.
Naaaah, bagi pelaku cinta monyet dan orang-orang yang saat itu nggak pernah pacaran—iya, kayak saya—pendidikan menghadapi patah hati pun masih sangat minim. Alhasil, kita cenderung menganggap hal ini adalah hal yang nggak sepatutnya menjadi persoalan yang urgen. Padahal, FYI aja nih, patah hati dan putus cinta kadang bisa membuat orang sakit luar biasa, down, membenci diri sendiri, menutup diri dari lingkungan, percaya diri yang rendah, dan—ah, sebutkan saja kesakitan-kesakitan itu, Subroto, sebutkaaaan~
Yang jelas, kalau kita nggak kokoh seperti baja, patah hati bisa membuat diri kita hancur berkeping-keping sampai tak bisa bangkit lagi, persis kayak Tom di serial Tom and Jerry pas lagi kepentok dan badannya kepotong jadi 78 bagian.
Keempat, cita-cita menjadi orang-yang-tidak-mabuk-agama-dan-politik-menjelang-pilpres.
Seperti yang telah diyakini banyak orang, Pilpres 2019 adalah pilpres paling absurd yang terjadi dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Sedikiiiiit saja ada perbedaan pandangan antara kamu dan orang terdekatmu, sebuah perpecahan mungkin saja terjadi. Di Pilpres 2014 saja saya pernah bertengkar dengan pacar gara-gara kami mendukung kubu yang berbeda—apa yang bakal terjadi, coba, kalau kami masih pacaran sampai tahun 2019??? Baku hantam???
Ya, Saudara-saudara: pilpres memang bisa seaneh itu. Siap-siap saja WhatsApp-mu dibanjiri broadcast-broadcast propaganda, bahkan pintu rumahmu diketuk untuk kampanye door-to-door. Mengaku tak punya jagoan pun bukan pilihan yang bijak-bijak amat karena bakal langsung diprospek untuk mendukung salah satu calon dengan alasan, “Eman-eman hak pilihmu.”
Padahal, mah, nge-like atau nge-retweet cuitan dukungan untuk salah satu calon saja bisa berujung kepada stigma diri sebagai cebong atau kampret, lantas bakal terseret-seret ke “arena pertarungan” yang sengit dan penuh hoaks menyesatkan.
Duh, Dek, segeralah ganti cita-citamu yang jadi dokter. Semoga kamu bercita-cita jadi orang waras dan kuat saja, ya.