Manusia memang punya kecendurungan untuk memberikan nama julukan pada manusia lainnya. Ini kebiasaan yang sangat lumrah, selumrah orang-orang suku Indian yang kerap menamai anaknya dengan nama “Si burung emas”, Si Panther besar”, “Si Muka Merah”, dan nama-nama julukan letterlek lainnya. Atau kebiasaan orang-orang Brazil memberi nama versi mudah seperti Ronaldo, Kaka, Ronaldinho, dll.
Nah, di Jawa, istilah pemberian nama julukan ini akrab disebut sebagai “paraban”, dan aktivitas memberi nama julukan disebut sebagai “marabi”.
Banyak orang-orang yang punya nama paraban atas dasar yang berbeda-beda. Dalam tulisan ini, saya akan membahas beberapa di antaranya.
Mari kita mulai dari bapak dan ibu saya. Bapak saya namanya Mulgiyanto, sedangkan ibu saya namanya Isrowiyah. Kendati demikian, bapak saya ternyata sering dikenal sebagai Trimo, sedangkan ibu saya di kampung dipanggil dengan panggilan Urip.
Usut punya usut, ternyata ada kisah di balik nama Trimo dan Urip tersebut. Nama Trimo (menerima) didapat oleh bapak saya karena saat kecil, bapak saya ditinggal meninggal oleh bapaknya (kakek saya). Ibu saya lebih unik lagi, nama Isrowiyah-nya luntur dan berganti menjadi Urip (hidup) karena sewaktu kecil, ibu saya pernah tenggelam di blumbang (empang) dan sudah hampir mati, tapi kemudian selamat. Sehingga kemudian dipanggil sebagai Urip.
Paman saya punya riwayat nama paraban yang lebih unik. Nama aslinya Sukino, namun karena postur tubuhnya besar, ia kemudian akrab dipanggil “Bagong”.
Paraban karena tubuh ini memang cukup banyak dipakai. Seorang kawan saya yang namanya Aldi dipanggil Kebo karena postur tubuhnya yang bongsor seperti kerbau. Kawan saya yang lain dipanggil Pleci (salah satu spesies burung) karena bentuh wajahnya yang tipis lancip seperti burung pleci. Juga ada kawan saya bernama Akbar namun dipanggil Dadu karena bentuk mukanya yang kotak.
Selain dasar fisik, dasar paraban yang lain adalah soal penampilan. Kawan saya bernama Arif dipanggil Mamot yang merupakan pelesetan dari istilah gajah purba Mammoth karena tampang dan gaya busananya yang dianggap kuno dan purba. Ada juga kawan yang bernama Candra yang dipanggil Mbradil karena prejengan dan tampangnya yang selalu kacau.
Dasar paraban juga bisa berasal dari faktor suka-suka. Kawan saya bernama Koko pernah punya paraban Marcopolo hanya karena nama Koko enak diucapkan kalau disertai dengan nama Marcopolo. Koko Marcopolo.
Ada juga kawan saya bernama Itok yang punya panggilan Supaitong hanya karena nama Itok bisa diplesetkan dan dioleh menjadi Supaitong.
Ada juga paraban yang terbentuk karena pengalaman terhadap merek produk tertentu. Saya punya saudara yang panggilannya Bebelac. Juga ada yang namanya Sanyo, sampai Kastol.
Beberapa nama paraban terbentuk melalui pergolakan sosial yang berliku dan dalam. Tak jarang, hanya si empunya nama dan orang terdekatnya saja yang tahu sejarah bagaimana ia punya nama panggilan demikian.
Saya punya banyak kawan dan saudara dengan nama paraban yang bahkan keluarga mereka sendiri tak tahu bagaimana mereka mendapat nama tersebut. Ada Gembus, Bagor, Gembleh, Gudel, Tengik, sampai Plendus.
Dari seluruh nama paraban kawan atau saudara, satu yang cukup membuat saya tak habis pikir. Yakni kawan saya bernama Yuri yang dipanggil dengan nama paraban Bokep.
Ternyata, bukan sebab terlalu banyak nonton film porno yang membuat ia dipanggil Bokep. Melainkan karena nama Yuri identik dengan nama pesebakbola terkenal asal Perancis, Youri Djorkaeff. Nah, karena nama Djorkaeff susah untuk diucapkan oleh lidah-lidah Jawa akhirnya diambillah versi mudahnya: Bokep. Nama yang kemudian menjadi panggilan Yuri sampai sekarang.