MOJOK.CO – Hubungan dengan orang yang dianggap dekat biasanya memang cenderung jadi semaunya. Nggak aneh, kalau kita jadi sering bertengkar dengan orang tua.
Sebagai perantau, lebaran memang menjadi momen untuk berkumpul kembali dengan keluarga di kampung halaman. Ada yang menganggap keluarga di rumah betul-betul menjadi tempat pulang alias “home”. Ada pula yang menganggap mereka sekadar “house”. Alias pulang ke rumah cuma jadi kewajiban yang harus dipenuhi saja, tapi hati nggak sreg-sreg amat.
Hidup di lingkungan dan punya keseharian yang berbeda, tidak jarang bikin banyak kesalahpahaman terjadi saat si perantau ini pulang. Akhirnya, pertengkaran-pertengkaran sulit dihindarkan. Ternyata, bertengkar dengan pacar, tidak ada apa-apanya dibanding bertengkar dengan orang tua. Pasalnya, biasanya hubungan anak dan orang tua ini terlalu menganggap satu sama lain saling memiliki. Saking merasa memilikinya, lalu muncul perasaan tidak mungkin ditinggalkan meski melakukan kesalahan seberat apa pun. Oleh karenanya, sikap yang lebih ngawur dan emosi yang lebih sulit terkontrol, lebih mungkin terjadi di rumah. Di tempat yang katanya sih, tempat pulang terbaik~
Selain punya tempat tinggal dan rutinitas yang berbeda, usia yang berbeda generasi, juga sering menjadi pemicu terjadinya kesalahpahaman. Hal-hal yang tak kita suka atas mereka, bisa jadi adalah cara mereka untuk mengusahakan yang terbaik bagi kita. Begitu pula sebaliknya. Sayangnya, ada perbedaan cara yang kemudian justru menjadi sumber ketidaknyamanan.
Bertengkar dengan orang tua, itu sungguh tidak enak. Rasanya sebal dan sungguh mangkel. Bahkan pengin membenci kalau bisa. Sayangnya, tidak semudah itu. Pasalnya, diam-diam mereka jugalah orang yang paling disayang dan diharapkan menjadi muara untuk nanti kembali pulang. Kira-kira apa aja sih, yang bikin kita sebagai anak jadi pengin bertengkar dengan orang tua?
Pertama, kita sebagai anak generasi yang menjunjung tinggi demokrasi dan kesetaraan, sering kali gatel banget pengin jawabin apa yang dikatakan oleh mereka. Apalagi, kalau yang mereka katakan tidak logis, tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya, dan tentu saja tidak sesuai dengan keinginan kita. Maka, kita pun berusaha untuk melakukan pembelaan untuk melindungi diri sebisa-bisanya.
Kedua, kita menyadari bahwa kita memang melakukan kesalahan. Tapi, tentu saja di pikiran egois kita, mohon maaf nih, nggak hanya kita yang salah. Akan tetapi, mereka juga salah. Lantas, nggak ada salahnya dong, kalau kita melakukan kesalahan. Lha wong, mereka juga melakukan kesalahan. Udah muter-muter kayak gitu terus. Akhirnya menjadi mbulet karena kita saling bersikap keras kepala dengan idealisme masing-masing. Halah, sok-sokan idealisme segala.
Ketiga, kita menjadi sangat sebal kalau mereka sudah bawa-bawa, “dasar anak durhaka!”, “dasar anak nggak bisa dikasih tahu!” Padahal, padahal kan, nggak gitu juga. Wong kita juga masih ngakuin mereka sebagai orang tua, kok. Toh, kita juga nggak sampai kayak Malin Kundang. Ini sekadar perdebatan biasa, kenapa kita harus dituduh-tuduh sedemikian rupa hanya karena nggak nurutin satu saja keinginan mereka?
Keempat, sangat tidak adil rasanya kalau mereka bisa seenaknya nyuruh-nyuruh kita—dengan berbagai alasan retorikanya. Akan tetapi, kita nggak bisa melakukan hal serupa. Ya, setidaknya ngasih tahu sebuah kebenaran menurut pemikiran kitalah. Pokoknya, dengan sungguh sewenang-wenangnya, mereka menganggap kita sebagai anak, nggak tahu apa-apa. Hadeeeh, kalau lagi kayak gini aja dianggap nggak tahu apa-apa. Coba kalau di keadaan yang lain, kalau kita nggak melakukan sesuatu dengan alasan nggak tahu atau nggak bisa. Pasti lagi-lagi dipersalahkan dan dipertanyakan, “Masak gitu aja nggak bisa, sih?” Sungguh, ini pikiran yang nggak ada logis-logisnya.
Kelima, mereka terlalu sering mengungkapkan segala hal yang diinginkan dengan dalih yang terbaik buat kita. Padahal, apa yang terbaik menurut mereka, tidak selalu betul-betul yang kita butuhkan dan inginkan? Mengapa kita begitu sulit menjalankan kehidupan sesuai dengan apa yang diri kita cita-citakan? Memangnya, ini hidup dan cita-citanya siapa, sih?
Akan tetapi, hubungan dengan orang tua memang se love-hate itu. Kita sungguh sayang dan nggak pengin bertengkar dengan orang tua, tapi di sisi lain juga sulit menerima mereka dengan apa adanya. Tidak sedikit, yang kemudian mempunyai masalah yang menumpuk dengan mereka sehingga semakin sulit untuk tahu caranya memaafkan.
Kita sebetulnya tahu, kalau kesuksesan kita bagaimanapun juga atas doa dari mereka. Namun, terkadang memang sulit diterima, mereka yang juga sulit menerima segala keputusan kita. Lantas, kita jadi menerka-nerka: jangan-jangan hidup kita bakal nggak barokah karena kurang ridho dari mereka?
Lagian bertengkar dengan orang tua itu betul-betul capek tauk. Ibaratnya kita kayak cuma lari di tempat doang. Begitu banyak energi yang terkuras, tapi nyatanya kita nggak bisa ke mana-mana. Jadi yaudah, sebel dan marahnya nggak perlulah dipelihara lama-lama.