MOJOK.CO – Permainan kartu selalu menjadi permainan yang paling tidak membosankan untuk dimainkan dari anak-anak sampai dewasa.
Sebagai anak kampung yang tinggal sangat lama dalam iklim pergaulan yang penuh dengan aneka permainan, tentu saja ada banyak sekali jenis permainan yang pernah saya mainkan.
Kelereng, ular tangga, bola bekel, karambol, sepakbola, petak umpet, gembot, dingdong, playstation, tazos, kartu, dan sederet jenis permainan lainnya.
Namun, dari sekian banyak permainan, rasanya hanya kartu yang sampai saat ini masih tetap saya mainkan dengan antusias. Setidaknya sampai detik ini.
Entah kenapa, ada semacam keasyikan dan sensasi kesenangan yang tak pudar saat memainkan kartu walau saya sudah memainkannya sejak saya masih SD.
Saat SD, permainan kartu yang biasa saya mainkan adalah kyu-kyu, permainan untuk memasangkan dua kartu agar saat dikombinasikan bisa menjadi 9. Bisa 0 dan 9, bisa 1 dan 8, bisa 2 dan 7, bisa 3 dan 6, atau bisa juga 4 dan 5.
Ini tentu saja jenis permainan yang murni mengandalkan keberuntungan, sebab kita memang tidak punya kendali atas kartu yang kita dapatkan.
Saat SMP, permainan kartu yang saya mainkan agak naik kelas, yakni samgong. Semacam adaptasi blackjack versi kearifan lokal.
Konsep permainan ini adalah adu kartu di mana kombinasi kartu yang kita miliki sebisa mungkin mencapai angka 30 atau minimal mendekati 30, jangan sampai lebih.
Kalau permainan yang satu ini, bukan keberuntungan semata yang menjadi modalnya, namun juga ada sedikit unsur keberanian, sebab kita memang punya kendali untuk mengambil kartu tambahan atau tidak.
Saat SMA sampai masa setelah lulus, saya dan kawan-kawan sepermainan di kampung mulai memainkan Remi. Kegiatan bermain kartu itu kami lakukan di depan rumah kawan saya yang memang menjadi basecamp nongkrong kami.
Selain remi, kami juga memainkan poker Jawa. Kami sebut poker Jawa karena memang permainannya mengadopsi konsep poker dengan sentuhan modifikasi di beberapa bagian.
Setelah saya bekerja, saya beralih bermain seven sekop. Permainan ini awalnya dibawa ke kantor oleh Dafi, kawan saya sesama redaktur di kantor tempat kami bekerja. Sejak saat itulah, sampai sekarang, saya masih terus memainkannya bersama kawan-kawan.
Di lingkungan pergaulan yang lain yang kebetulan masih satu irisan dengan Dafi, kami pun rutin memainkan permainan ini.
Entah kenapa, dari SD sampai sekarang, bermain kartu ini tak pernah terasa membosankan untuk terus dimainkan.
Saya menduga, ada beberapa hal yang membuat saya (dan kawan-kawan seperkartuan saya) terus memainkan kartu dan belum juga menunjukkan tanda-tanda kebosanan.
Dugaan pertama adalah sensasi menyakiti kawan kita sendiri. Sensasi inilah yang saya dapatkan saat bermain seven sekop selama beberapa tahun terakhir bersama kawan-kawan.
Permainan seven sekop tidak semata mencari status menang, lebih dari itu, ia juga tentang membuat kawan-kawan yang lain kalah. Jadi, seandainya kita kalah, itu tak jadi soal, asalkan masih ada kawan lain yang jauh lebih kalah. Dan uniknya, kekalahan jenis itu kadang justru terasa lebih menyenangkan ketimbang menjadi pemenang.
Kita rela membunuh kartu Jack kita kita semata agar kawan kita yang punya Queen dan King juga ikut mati juga. Jadi, tidak seperti permainan lain di mana kita hanya berusaha untuk menang, permainan kartu ini juga membuat kita realistis untuk mencari kekalahan.
Menyaksikan kawan kita kalah dan menderita, bahkan walau kita harus berkorban karenanya, benar-benar menghadirkan kesenangan dan kepuasan tersendiri.
Alasan lain yang membuat saya tak pernah bosan bermain kartu adalah adrenalin yang hadir dalam permainan tersebut. Maklum saja, sebagai permainan yang tidak menggunakan uang sebagai taruhan, maka hal yang bisa didapatkan oleh pemenang adalah bebas mengejek, memaki, bahkan menggoblok-goblokkan pihak yang kalah.
Tak jarang ejekan itu benar-benar bikin hati ciut dan emosi. Dan justru di situlah sensasinya. Para pemain menjadi amat terpacu untuk tidak menjadi pihak paling kalah sebab ia harus siap mendapatkan aneka ejekan dan makian yang tentu saja sangat tidak sedap.
Pada level yang lain, kami juga sering menerapkan hukuman pada yang kalah. Si pemain yang poinnya paling buncit wajib memainkan kartu sambil memakai helm dan berjongkok. Tentu saja itu menjadi hiburan yang menyenangkan bagi yang menang, atau setidaknya yang sedang tidak kalah.
Ketakutan dan kekhawatiran atas hukuman itulah yang memunculkan adrenalin dalam setiap kocokan kartu yang dibagikan. Dan itu seru.
Alasan pamungkas kenapa saya dan kawan-kawan tak pernah bosan memainkan kartu mungkin karena kartu adalah permainan yang paling masuk akal untuk dimainkan di tongkrongan mana pun. Ia ringkas, bisa dikantongi, dan tidak membutuhkan tempat yang luas.
Saya pikir, selama budaya nongkrong masih tetap ada dan lestari dalam kehidupan pergaulan saya, selama itu pulalah saya dan kawan-kawan masih akan terus memainkan permainan kartu untuk mengisi waktu luang kami, dan untuk memacu adrenalin kami.
BACA JUGA Berbahagia Menyambut Hadirnya Kembali Tazos Pokemon dalam Kemasan Chiki Balls dan artikel AGUS MULYADI lainnya.Â