MOJOK.CO – Ketika BlackBerry dinyatakan mati secara resmi, nggak ada gejolak berarti di hati saya. Malah ada rasa kangen ke hape-hape lama Nokia.
Mulai Selasa (4/1), BlackBerry resmi meninggoy. Kali ini beneran, nggak pakai drama-drama. Pokoknya mati. Sejumlah OS seperti BlackBerry 7.1 OS, BlackBerry 10, BlackBerry PlayBook OS 2.1, dan versi yang lebih lama, resmi berhenti.
Mungkin banyak yang merasa kehilangan. Namun, saya sendiri nggak merasakan sesuatu. Apalagi ikut berduka atas matinya salah satu hape ikonik ini. Yah, meski masa kejayaannya terhitung singkat, tidak bisa disangkal kalau BlackBerry pernah menempati posisi istimewa di hati penggemarnya.
Pada rentang 2009 hingga 2012, beredar BlackBerry dengan beragam varian. Misalnya, Curve, Storm, Bold, Torch, Onyx, dan lain-lain. Seketika itu, kebanyakan orang mulai kecanduan dan melirik hape ini sebagai kandidat yang masuk daftar beli.
Awal 2010, ketika honor menulis buku cair, saya ditawari hape BlackBerry oleh salah satu teman. Maklum, saya sudah rasan-rasan sejak lama pengin ganti hape. Hape lawas saya bermerek Samsung, tapi saya sudah lupa variannya.
Saya sempat tertarik. Apalagi, di lingkaran pertemanan saya, mayoritas sudah pindah ke BlackBerry. Pertanyaan “Mintap pin, dong,” hampir tiap hari saya terima. Lama-lama saya malah jengkel sendiri. Awalnya pengin ikut arus dengan membeli, tapi kok malah jadi malas.
Akhirnya, alih-alih beli BlackBerry, saya memutuskan membeli Nokia E75. Nokia E75 ini dianggap sebagai miniatur Communicator. Salah satu produk Nokia yang punya kelas tersendiri. Pakai hape yang ukurannya kayak pentungan kentongan pos ronda ini bisa bikin kamu kelihatan kayak eksekutif muda.
Sebagai hape bisnis, fitur unggulan Nokia E75 adalah fitur email yang lebih canggih dan lebih mudah diakses. Dulu, Nokia Indonesia mengklaimnya sebagai layanan paling mudah dipakai… pada zamannya.
Selain jengah dengan pertayaan soal pin, saya punya beberapa keresahan lain soal BlackBerry. Mas Aditya Rizky, webmaster Mojok pernah menuliskannya dengan baik dan sangat mewakili perasaan saya. Jadi, saya kutipkan yang memang jadi keresahan saya juga:
Keypad fisik BlackBerry yang payah
Ngetik di atas keypad fisik BlackBerry yang ukuran tombolnya sangat kecil itu nggak enak. Huruf-hurufnya memenuhi separuh muka hape. Ukuran layarnya terkesan sempit dan serba tanggung. Malah mirip kalkulator ketimbang smartphone.
Banyaknya tombol membuat hape ini jadi rumit. Bandingkan dengan smartphone yang di bagian mukanya tak ada atau paling tidak, mengurangi jumlah tombol fisik.
Teknologi keypad sentuh lebih menjanjikan. Sensasi mengetik pada keypad sentuh sudah bisa diatasi dengan getaran, audio, dan tampilan haptic feedback ketika sebuah tombol dipencet.
Kelemahan lainnya adalah lebih mudah rusak/aus. Keypad fisik harus sering dibersihkan agar tidak mudah kotor terkena debu atau air. Sudah begitu, trackball di bagian tengah sering bermasalah.
Tampilan antarmuka kurang menarik
Ngobrol lewat aplikasi BlackBerry Messenger (BBM) memang lebih nyaman ketimbang lewat SMS, meskipun secara antamuka juga biasa saja. BlackBerry versi awal masih menggunakan warna monokrom. Baru kemudian muncul BlackBerry OS yang sudah mulai berwarna, meski masih menggunakan resolusi standar (belum HD).
Ketika BlackBerry 10 muncul, semuanya sudah terlambat. Pergerakan generasi ponsel cerdas berlayar sentuh sudah lebih advance. BlackBerry 10 berusaha membuat antarmuka yang lebih unggul bersama antarmuka iPhone, Android, juga Symbian. Namun, sayangnya juga gagal.
Hanya cocok untuk Pebisnis
Impresi saya terhadap orang yang menggenggam BlackBerry di zaman itu tak lain adalah golongan pebisnis tulen. Hape cerdas ini memang hanya cocok jika dan hanya jika kamu adalah seorang pebisnis. Artikel The Telegraph yang ditulis pada 2010 ini cukup untuk menguatkan argumen saya.
Kalau di zaman itu kamu masih mahasiswa atau sama sekali bukan pebisnis, apa enaknya menggunakan BlackBerry. Untuk gaya-gayaan kurang trendy, pilihan aplikasinya gitu-gitu aja, baterai cepat habis, pun hasil jepretan kameranya tidak memuaskan.
Kalau diminta memilih alasan terbesar saya malas menggunakan hape ini adalah tombolnya yang terlalu kecil. Jempol saya terlalu jumbo untuk tombol-tombolnya yang mini. Lagian, tampilan layarnya terlihat “menyiksa” mata.
Oleh sebab itu, ketika dinyatakan mati secara resmi, nggak ada gejolak berarti di hati saya. Malah ada rasa kangen ke hape-hape lama Nokia. Entah kenapa, hape sejuta umat itu lebih terasa bersahabat.
BACA JUGA Sebuah Kisah Klasik Blackberry Messenger untuk Masa Depan dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno