Alexis akan ditutup. Kabar ini membuat banyak orang sedih. Termasuk saya. Lha gimana, sebagai wahana hiburan keluarga, konon Alexis ini sarang PKI pusat pluralisme. Ada banyak warga negara asing yang datang dan berbagi kebahagiaan. Tapi, keputusan pemda DKI untuk tidak memperpanjang izin hotel ini ya nggak salah-salah amat. Saat kampanye Anies Baswedan berjanji akan menutup hotel ini. Alasannya? Ini tempat mesum.
Sekarang, gimana dong nasib para pekerjanya? Bukankah sebagai hotel dengan lokasi mentereng dan gedung besar ia punya banyak pekerja? Ya ini yang perlu dipikirin. Misalnya untuk para pekerja asing dari Uzbek dan lainnya, kita lakukan naturalisasi. Dulu Ahok bilang semua jenis (PSK) dari negara-negara ada. Mereka yang jauh dari tanah air mereka wajiblah kita selamatkan dari dosa. Masak pemain bola aja yang boleh dinaturalisasi, pekerja asing boleh juga dong.
Untuk jadi pekerja seks komersial lagi? Ya tidak. Itu haram dan merendahkan perempuan. Mereka-mereka ini bisa kita ajak jadi penyuluh kesehatan reproduksi. Pak Anies-Sandi kan sudah bikin program OKE-OCE, One Kecamatan-One Centre for Entrepreneurship. Tinggal lanjutin aja, OKE-OH YES, One Kecamatan-One Hour Youth Education of Sex. Alumni dari Hotel Alexis, yang konon dibilang pelaku industri mesum itu, diminta ngajarin tentang kesehatan reproduksi, bahaya seks bebas, dan juga lobi-lobi politik. Nggak usah lama-lama, sejam aja. Mashok tho?
Dengan OKE-OH YES, alumnus Alexis akan menjadi garda terdepan memerangi HIV/AIDS dan seks Bebas. Bukankah salah satu program Jakarta adalah menuju kota religius? Anies-Sandi tidak hanya membubarkan Hotel Alexis, tapi juga membuat para alumninya tobat dan berguna bagi Jakarta. Ini penting, jangan sampai mentalitas “pokoknya tutup” akan menambah masalah baru, pengangguran baru, dan buka tempat jajan-jajan independen pinggir jalan yang malah bikin kondisi tambah runyam.
Tapi, kalau pihak manajemen Hotel Alexis ngotot pengin diperpanjang izinnya, ya gampang. Jika Anda googling Hotel Alexis, deskripsi yang muncul semacam ini: Pusat hiburan untuk orang dewasa, tersedia spa, hotel, cafe, bar dan karaoke yg nyaman dan fun. Lho ya jelas ditolak tho ya, wong pusat hiburan untuk orang dewasa. Orang kan mikirnya sudah yang tidak-tidak. Jangan-jangan buat mesum, jangan-jangan buat prostitusi. Saran saya untuk manajemen, ganti deskripsi itu menjadi: pusat hiburan orang baligh, terapi bekam, penginapan, cafe, sisha, dan kasidah. Dijamin! Dijamin ditutup juga.
Eh tapi serius lho, di Indonesia, asal ada bau-bau syariahnya, biasanya laku. Mbok coba manajemen minta sertifikasi halal ke MUI, eh MUI sudah nggak bisa, ya coba bikin sertifikasi aja dulu, siapa tahu ada prostitusi syariah. Ya gimana, wong di puncak ada fenomena kawin kontrak, yang menurut Balitbang Kementerian Agama sudah pada tahap memprihatinkan. Pernikahan ini cuma buat melegalkan seks belaka karena seluruh pihak dari pencatat nikah, saksi, dan wali nikahnya abal-abal.
“Mosok saksi atau wali nikah juga menyediakan jasa sewa vila?”
“Ah masak ada praktik kaya gini?”
“Lho ya banyak tho ya.”
“Ah jangan-jangan yang doyan kawin kontrak ini komunis atau orang liberal.”
Eit salah lagi, kebanyakan pelaku kawin kontrak ini adalah laki-laki dari Arab Saudi. Dengan modal 5 sampai 20 juta kamu bisa menikahi perempuan lokal dalam jangka waktu pendek, sah, halal, dan jauh dari sweeping ormas. Kalau begini, kenapa hotel Alexis nggak bikin jasa kawin kontrak saja? Masak nggak ada pencatat nikah, saksi, dan wali nikah freelance di Jakarta? Urusan birokrasi gini kan semestinya cincai? Kan yang penting nikah, yang penting sah, dan yang penting sesuai syariah?
“Lho macam-macam kamu, syariah gundulmu!”
Gini lho, yang absen alias tidak ada di Alexis itu kan peraturan. Ilegal, kalau kata Pak Anies. Maksiat, kalau kata ulama. Nah yang terjadi di puncak itu tadi sesuai aturan kan? Wong nikah ada pencatatnya dari negara, ada saksi dan walinya, ini sah secara agama. Mau debat itu bid’ah ya lain soal, yang jelas perilaku ini ada, sudah lama, dan banyak ditulis media. Lagian kalau soal agama, orang Arab Saudi itu jelas lebih pinter dari kita. Wong lahir di negara yang ada Kakbahnya. Habib Rizieq aja liburan ke Arab Saudi.
Ada banyak alasan untuk kawin kontrak. Manajemen Alexis bisa belajar dari aa’-aa’ vila di puncak. Mereka bisa menjadi middle man, kontraktor, atawa makelar. Profesional yang mampu menyediakan penghulu, wali nikah, perempuan untuk dinikahi, hingga saksinya. Kalu bisa liburan sambil nikah dan ena-ena, kenapa tidak? Negara menyediakan, (oknum) agama menyediakan, ini bisnis besar dan punya market target yang gede. Kalau Alexis dilarang di Jakarta, kenapa tidak pindah ke Puncak? Jabar itu gemah ripah repeh rapih.
Itu juga kalau mau pindah. Kalo nggak mau pindah pun masih ada cara agar Hotel Alexis tetap bisa buka di Jakarta. Dalam kampanye Anies kan berjanji akan menutup Alexis, ia juga menyatakan tidak akan memperpanjang izin Alexis. Yang perlu dilakukan Alexis sekarang tinggal ganti nama saja. Bukan Hotel Alexis & Spa. Selesai persoalan. Tapi ini kan nggak etis, jangan kaya Empat Mata yang ganti nama jadi Bukan Empat Mata lantas KPI diem-diem aja. Saya usul Alexis ganti nama jadi Jabal.
“Lha kok Jabal?”
“Jabal itu nama yang diberikan orang Arab Saudi untuk Puncak, tempat enak-enak.”