MOJOK.CO – Sering bikin status WhatsApp bukan berarti nggak ada kerjaan. Belum tahu aja, sebenarnya banyak orang yang sedang berusaha nggak caper.
Status WhatsApp sudah terhitung jadi bagian dari kehidupan orang-orang Indonesia, terutama boomer dan aktivis WAG. Riset paling minimalis yang saya lakukan di lingkar pertemanan saya sendiri, menunjukkan bahwa orang-orang yang aktif dan suka bikin Status WhatsApp memang sebagian besar bukan tipe yang aktif di media sosial lain seperti Instagram. Ini artinya, napas Status WhatsApp sendiri memang punya karakteristik yang berbeda dengan jenis unggahan lain yang hilang dalam 24 jam.
Saya punya cerita menarik seputar dunia per-WhatsApp-an di kalangan boomer, utamanya yang saya amati dari aktivitas orang tua saya sendiri. Pekan lalu, setelah menyelesaikan studi dan menerima ijazah, saya sempat berfoto dengan orang tua saya. Niatnya memang buat kenang-kenangan, sekalian biar wisuda daringnya agak berkesan lah, nggak krik krik banget. Hasil foto-foto kami itu praktis menunjukkan rasa syukur saya karena akhirnya bisa juga ya pemalas kayak saya menamatkan magister. Sedangkan bagi orang tua, tentu itu sesuatu yang lain. Foto itu adalah sebuah legitimasi bahwa: Ini anak saya sudah tamat S-2!
Saya nggak mau berkomentar deh tentang gaya parenting di Indonesia dan betapa mereka gemar sekali membanggakan anak-anaknya. Di satu sisi itu mungkin lebay, tapi di sisi lain saya nggak bisa menghakimi karena, ya, saya belum tahu rasanya jadi orang tua. Yang jelas momen ini bikin orang tua saya pengin banget memamerkan hasil foto kami ke kerabat dekat, sanak saudara, dan konco kenthel mereka. Pamernya dari mana lagi kalau bukan lewat WhatsApp.
Ibu saya tiba-tiba sudah mengunggah banyak sekali foto, bahkan foto ngeblur saya waktu pegang ijazah pun beliau bagikan di Status WhatsApp. Blio kemudian sumringah dan bilang bahwa banyak sekali kawan-kawannya yang turut mengucapkan selamat atas kelulusan saya. Bapak saya nggak mau kalah. Blio tentu juga pengin kawan-kawannya kirim japri ucapan selamat ke saya. Tapi, kali ini, blio nggak membagikan foto-foto kelulusan saya di Status WhatsApp, melainkan membagikannya di WAG keluarga.
Herannya, ibu saya langsung protes dan menganggap bahwa tindakan bapak saya bisa dianggap pamer. “Mending dijadikan Status WhatsApp,” katanya.
Iya juga, pikir saya. Buat apa mengirim banyak foto wisuda anak ke sebuah WAG tanpa konteks. Pun bila dengan konteks, bakal tetap kelihatan lagi pamer. Misalkan fotonya dikasih kata-kata religius, “Alhamdulillah anak saya wisuda.” Tetap saja kelihatan caper, seolah-olah pengin banget diucapin selamat.
Bikin Status WhatsApp yang isinya pencapaian memang bisa menghindarkan seseorang dari dianggap caper dan pamer. Bagaimanapun ini lebih baik daripada pamer pencapaian lewat japri dan WAG. Walaupun kita bisa berkilah, “Namanya juga berbagi kebahagiaan,” Tetap saja bakal ada segelintir orang lambe nyinyir yang membatin, “Hadeeeh, gini aja dipamerin, anak saya aja S-3 dua kali.” Kocak, bukan? Status WhatsApp memang sebuah fitur yang bisa menetralkan suuzan.
Bahkan bukan hanya soal pencapaian, pendapat pribadi seputar hal sehari-hari juga lebih pas kalau diunggah melalui Status WhatsApp. Misalkan ketika ingin bilang, “Cowok macam apa yang ngajak susah?! Mendingan cari cowok yang bisa bikin senang.” Tentu kalimat ini lebih pas diunggah di status daripada harus secara acak dikirimkan ke grup RT. Nanti bisa-bisa pak RT kepikiran sampai subuh.
Status juga memungkinkan pengguna lainnya menanggapi unggahan lewat chat pribadi. Nggak kemudian terekspos jadi dialog dua orang di grup yang anggotanya ramai. Tentu hal ini lebih enak dinikmati dan nggak bikin anggota grup lainnya merasa berisik.
Lagi pula, mengunggah status juga bisa jadi kode-kode yang sering dipakai anak muda. Mereka yang mengunggah status mungkin lagi caper dan penguin statusnya dilihat gebetan. Sedangkan si gebetan yang kebetulan menyaksikan status itu pun bisa langsung ngajak chatting tanpa harus pusing-pusing mencari topik pembicaraan. Ya masa sh tanya lagi apa terus-menerus.
Makanya, Status WhatsApp memanglah sebuah fitur yang sepatutnya dilanggengkan. Ia bisa menghindarkan seseorang dari dianggap caper dan pamer. Fitur ini pulalah yang mendekatkan dua insan yang lagi PDKT tanpa kelihatan maksa. Semua berjalan begitu indah dalam semesta per-WhatsApp-an duniawi.
BACA JUGA Stereotip Emoji WhatsApp yang Banyak Menggambarkan Siapa Kita dalam Percakapan dan tulisan rubrik POJOKAN lainnya.