MOJOK.CO – Tahu kalau di-hide dari story Whatsapp adik sendiri, rasanya itu kayak nggak dipercaya dan bukan menjadi tempat yang nyaman untuk berkeluh-kesah.
Suatu hari saat saya sedang tiduran di samping adik saya, saya nggak sengaja melirik layar hapenya. Dia sedang membuat sebuah status di Whatsapp-nya. Saya diam saja, tidak memberi komentar apa-apa. Meski sebetulnya ada perasaan penasaran karena dari caranya menulis seperti orang yang lagi kasmaran. Tapi saya pikir, toh bisa melihatnya sendiri nanti kalau status tersebut sudah diunggah.
Setelah tahu kalau status tersebut sudah ia unggah, saya pun mengecek statusnya melalui Whatsapp saya. Eh, usut punya usut, ternyata kontak adik saya tidak ada dalam daftar orang yang bikin status. Ya, nama adik saya nggak ada. Hmmm, saya heran tapi cenderung curiga kalau adik saya nge-hide saya dari story Whatsapp-nya.
Lantaran ada rasa kesal, campuran perasaan nggak dianggap dan penasaran, akhirnya saya “labrak” dia. “Awakmu nge-hide aku dari story Whatsapp-mu, po?” tanya saya. Kamu nge-hide aku dari story WhatsApp-mu?
Sambil cengengesan, adik saya jawab, “Iya. Lha, sampeyan bawel biasanya.”
Gimana? Bawel katanya? Bahkan saya merasa sudah berusaha keras dan menahan diri untuk tidak mengomentari story-story yang bagi saya sering kali nggak masuk akal. Agar setidaknya saya dikasih kepercayaan untuk mengikuti kegiatan dan pemikirannya. Eh, lha kok saya dikatakan bawel. Bawel dari mananya coba?
Tapi setelah saya pikir-pikir, mungkin kata “bawel” ini hanyalah kalimat celetukan dia yang kaget karena ke-gep sudah nge-hide saya dari story Whatsapp-nya. Ya, sebetulnya saya emang nggak bawel-bawel amatlah. Hanya saja, wajar sih kalau adik saya nggak terlalu nyaman ketika kegiatan yang dianggap menjadi ranah privasinya itu, diketahui oleh saya—salah satu anggota keluarga yang bersinggungan dekat dengan orang tuanya. Ya gimana, je. Lha wong, orang tua kami sama.
Maksudnya begini, bapak-ibu dan adik saya ini kan punya selisih usia yang jauh. Tentu ada ruang melompong di tengah yang terkadang memicu miskonsepsi. Jadi, supaya mudah, nggak ribet, dan lebih membuatnya bebas berekspresi, adik saya memilih untuk membatasi informasi-informasi yang ada di lingkungan generasinya tersebut dari orang-orang yang dianggap nggak-bakal-paham.
Salah satu hal yang mudah adalah dengan nge-hide saya, orang tua, atau anggota keluarga lainnya dari status-statusnya itu. Padahal, bisa jadi statusnya itu juga biasa-biasa saja.
Adik teman saya misalnya. Katanya juga nge-hide teman saya dari story Instagram-nya. Bahkan untuk sebuah postingan yang sebetulnya nggak ada masalah apa-apa. Ya, waktu itu teman saya nggak sengaja “mergokin” adiknya posting lagi kumpul sama temen-temennya di angkringan, dari akun Instagram temennya teman saya yang follow-followan sama adiknya dan mungkin lupa di-hide. Masudnya, apa sih salahnya dari nongkrong di angkringan? Sampai-sampai ia harus menyembunyikan itu dari kakaknya sendiri?
Mungkin ia takut disalahkan. Mungkin ia takut dianggap berlebihan. Tapi yang jelas, ia merasa tidak terlalu nyaman.
Ya mohon maaf nih. Ini bisa dipahami karena keluarga biasanya sih merasa punya wewenang penuh untuk mengatur-atur hidup keturunannya. Jadi ya, perasaan insecure untuk tidak diterima tentu saja bisa muncul. Setidaknya ini berwujud nge-hide orang-orang yang diduga punya hak untuk komentar macam-macam: Demi menjaga nama baik keluarga.
Sebaliknya, kita merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri di depan orang lain—orang asing bahkan—karena ada anggapan nggak punya beban moral apa pun. Mungkin mereka bakal komentar, tapi kebanyakan kan, juga bodo amat.
Tapi ya, soal nge-hide postingan kita dari orang tertentu sebetulnya nggak ada masalah. Bebas-bebas aja. Kita kan punya hak untuk menentukan standar kenyamanan diri kita sendiri. Kita punya wewenang untuk mencitrakan seperti ini ke orang sini dan seperti itu ke orang situ. Bukankah begitu?
Jadi, ya, kalau adik saya nge-hide story Whatsapp-nya dari saya, ya nggak apa-apa. Meski saya ada kecewanya karena merasa nggak dianggap, tapi bukan berarti dia nggak menghargai saya sebagai mbaknya.
Yang terpenting, sih. Jangan sampai saya di-hide dari story masnya. Itu aja.
BACA JUGA Kalau Nggak Sanggup Live Nikahan di TV, Live Instagram Aja atau artikel Audian Laili lainnya.