MOJOK.CO – Belum ada Omnibus Law saja, kondisi buruh di Indonesia sudah parah. UU yang melindungi buruh yang sekarang ada saja sudah memberikan banyak celah untuk pabrik AICE berbuat curang gimana kalau nanti ada….
Hari ini saya membaca sebuah thread yang berisi ajakan untuk melakukan boikot terhadap es krim AICE. Thread ini disampaikan oleh salah seorang aktivis buruh yang menjadi salah satu kuasa hukum pekerja AICE.
Boikot AICE. I have to say this since the company has replaced the workers who fight for better working conditions. pic.twitter.com/hBrU5cDqFk
— UUPemilu1999 (@sherrrinn) February 26, 2020
Thread ini menjadi viral setelah menunjukan bagaimana pabrik AICE melakukan banyak pelanggaran aturan ketenagakerjaan dan memperlakukan buruh perempuan dengan sangat buruk. Mbak Sherin yang membuat thread menjelaskan bahwa ada 20 kasus keguguran dan kematian bayi baru lahir yang menimpa buruh perempuan AICE.
Hal ini terjadi karena buruh perempuan itu, meskipun sedang hamil, dipekerjakan dengan shift malam, dan tidak dijamin keselamatannya dengan tetap harus bertanggung jawab pada kerja-kerja berat dan harus terpapar bahan kimia di kesehariannya.
Kondisi kerja buruk yang dialami buruh pabrik AICE memang bukan berita baru. Buruh AICE sebelumnya pernah melakukan demo dan mogok kerja juga di November 2017. Mojok bahkan pernah menaikan sebuah esai berjudul “Resep Rahasia AICE, Es Krim Paling Hits Saat ini” yang menjelaskan bagaimana kondisi buruh pabrik AICE yang sangat mengkhawatirkan.
Ternyata di balik rasa enak, dan betapa murah harganya, ada keringat buruh yang diperas sedemikian rupa karena harus bekerja dengan kondisi upah yang murah, tapi harus melakukan pekerjaan yang cepat karena target produksi mereka sangat tinggi.
Tidak lama setelahnya, Tirto kemudian mengeluarkan laporan khusus yang lebih lengkap. Laporan dengan judul “Kondisi Kerja Buruh Aice Tak Semanis Iklan ‘Have an Aice Day” ini menunjukan bagaimana buruh pabrik AICE dieksploitasi, dan kondisi kerja seperti apa yang mereka hadapi.
Pemberitaan mengenai pabrik AICE ini membawa perusahaan akhirnya mengabulkan tuntutan para buruh yang melakukan aksi November 2017 lalu.
Saya kira Pabrik AICE ini sudah dapat pelajaran dari kasus ini. Eh ternyata belum karena sekarang kasusnya berulang lagi.
Membaca thread mbak Sherin ini sejujurnya bikin otak saya mendidih. Saya punya sentiment pribadi soal isu buruh. Saya merasa punya kedekatan dengan isu ini khususnya isu buruh perempuan karena ibu dan kakak perempuan saya sempat menjadi buruh pabrik juga. Dan setelah saya ingat-ingat cerita mereka, apa yang mereka alami tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami para buruh perempuan di pabrik AICE itu.
Di tempat saya tinggal (Baleendah, Kabupaten Bandung) mayoritas memang bekerja sebagai buruh pabrik di Pabrik Garment yang banyak beroperasi di daerah Palasari, Dayeuhkolot yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sana.
Di daerah saya ini biasanya anak yang sudah lulus SMA memang diajak untuk bekerja di sana oleh keluarga mereka yang sudah menjadi buruh sebelumnya. Yang perempuan biasanya akan dimasukan ke dalam bagian produksi. Mereka akan menjahit potongan-potongan pakaian yang ditugaskan kepada mereka. Yang laki-laki, kebanyakan jadi montir atau kuli angkut bahan produksi.
Di pabrik garment tempat kakak saya bekerja ini semua pekerja awalnya direkrut dengan sistem kontrak 6 bulan. Jika bekerja dengan baik, akan diperpanjang satu tahun, dan begitu seterusnya. Tidak ada jaminan apakah akan diangkat sebagai pegawai tetap atau tidak karena semuanya suka-suka perusahaan saja.
Kata kakak saya, ada yang sudah bekerja 5 tahun tapi masih belum ditetapkan sebagai pegawai tetap. Padahal kalau bukan pegawai tetap, buruh nggak punya hak cuti dan dapat tunjangan seperti THR. Selain itu, jika izin sakit atau melakukan kepentingan lain, gajinya selalu dipotong oleh perusahaan.
Saya pernah diceritakan kakak saya bagaimana kondisi di pabrik garment itu. Di bagian produksi tempat dia bekerja ada sekitar seribuan perempuan lain yang mengerjakan tugas yang berbeda-beda. Ada yang menjahit lengan, kerah, memasang kancing, sampai menggosok baju yang sudah utuh.
Dalam 8 jam kerja yang harus dia lakukan, buruh perempuan di sana harus tetap duduk/berdiri (tergantung mesin yang dioperasionalkan). Ada istirahat 1 jam: 15 menit di jam 10, dan 45 menit di jam makan siang.
Kenyataannya meskipun dalam kontrak kerja harus bekerja 8 jam, kakak saya tidak selalu bekerja 8 jam. Waktu kerjanya bisa sampai 10 jam sehari karena selalu dipaksa untuk melakukan lembur. Saya bilang dipaksa karena memang tidak boleh menolak. Jika menolak dia akan dimarahi habis-habisan dan dilaporkan kepada atasannya karena tidak menurut. Jadi kakak saya harus bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Dan itu dilakukan di hari senin-sabtu. Betul, buruh-buruh di pabrik garment bekerja 6 hari dalam seminggu.
Ketika bekerja, tidak ada standar keselamatan yang diberlakukan oleh pabrik. Mereka juga terus diawasi agar terus bekerja dan mencapai target produksi. Jika ketahuan terlihat malas-malasan atau tanpa sengaja melakukan kesalahan, siap-siap saja dibentak dan dimarahi habis-habisan. Beberapa kali kakak saya sempat pulang sambil menangis karena atasannya tidak memperlakukannya dengan baik, dia dimaki-maki karena kesalahan kecil saja.
Belum ada Omnibus Law saja, kondisi buruh di Indonesia sudah separah ini. UU yang melindungi buruh yang sekarang ada saja sudah memberikan banyak celah untuk perusahaan untuk berbuat curang. Belum lagi, penegakan atas kerangka hukum UU itu selalu tidak diindahkan sehingga pelanggaran sering sekali terjadi karena tidak ada konsekuensi apa-apa yang akan didapatkan perusahaan.
Sementara itu, kalau buruh yang turun langsung meminta perbaikan sistem kerja, mereka terancam dipecat begitu saja.
Saya pikir hanya orang-orang yang nggak punya hati saja yang bilang buruh kita kurang produktif dan membanding-bandingkannya dengan buruh di Vietnam.
Makanya saya nggak kebayang kalau sudah ada Omnibus Law. Bakal habis sudah nasib buruh kita.
BACA JUGA Resep Rahasia AICE, Es Krim Paling Hits Saat ini atau artikel lain soal PEKERJA.