MOJOK.CO – Tak perlu terburu-buru untuk mendapatkan rumah ideal atau rumah impian, pelan-pelan saja.
Entah kebetulan atau tidak, namun banyak sekali budayawan yang saya kenal punya rumah yang gayanya hampir seragam: rumah bergaya lama dengan perpaduan kayu jati dan tembok batu-bata yang tidak diaci namun diplitur. Mungkin memang begitu itu seleranya para budayawan.
Selera tersebut tampaknya menular kepada saya. Bahwa saya tidak terlalu tertarik atau punya potensi menjadi seorang budayawan, itu adalah satu hal, namun yang jelas, selera saya tentang rumah memang satu frekuensi dengan kawan-kawan budayawan yang saya kenal itu.
Kepada istri saya, saya menceritakan bahwa saya ingin sekali kelak bisa punya rumah ideal saya, rumah ala-ala budayawan, rumah yang tembok batu-batanya tidak diaci itu, ada nuansa kayunya, lantainya parket, dan halamannya ditanami grass block. Pokoknya sekali lagi, rumah yang kesannya sederhana tapi tetap mewah, artsy, dan goks. Rumah yang mau tak mau mengingatkan saya dengan bangunan keputren di sinetron Tutur Tinular yang dulu sering saya tonton itu.
“Rumah model begitu itu bisa bikin wibawa pemiliknya naik, tamu akan segan tersebab selera si tuan rumah yang amat bagus dalam urusan membangun rumah,” ujar saya. “Kalau kelak kita tidak punya jabatan atau harta yang banyak yang bisa bikin wibawa kita naik, setidaknya rumah kitalah yang bisa membuat wibawa kita tertolong.”
Kelak, harapan saya untuk bisa punya rumah yang ala-ala budayawan itu ternyata bukanlah harapan yang sepele. Di Jogja, tempat saya tinggal, rumah apa pun, baik yang ala budayawan maupun yang tidak, semuanya mahal harganya. Tak hanya mahal, kenakan harganya pun sangat tidak masuk akal.
Bayangkan, seorang senior kerja saya membeli rumah tak jauh dari tempat saya ngontrak. Rumah itu dibeli sekitar 2013 lalu dengan harga 600 juta. Harga itu kemudian naik menjadi dua kali lipat hanya dalam tempo lima tahun saja. Bayangkan, rumah yang tadinya 600 juta bisa naik menjadi 1,2 miliar hanya dalam waktu satu periode presiden menjabat. Maka, tak terbayang berapa harga rumah-rumah sepuluh atau lima belas tahun lagi.
Tak terbayang pula kalau kami harus beli rumah ideal kami dengan nabung dulu sampai terkumpul duit banyak, pastilah harganya sudah jauh lebih menakutkan lagi.
Dasar nasib baik, saya dan istri ternyata mendapatkan durian runtuh. Mertua salah seorang kawan saya ternyata membeli tanah yang amat luas di dekat kantor saya. Ia kemudian membagi-bagi tanah tersebut dan menjualnya per kavling. Harganya tidak mahal, namun juga tidak murah. Kawan saya kemudian menawarkan tanah kavlingan milik mertuanya itu kepada saya, barangkali saya berminat.
Saya tertarik, namun saya ingin membayarnya dengan sistem cicilan tempo berjangka. Dan alhamdulillah, ternyata mertua kawan saya setuju. Saya boleh membayar tanah tersebut dengan sistem tempo berjangka tanpa bunga dan tanpa kenaikan harga. Alhamdulillah, Allah mempermudah jalan saya untuk mendapatkan rumah idaman tanpa harus melalui skema KPR.
Kini, tanah itu sudah mulai kami cicil tiap tiga bulan sekali dan rencananya akan resmi menjadi milik saya dan istri dua tahun mendatang.
Kepada kawan saya yang lain yang tampaknya mengerti soal rumah, saya pun berkonsultasi tentang berapa kira-kira ongkos untuk bikin rumah ala-ala budayawan dengan luas tanah sesuai dengan tanah yang saya beli. Dan sial, ternyata ongkos untuk bikin rumah ala budayawan itu tak sesederhana yang saya kira. Walaupun dari kayu dan batu-batanya tidak diaci, namun tetap saja mahalnya minta ampun.
“Kayu jatinya itu mahal, dan batu-batanya itu bukan batu-bata sembarangan, jangan dikira itu batu-bata yang sama dengan yang dipakai buat bikin tembok yang diaci, beda,” kata kawan saya.
Harapan untuk bisa punya rumah impian ala budayawan yang tadinya sempat membuncah akhirnya surut kembali setelah mengetahui besarnya ongkos bikin rumah itu.
Kawan saya justru menyarankan agar saya membuat rumah dengan desain biasa saja dulu. Menyesuaikan budget yang memang ada. Jangan langsung sok mau membangun rumah ideal atau rumah impian.
“Aku itu nyicil beli tanah biar bisa beli rumah ala-ala budayawan itu kok,” terang saya.
Namun, kawan saya itu mengatakan bahwa urusan rumah itu adalah perkara realistis. Kalau memang budget yang ada memang pas-pasan, maka bikinlah rumah yang pas-pasan pula. Jangan terlalu banyak maunya.
“Aku itu kenal banyak orang yang punya keinginan macem-macem tentang rumahnya, persis kayak kamu itu, namun pada akhirnya mereka realistis juga, dan itu bikin mereka jadi lebih tenang hidupnya,” ujarnya.
Kepada saya, ia menjelaskan lebih jauh bahwa rumah impian atau rumah ideal itu umumnya adalah bukan rumah pertama. Kamu harus ingat, katanya, bahwa rumah impian itu susah ditemukan pada rumah pertama, sebab rumah pertama yang bisa dibeli oleh seseorang itu umumnya adalah rumah yang penuh pemakluman, rumah yang dibeli bukan karena alasan estetika atau selera, melainkan lebih karena alasan “yang penting punya rumah dulu”. Nah, jadi kalau pengin punya rumah impian, biasanya ya rumah kedua atau malah rumah ketiga.
Penjelasan kawan saya amat masuk akal, terlebih, ia juga memberikan contoh bahwa rumah-rumah milik budayawan yang ingin sekali saya ikuti itu pada kenyataannya memang bukan rumah pertama si budayawan. Rumah-rumah yang arsty itu dibeli setelah hidup mereka sudah mapan atau sudah jauh lebih baik secara keuangan. Rumah pertama yang mereka tempati sebelumnya adalah juga rumah biasa yang mungkin penuh dengan ketidakidealan. Dan mereka mencoba berdamai dengan itu.
Pada akhirnya, saya mulai sadar, bahwa saya memang tidak boleh terlalu berhasrat untuk bisa punya rumah budayawan dalan waktu yang cepat.
Lagipula, jangankan kok mau punya rumah budayawan, wong bahkan untuk melunasi tanahnya saja, saya masih butuh berjuang amat keras.
Kelihatannya memang saya terlalu jauh dalam berangan-angan. Benar bahwa Bung Karno pernah berkata “Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang”, namun saya juga harus sadar, bahwasanya semakin tinggi posisi kita jatuh, semakin sakitlah kita.
Ah, ya sudah, rumah biasa saja tampaknya juga oke. Nggak perlu rumah budayawan
BACA JUGA Mewujudkan Rumah yang Manusiawi dan artikel AGUS MULYADI lainnya.