MOJOK.CO – Berbelanja katanya merupakan salah satu cara untuk meredakan stres. Namun, apakah betul stres bakal lenyap dan kita menjadi pribadi yang bahagia?
Sejak kecil, kita diajari untuk mencukupkan diri dan tidak hidup dengan berlebih-lebihan. Misalnya, dulu, kalau diajak Ibu berbelanja dan kita pengin jajan, biasanya Ibu akan membatasi jumlah jajan yang bisa kita beli. Atau, jika kita pengin mainan, maka tidak semua mainan di dalam toko tersebut bisa kita miliki. Mungkin, hal ini akan berbeda jika kita adalah anak pemilik Lippo Group.
Kadang, ketika saya meminta jajan atau mainan terlalu banyak, kata ibu itu adalah sifatnya setan. Tentu saja, saya langsung tersinggung, padahal kan jelas, saya manusia–karena anaknya manusia.
Dalam Islam, perilaku terpuji ini dinamakan sifat qanaah. Yaitu menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakan. Sebetulnya, konsep inilah yang kemudian diterapkan dalam gaya hidup minimalis yang marak diperbincangkan akhir-akhir ini. Pasalnya, gaya hidup ini disebut-sebut sebagai upaya untuk melawan sifat konsumtif dalam diri masyarakat. Dengan membatasi diri untuk membeli, memiliki, atau mengonsumsi terlalu banyak hal. Lebih jauh lagi, gaya hidup ini juga bisa turut serta menjaga kelestarian sumber daya alam kita.
Namun, konsep secukupnya, ternyata tidak semudah itu dilakukan, meski dengan iming-iming yang menggiurkan bagi masa depan. Begini, masih banyak juga dari kita yang menganut konsep, berbelanja dapat melepaskan stres dan sebagai media untuk menghibur serta menghargai diri sendiri.
Misalnya, kita beli jam tangan—padahal sebetulnya sudah punya, sebagai apreasiasi atas kerja keras diri kita yang lembur berminggu-minggu. Atau, kita membeli pernak-pernik lucu—yang sebetulnya nggak butuh-butuh amat—sebagai media menghibur diri.
Tidak mengherankan jika kemudian, siklus: stres –> belanja –> bahagia –> uang habis/ruangan penuh sesak –> stres, dan seterusnya. Menjadi sebuah lingkaran setan yang menjerat wahai kita para manusia.
Berbelanja, selain menyebabkan uang kita habis, juga menjadikan kita punya banyak barang yang semakin menumpuk tapi tak terurus, Saudara-saudara. Coba lihat di sekeliling rumah atau kamar kos kita. Pandangi barang-barang yang tampak di sepengelihatan mata. Kira-kira apa yang kita rasakan dengan barang-barang tersebut? Barang-barang yang kita beli baik karena memang membutuhkannya atau hanya karena ingin semata. Supaya lebih terasa namaste, coba tarik nafas dalam-dalam…
…lalu hembuskan lewat lubang belakang. Ulangi ini beberapa kali, sampai kita betul-betul fokus di satu titik, hanya itu titik itu. Selanjutnya, coba kenali dan pahami, apa yang kita rasakan. Bahagiakah? Atau justru terasa sumpek?
Kalau teman-teman merasa bahagia, ya sudah. Case closed. Artinya tidak ada masalah dan tidak perlu melanjutkan membaca tulisan ini.
(((Oh, ngambek, ngambek….)))
Namun, jika jawaban kedua yang dirasakan, sini tos dulu. Saya juga merasakan hal yang itu. Oh, apakah ini tandanya ada sesuatu di antara kita?!??!! Halah. Oke, skip.
Bukannya merasa bahagia dengan banyaknya barang di kamar kos, justru saya merasa sumpek melihat mereka semua. Ada keinginan besar untuk menutup  dan melenyapkan barang-barang tersebut supaya tak terlihat dalam pandangan saya. Namun karena saya lumayan jalan otaknya, saya sadar, jika hanya menutup itu semua misalnya dengan kain yang atau membeli rak baru dengan desain yang membantu barang-barang tersebut tertata rapi, itu tidak akan menyelesaikan masalah yang ada.
Hal ini hanya membuat saya semacam menutup-nutupi masalah saja. Padahal, para motivator berkali-kali berkata, memilih menutupi masalah dan tidak menyelesaikannya, justru hanya akan menimbulkan energi negatif yang memunculkan benih-benih penyakit dalam tubuh kita.
Oleh karena itu, jika saat ini kita merasakan sesak di dada dan pikiran karena barang-barang yang se-ambreg dan kebanyakan dari mereka nggak keurus, sekarang saatnya m e m i l a h. Setidaknya dimulai dengan cara sederhana: mana barang yang betul-betul dibutuhkan, mana yang hanya sekadar pengin-penginan.
Tentu saja, proses memilah ini tidak dapat dilakukan secepat yang kita bayangkan. Apalagi, dalam prosesnya kita terjebak dalam drama mengenang barang pemberian mantan. Oleh karena itu, supaya proses ini bisa berjalan dengan lebih cepat, kita juga harus menahan diri untuk nggak ngawur dalam berbelanja. Kalau kita masih aja belanja ngawur, proses memilah kita menjadi percuma.
Selain itu, tidak perlu mudah memaafkan diri ketika belanja banyak dengan kedok sewaktu-waktu. Ilusi sewaktu-waktu ini betul-betul bakal berakhir sewaktu-waktu. Misalnya, kita melihat baju pesta yang lucu. Sebetulnya kita nggak butuh-butuh banget. Toh, stok baju pesta di lemari juga masih banyak. Tapi, kita memilih untuk membeli saja. Siapa tahu, butuh sewaktu-waktu. Bla bla bla, sewaktu-waktu itu ternyata tidak betul-betul ada. Dia tergeletak begitu saja, di sudut lemari…
…dan terlupa. Hingga usang, menjamur dan dimakan rayap. Habis sudah riwayatnya.
Begitu pula dengan sepatu, misalnya. Jika kita sebetulnya bukan fashionista-fashionista amat yang kerjaannya cuma kos-kosan, kampus, dan nongkrong. Buat apa juga punya sepatu banyak-banyak? Kalau ujung-ujungnya jarang dipakai, karena dibeli hanya dengan alasan lucu. Mubadzir, Kisanak. Dia hanya akan berdebu dan sawangen. Lalu mampus kau! Rusak dikoyak waktu.
Mengapa kok kita nggak membatasi diri dengan punya maksimal dua sepatu saja? Misal, dengan memilih model yang resmi banget dan yang modelnya bisa dipakai dalam berbagai kondisi. Percayalah, membeli banyak barang tidak hanya menghabiskan banyak uang. Namun, juga menghabiskan banyak energi kita untuk memikirkan mereka.
Betul, kita nggak bakal memikirkan mereka terus-menerus. Namun, melihat sekilas keberadaannya, tanpa kita sadari alam bawah sadar kita bakal merekamnya. Perlahan-lahan namun pasti, memicu kita untuk kepikiran tentangnya. Padahal kan, masih banyak hal lain yang butuh kita pikirkan…
…kelanjutan hubungan kita dengannya yang mulai jarang balas chat kita, misalnya.
Belum lagi masalah flash sale yang melanda. Sungguh, ini budaya yang sangat tidak baik. Sangat memicu gairah berbelanja kita terhadap barang-barang yang tidak kita butuhkan. Murah sih, tapi akhirnya juga nganggur dan menimbulkan masalah. Misalnya, rak sudah tidak muat untuk menampung dan membuat kita harus beli rak lagi.
Maka, jika kita terjebak dalam kata-kata bahwa dengan berbelanja dapat mengurangi stres. Itu tak benar adanya. Percayalah, yang muncul kemudian justru pemicu stres yang baru, yang membuat kita semakin terbelenggu.
Diceritakan oleh seorang manusia yang sedang bingung, mulai membongkar lemari dari sebelah mana.