MOJOK.CO – Irjen Dharma Pongrekun, Capim KPK dari Kepolisian merasa LHKPN miliknya tidak perlu jadi masalah kalau belum disetor ke KPK. Itu kan konsep ateis, katanya.
Menurut Irjen Dharma Pongrekun, Calon Pimpinan KPK dari Kepolisian, pejabat negara seperti dirinya tidak seharusnya tunduk pada aturan Laporan Harta Kekayaan Pengelenggara Negara (LHKPN).
Komentar ini muncul ketika Irjen Dharma Pongrekun merasa LHKPN-nya yang belum disetor ke KPK seharusnya tidak menjadi masalah.
“Salahnya di mana (tidak lapor LHKPN)? Tidak relevansi dengan filosofi hukum Tuhan. Yang buat LHKPN awalnya dari mana? KPK. Kenapa? Karena konsepnya konsep ateis,” kata Irjen Dharma Pongrekun.
Pernyataan ini tentu saja menarik. Apalagi menurut Dharma, laporan kekayaan itu tak ada ketentuannya dalam hukum agama. Namanya rezeki orang kok diatur dalam Undang-Undang Negara. Lagian, mana ada dalil dalam agama pejabat negara harus lapor harta kekayaan negara. Ini benar-benar konsep bikinan manusia. Dari ateis lagi.
Seperti yang diketahui bersama, persyaratan mendaftar sebagai Calon Pimpinan KPK tidak memasukkan LHKPN sebagai kewajiban. Hal semacam ini membuat kita lantas pantas bertanya-tanya, bagaimana mungkin pemimpin lembaga komisi yang mengurusi kekayaan orang lain (yang dicurigai hasil dari korupsi) harta kekayaannya sendiri justru tidak dilaporkan?
Akan tetapi menurut Pansel KPK, syarat LHKPN ini memang belum menjadi beban kewajiban bagi calon. Syarat ini baru akan dibebankan ketika yang bersangkutan sudah terpilih. Jadi ketika Irjan Dharma nanti—misalnya—terpilih menjadi salah satu dari Pimpinan KPK, maka blio diwajibkan memenuhi persyaratan dari konsep ateis tersebut.
Aturan semacam itu, menurut Capim KPK dari Polri ini justru cuma bikin orang jadi bersiasat untuk melakukan dosa. “Aturan ini membuat orang jadi dosa. Coba cari sistem yang lebih bagus lah,” kata Dharma.
Kalau dipikir-pikir, pernyataan ini memang benar. Berbahaya sekali bagi banyak pejabat negara yang rezekinya mengalir begitu deras karena kerja keras harus dikit-dikit lapor. Lagian, apa sih urgensi melaporkan hasil kekayaan pejabat negara? Itu kan bukan pemandangan yang baik untuk rakyat kere di Indonesia.
Rakyat sehari-hari hidup miskin, makan raskin, hidup di kolong jembatan, masa harus dipaksa melihat kekayaan pejabat-pejabat negara diumbar-umbar begitu? Ini kan bikin sakit hati dan dongkol. Tega nian negara memperlakukan rakyatnya kayak begitu.
Harta kekayaan pejabat negara itu jangan dibuka-buka begitu. Tak sopan. Bikin orang jadi mudah sombong, merasa tajir, lalu berbuat sesuka hati. Bukankah pejabat negara kita memang dasarnya punya sifat rendah hati sehingga selalu suka menyembunyikan kekayaannya?
Kekayaan pejabat negara itu baiknya memang jadi rahasia si pejabat dengan Tuhannya saja. Tak perlu ada aturan LHKPN segala. Lagian, mana mungkin pejabat kepolisian harus dicurigai seolah-olah harta kekayaannya nggak halal sampai harus kasih LKHPN segala. Curiga amat sih KPK?
Jangan lupa ya, Polisi itu penegak hukum. Mana mungkin Polisi melanggar hukum. Kalau sampai ada yang melanggar, paling yang dilanggar adalah hukum dari konsep-konsep ateis doang. Itu pun juga sudah pasti oknum.
Meski LHKPN adalah konsep ateis, menurut Irjen Dharma sarana transparansi kekayaan pejabat negara menggunakan konsep ini sih bisa saja, asal jangan memaksa. “Kalau lu mau tangkap, tangkap. Transparansi apa, orang dia belum tentu daftarin semua kok,” katanya.
Lagian pihak-pihak yang memaksa pejabat menyerahkan LHKPN ini juga aneh. Masa pejabat yang nggak mau ngasih LHKPN dipaksa-paksa? Tak ada itu ketentuannya dalam agama. Aturan juga muncul cuma dari Undang-Undang Negara aja. Dan itu kan bikinan manusia, bukan dari aturan agama.
Kalau perlu KPK menjalankan amanat ini di segala aspek ke depannya. Jadi kalau mau nangkap orang yang dicurigai koruptor ya jangan memaksa. Apalagi sampai pakai borgol segala, pakai rompi oranye segala. Itu kan aib, memalukan tersangka di hadapan orang banyak.
Nah, karena pakai cara paksa itu nggak baik, ada baiknya ke depan ketika KPK menangani kasus korupsi ditunggu saja si terduga menyerahkan diri. Lalu melakukan konferensi pers mengumumkan dengan suka rela kalau si terduga telah korupsi ke seluruh rakyat. Nah, tepat di saat itulah, KPK sebaiknya juga ikut membubarkan diri.