MOJOK.CO – Pendidikan memang investasi masa depan, tapi kalau setelah lulus harus segera balik modal. Memangnya sekolah itu pabrik?
Berkat kebimbangan Maudy Ayunda yang harus memilih lanjut sekolah di Harvard atau Stanford, muncul banyak analisis tentang ini. Bahkan salah satunya, dengan sungguh niat mencoba menghitung biaya kuliah yang harus dikeluarkan oleh orang tua Maudy jika memutuskan masuk di salah satu sekolah tersebut. Sekalian, dihitung pula berapa lama uang tersebut bisa balik modal.
Ya, analisis yang tampak niat ini, di-twit oleh akun @Strategi_Bisnis melalui sebuah thread berikut.
Hal yang bikin saya cukup nyesek, ketika dia bilang kalau, ”Yg suram kalau ayah sdh keluar biaya Rp 90 jutaan buat kuliah S1 kamu, eh pas lulus malah jadi pengangguran. Atau dpt kerja dg gaji cuma 2 jutaan doang. Ini artinya kamu produk investasi yg mengecewakan. BEP (break even point) atau titik balik modalnya lama bangedd.”
(((kamu produk investasi yang mengecewakan)))
Hmmm, mohon maaf, ini pasti sedang bercanda, kan? Hehehe.
Ya, gimana, ya. Janganlah menutut ilmu selalu dikaitkan dengan balik modal. Seolah-olah orang tua sebagai pemilik modal, sekolah itu pabrik alias menjadi mesin produksi, sementara perusahaan adalah pasarnya.
Jika benar begitu, sekolah itu pabrik yang sekadar menjadi tempat untuk ‘mencetak’ insan cerdas, berintelektual, dan berkompeten. Lantas, ‘keluaran yang bagus’ siap diedarkan di pasar perusahaan. Tentu saja, supaya ‘dibeli’ mahal berupa gaji tinggi atau setidaknya sesuai standar. Apalah itu gaji UMR.
Dengan cara pemikiran semacam ini, jika seseorang lulus dari sebuah kampus ternama plus jurusan yang bisa dikatakan mengeluarkan biaya mahal. Supaya bisa cepat balik modal, maka semua pekerjaan yang akan dilakoni, harus diperhitungkan matang-matang.
Jadi, kalau tipe-tipe santri dulu setelah lulus pengin ngabdi dulu ke kiainya. Ataupun seorang sarjana yang pengin jadi asisten dosen dulu—dengan gaji ala kadarnya dan penuh keikhlasan—sangat tidak direkomendasikan. Pokoknya, kalau sudah sekolah mahal-mahal, itu artinya harus mendapatkan pekerjaan di tempat bergengsi dengan gaji tinggi. Kalau nggak kayak gitu, itu artinya investasinya rugi.
Kalau kita runut dalam pandangan ini, maka jika ada mahasiswa yang kuliahnya lama—bahkan lulus karena hampir di-DO—bisa jadi dia akan dianggap merugikan investasi keluarga. Kalau dirasa sudah sangat merugikan, bisa-bisa di-PHK sebagai anak, dong? 🙁
Nah supaya tidak merugikan, bisa jadi kemudian apa pun akan dilakukan demi bisa cepat balik modal. Ya, apa pun. Meski kadang harus dengan cara curang sekalipun.
Sependek pemahaman saya, kelulusan dalam sistem pendidikan kita hari ini, harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Baik dari kurikulumnya, ujiannya, hingga standarisasi untuk menentukan nilai akhir maupun ranking. Adapun kita tahu, bahwa standarisasi berpotensi menghilangkan keunikan masing-masing diri individu. Padahal, keragaman itu salah satu hal yang menjadi hakikat manusia.
Jadi, apakah ini artinya standarisasi tidak lagi menjadikan siswa betul-betul dianggap sebagai manusia? Eh, tetap manusia, ding. Manusia yang standar. #apasih.
Sayangnya, ketika standarisasi tersebut hanya berkutat untuk mencapai kecerdasan intelektual. Lantas, melupakan ada kecerdasan lain yang juga perlu diajarkan, yakni kecerdasan emosi dan spiritual. Wajar-wajar aja, sih, kalau kedua kecerdasan tersebut seolah diabaikan. Mungkin memang tidak terlalu berpengaruh besar pada nilai investasi, je. Meski sebetulnya justru keduanya adalah pengingat: bahwa kita masih menjadi manusia, yang hidup tidak sekadar untuk menjadi seorang kaya raya.
Tentu sah-sah saja hampir setiap orang tua selalu ingin anaknya hidup makmur dan berkecukupan. Begitu pula seorang anak yang pasti juga ingin membahagiakan orang tua, entah dengan cara memberi hadiah barang kesukaan orang tua saat ulang tahun pernikahan mereka, memberikan jaminan kesehatan saat umur orang tua mulai menua, bahkan tidak sedikit pasti seorang anak yang ingin memberikan tiket ibadah haji bagi kedua orang tuanya. Biasanya perasaan itu semua tumbuh semata-mata karena rasa penghargaan anak terhadap orang tua dan juga sebaliknya.
Bahkan tak jarang orang tua kita hanya memiliki pesan sederhana sekali, “Le, Nduk, sik penting aja gawe isin jeneng keluarga lan isa migunani kanggo manungsa liyane.” Lha, lek wis ngunu, njuk piye arep ngitung balik modal e?