MOJOK.CO – Bermain-main dengan kebodohan, kekonyolan, dan isu agama sudah nggak seksi. Saatnya kubu Prabowo me-roasting Jokowi dengan cantik.
Beberapa hari yang lalu, bahkan mungkin hingga saat ini, Mojok dianggap sebagai corong Jokowi. Apakah kami memihak Jokowi? Hmm…biarlah itu menjadi rahasia hingga akhir zaman. Satu hal yang pasti, kami memihak kebodohan. Maksudnya, kami akan bersorak kegirangan ketika salah satu pasangan kubu calon presiden-wakil presiden membuat kebodohan.
Mengapa begitu? Ya karena kami butuh asupan kebodohan para politisi karena itulah sumber tulisan yang Mojok-able. Saya dan teman-teman redaktur pernah berbicara di depan berbagai forum perihal masalah ini. karena kebutuhan membuat konten yang Mojok-able dan enak untuk ditertawakan, kami jadi seperti condong kepada Jokowi.
Itulah masalahnya. Banyak berita soal kekonyolan dan kebodohan berasal dari kubu Prabowo dan Sandiaga Uno. Seperti misalnya soal masalah stunt man Jokowi ketika Asian Games 2018, Fadli Zon menggubah lagu anak-anak secara serampangan, kasus kebohongan Ratna Sarumpaet, hingga fetisme Sandiaga Uno kepada tempe. Itu kejadian-kejadian yang sungguh menyenangkan untuk digoblok-goblokkan.
Kami sih sayang Prabowo dan Sandiaga. Bahkan ketika ada artikel yang ditulis untuk membela pasangan calon nomor 2 itu, kami pun memuatnya dengan bahagia. Masalahnya, jumlahnya sangat sedikit. Serangan kepada Jokowi pun lebih banyak menyerang personal yang cenderung hoaks. Misalnya soal Jokowi dan PKI, atau ketidakmampuan Jokowi berbahasa Inggris secara lancar. Itu serangan-serangan yang kuno dan mudah diserang balik. Kurang menggigit.
Masalah kedua, ketika kubu Prabowo diminta memaparkan ide, yang ada justru menjelaskan secara menggebu-gebu bahwa saat ini “Indonesia sedang sakit”, “Ekonomi makin sulit”, “Orang miskin nggak bisa masuk hotel”. Plis deh, mbok yang spesifik. Prabowo mau ngapain kalau jadi presiden. Jelaskan secara jernih dan nggak perlu ndakik-ndakik. Audience butuh sesuatu yang sederhana dan dekat dengan mereka.
Banyak politisi yang bilang rakyat sudah cerdas. Tetapi, yang dimaksud itu rakyat yang mana? Kalau yang kelas ekonomi menengah, mereka nyaman-nyaman saja. Lha wong masih bisa rutin nge-gym setelah ngantor. Kelas ekonomi bawah? Mareka jarang terpapar internet secara intensif. Kebanyakan sudah ribet dengan bekerja dan mencicil utang. Durasi berselancar di internet yang sangat sedikit itu perlu dimaksimalkan kubu Prabowo secara efektif.
Soal agama? Sudahlah, itu jualan yang semakin hari semakin basi. Rakyat, ketika dijejali soal agama, makin lama bakal jengah. Bahkan bisa berbahaya ketika terjadi benturan horizontal. Efeknya bisa sangat buruk untuk citra Prabowo.
Pola ini memang sukses di Pilkada DKI. Namun, tidak ada jaminan bakal sukses di Pilpres 2019 karena hingga saat ini, elektabilitas Jokowi masih lebih dari 50 persen. Milenial itu dinamis. Jejalan isu agama bisa mengusik dinamisnya pola pikir mereka. Kalau sudah jengah, meski sebetulnya tak suka, mereka akan beralih ke Jokowi.
Nah, bagaimana cara me-roasting Jokowi secara lebih elegan dan efektif? Yang pertama perlu dilakukan adalah mengurangi aksi-aksi kebodohan dari para kader dan pendukung.
Fadli Zon, misalnya, kurang-kurangi menggubah lagu anak atau berkomentar yang bikin kontroversi. Saya yakin Pak Fadli itu berpendidikan tinggi. Pastinya punya “strategi dagang” yang lebih ciamik. Sandiaga Uno, jangan lagi “tempa-tempe” lagi. Itu fetisme yang aneh, Pak. Intinya kurangi aksi-aksi konyol.
Kepada para pendukung Prabowo se-Indonesia, jangan lagi menggunakan isu SARA. Itu sangat tidak elegan. Mulai masuk ke hal-hal yang praktis dan bisa dilakukan ketika terpilih. Misalnya me-roasting Jokowi soal Jembatan Suramadu. Serang di bagian money politic, jangan hanya berteriak soal pencitraan saja.
Begini, Prabowo dianggap melakukan money politic ketika membagi-bagikan buku berjudul Paradoks Indonesia. Counter kubu Jokowi dengan penggratisan Jembatan Suramadu. Pihak petahana bisa berkelit bahwa kebijakan tersebut merupakan kebijakan negara. Namun, di tengah tahun politik ini, hal tersebut menjadi samar. Ini memang keuntungan petahana. Jadi, serang kekuatan petahana ini secara efektif.
Misalnya dengan memberikan contoh konkret. Ketika harga BBM naik, Jokowi tidak berani maju ke depan mimbar untuk mengabarkan “kabar buruk” itu. Namun, ketika menyampaikan kabar yang positif untuk citranya, capres yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin tersebut akan muncul paling depan. Ini efektif mendongkrak level kesukaan warga kepada petahana.
Serang dengan tajuk “Jokowi melakukan money politics dengan berlindung di balik kebijakan negara”. Gaungkan seluas mungkin. Bikin warga percaya bahwa aksi petahana tidak sepenuhnya “bersih”. Kalau mendapatkan umpan balik yang positif dari calon pemilih, gunakan strategi yang sama untuk mengkritisi kebijakan yang baru dari pemerintah. Misalnya dengan pertanyaan dasar: “Mengapa baru melakukannya di tengah tahun politik?”
Lalu, cara kedua adalah sambut kegelisahan “warga kecil” dengan cantik. Kemarin, Forum Guru Honorer K2 Indonesia (FHK2I) gusar ketika unjuk rasa mereka diabaikan Jokowi. Saking geramnya, para guru honorer mengancam tidak akan memberikan suara mereka kepada petahana di Pilpres 2019.
Ini kesempatan yang baik untuk merangkul guru honorer, yang jumlahnya banyak dan nasibnya seperti dimarginalkan sejak lama. Ini saatnya bagi pendukung sang penantang untuk memaparkan dan menggaungkan kebijakan-kebijakan strategis terkait guru honorer dan dunia pendidikan.
Yang ingin dikejar bukan suara guru honorer belaka, tetapi simpati rakyat bahwa Prabowo punya rencana positif untuk mereka. Bukan lantas teriak-teriak Jokowi nggak peduli rakyat kecil saja. Paparkan ide. Jika berhasil, istilah “guru honorer” bisa diganti dengan “para petani”, “para nelayan”, “para buruh”, dan lain sebagainya. Jadi semuanya saling terkait.
Dengan begitu, rakyat tahu bahwa Prabowo punya rencana, bukan hanya bisa ngamuk-ngamuk saja menunjukkan “yang katanya kedisiplinan dan ketegasan” saja. Rakyat lelah ditekan. Rakyat butuh sesuatu yang konkret. Terlalu lama bermain dengan serangan yang tumpul, kubu penantang akan ketinggalan gerbong suara Pilpres 2019.
Saya pikir, dua contoh di atas sudah cukup. Cara-cara me-roasting ini jauh lebih efektif dan memikat di mata rakyat. Jangan lagi unjuk kebodohan dan kekonyolan. Komedi yang diulang-ulang bakal menjemukan. Kalau ke depan masih unjuk kebodohan dan kekonyolan, ya kita tahu kualitas sang penantang, bukan?