MOJOK.CO – Agni menyatakan berdamai untuk sebuah perjuangan panjang demi keadilannya. Benarkah keputusan ini betul-betul tanpa paksaan?
Upaya panjang Agni untuk memperoleh keadilan atas kasus yang menimpanya saat KKN di Pulau Seram, Maluku pada tahun 2017 lalu, berujung pada kesepakatan damai antara dirinya dengan HS. Kesepakatan damai ini, tertulis dalam nota kesepakatan bermaterai yang ditandatangani oleh mereka berdua dengan disaksikan oleh Rektor UGM, Dekan Fakultas Fisipol, Dekan Fakultas Teknik, dan Wakil Rektor Bidang Akademik.
Kesepakatan perdamaian ini cukup membuat saya kaget dan geram. Bukannya saya tidak cinta damai dan tidak menyukai perdamaian. Hanya saja, meski telah dinyatakan berkali-kali oleh para petinggi UGM bahwa keputusan damai tersebut dilakukan dengan sadar dan tanpa paksaan oleh kedua belah pihak—khususnya Agni. Di kepala saya masih menyimpan tanya, benarkah Agni betul-betul mengambil keputusan tersebut setelah memikirkannya matang-matang serta tanpa paksaan dan intervensi dari pihak lain?
Sebetulnya, ini bukan kasus pertama, dan tidak hanya kasus Agni yang berakhir dengan jalan ‘damai aja’. Kejadian yang menimpa siswi di Wonogiri ketika itu, juga diakhiri dengan cara yang agak mirip-mirip. Pelaku—yang merupakan guru—ketika itu mengajar di SMPN Puhpelem Wonogiri dan melakukan pelecehan seksual kepada siswinya.
Namun, kasus tersebut tidak diusut dan hukuman oleh Dinas Pendidikan Wonogiri kepada pelaku adalah mutasi: dengan maksud menjauhkan korban dan pelaku. Seolah-olah dengan menjauhkan keduanya dan memindahtugaskan pelaku, masalah menjadi beres, pelaku menjadi jera. Sama sekali tidak memedulikan trauma korban. Lantas, apakah betul-betul membuat jera? Sayang sekali, tidak Sayang…
…pelaku justru melakukan hal serupa di sekolah yang baru. Tidak sedikit pula, perkara semacam ini yang ujung-ujungnya memaksa korban untuk berdamai dengan pelaku, melalui cara menikahkan mereka berdua. Seolah-olah menikahkan korban dan pelaki menjadi solusi moral nomor satu yang paling memungkinkan untuk dilakukan demi kebahagiaan mereka berdua. Namun, apakah orang-orang yang memaksa untuk menikahkan mereka ini tidak berpikir tentang bagaimana perasaan korban ketika justru dinikahi orang yang pernah membuatnya trauma dan sangat sakit hati?
Sebetulnya saya sudah berharap banyak kepada UGM, sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berisi begitu baaanyaaak kaum-kaum intelektual ini, dapat menyelesaikan kasus ini dengan tidak sekadar ‘berusaha keras’ menjaga nama besarnya yang bercitra baik itu. Ah, mungkin memang saya yang terlalu berharap. Namun melihat kasus ini berujung pernyataan damai dari kedua belah pihak, saya kecewa. Saya kecewa bukan karena kasus ini berakhir tanpa keributan. Saya kecewa karena kasus ini masih menyimpan sebuah tanda tanya besar: benarkah Agni betul-betul baik-baik saja dengan keputusan tersebut?
Kata Pak Rektor UGM, sih, HS telah menyesal dan memohon maaf atas peristiwa yang terjadi pada bulan Juni 2017 lalu. Selanjutnya ia diwajibkan untuk mengikuti mandatory counseling (konseling yang diminta oleh Pengadilan) dengan seorang psikolog klinis sampai dinyatakan selesai oleh psikolog yang menanganinya.
Sementara Agni, juga akan mengikuti trauma counseling dengan psikolog klinis. Semua urusan konseling mereka berdua ini, akan diurus dan menjadi tanggung jawab UGM. Selain itu, Agni juga diberi dukungan untuk menyelesaikan studinya—yang saat ini dalam tahap mengerjakan skripsi. Dukungan UGM ini diberikan dengan memberikan beasiswa studi yang komponennya sebelas dua belas dengan beasiswa Bidikmisi—berupa pembiayaan UKT dan bantuan biaya hidup. Harapannya, segala urusan ini harus segera diselesaikan pada bulan Mei tahun ini. Yang artinya apa?
Yak, betul: mereka berdua rencananya bakal wisuda bareng pada periode wisuda S1 bulan Mei mendatang. Benar, wisuda bareng, Saudara-saudara….
Dari panjangnya usaha Agni dalam memperjuangkan keadilan ini, sejak awal memang tidak pernah ada tanda-tanda bahwa HS akan di-drop out oleh UGM—seperti yang banyak orang harapkan—untuk memberikan efek jera bagi pelaku pemerkosaan atau kekerasan seksual, supaya hal ini tidak perlu terulang kembali.
Sayangnya, UGM sama sekali tidak pernah menunjukkan narasi ini, sedikit pun. Hal ini bukan karena UGM adalah orang tua yang ‘sangat baik’ sehingga tidak sampai hati untuk men-DO putra-putri terbaiknya. Lha wong nyatanya, pada beberapa kasus yang terjadi sebelumnya, ada bisik-bisik yang menyatakan lembaga pendidikan ini memberikan ancaman DO bagi beberapa mahasiswa yang tidak nurut sama UGM. Meski ancaman ini dibantah dengan cukup kuat di depan media.
Coba ingat pada bulan Oktober tahun lalu, ada kasak-kusuk yang bilang UGM akan memberi ancaman DO bagi panitia penyelenggara yang tetap kekeuh menghadirkan Sudirman Said dalam seminar yang diadakan oleh Fakultas Peternakan UGM. Selain itu, pada bulan Mei 2016—menurut kabar—UGM juga memberikan ancaman DO pada dua mahasiswa yang sedang ‘meminta perhatian’ dari Ibu Dwikorita sebagai rektor UGM ketika itu, dengan datang ke rumah beliau. Aksi mahasiwa di depan kediaman Ibu rektor ini sebetulnya tertib dan tidak anarkis, tapi tetap bikin Ibu Rektor gerah dan tidak nyaman lalu main ancam-ancaman. Sebetulnya, aksi ini juga merupakan upaya para perwakilan mahasiswa karena Ibu rektor belum betul-betul menjawab beberapa tuntutan mereka mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT), Tunjangan Kinerja (Tukin), dan relokasi Kantin Humaniora (Bonbin), pada aksi pesta rakyat pagi harinya di Balairung UGM.
Namun, saya masih tak paham juga, mengapa untuk sebuah kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual, UGM sejak awal tidak sedikit pun memberikan wacana akan memberikan hukuman DO bagi pelaku? Apakah karena kasus ini memang menjadi urusan Agni dan HS. Atau sebetulnya perkara ini dianggap tidak membahayakan atau merugikan para petinggi UGM dan jajarannya? Sehingga… ah, sudahlah. Pasti sampeyan paham maksud saya.
Saya masih juga mempertanyakan, apakah benar keputusan Agni tersebut dilakukan tanpa tekanan dan tidak didikte oleh orang-orang ‘kuat’ yang ada di sekitarnya? Apakah betul, Agni memilih berupaya untuk mengambil jalan damai dengan HS, meski menurut Dekan Fakultas Fisipol, permintaan maaf HS tersebut tidak spesifik. HS memang mengaku salah dan meminta maaf, namun tidak jelas, apakah itu adalah pengakuan atas perilaku pemerkosaan atau kekerasan seksual yang ia lakukan? Tidak ada pernyataan eksplisit mengenai hal ini. Apakah betul, dengan kejadian yang sangat menyakitkan dan proses panjang mencari keadilan, permintaan maaf yang tidak spesifik semacam itu, tidak masalah bagi Agni dan ia berusaha untuk legawa?
Sesungguhnya, penyelesaian kasus Agni ini, juga menunjukkan dengan sangat jelas. Bahwa lingkungan akademik yang kita kira merupakan tempat yang dapat memberikan keamanan, ternyata ia masih betul-betul belum dapat melindungi. Yang ada, justru diam-diam ia masih menyimpan kecemasan dan kekhawatiran.
Sekali lagi, semoga Agni memang baik-baik saja.