MOJOK.CO – Tulisan dokter yang jelek memicu kecurigaan dari pasien yang berlebihan. Ada dugaan tulisan dokter sengaja dijelek-jelekin biar pasien nggak bisa baca resepnya, terus si pasien bakal balik lagi buat dikasih obatnya lagi. Sungguh kecurigaan yang sesat.
Entah di usia berapa saya sadar kalau kebanyakan tulisan dokter memang jelek. Di saat yang bersamaan apoteker dan orang-orang di klinik nggak pernah bermasalah dengan resep yang saya teruskan dari dokter. Ketika itu saya yakin mereka pakai sandi rumput yang berbeda dengan apa yang saya pelajari saat Pramuka. Saya pun berjanji nggak akan pernah peduli dengan secarik kertas yang diberikan dokter, mencoba membacanya bakal membuat saya tambah demam.
Yang lebih fatal adalah ketika tulisan dokternya jelek dan nggak bisa dibaca oleh orang-orang di klinik. Pernah ketika sedang melakukan perawatan saluran akar di klinik gigi, dokter memutuskan saya melakukan untuk foto rontgen sembari jarum-jarumnya masih tertancap di gusi saya sebagai penanda akar. Alhasil saya buru-buru ke ruang radiologi karena mulut saya harus selalu mangap.
Sialnya saya perlu melewati antre dua pasien dulu. Sambil menunggu dipanggil, saya menutup mulut saya dengan tisu tebal dengan perasaan ketar-ketir. Ya takut ngiler lah, malu banget.
“Ageng… Ageng… eh, Ajung!”
Sumpah saya yakin banget mbak-mbak resepsonis ruang radiologi maksudnya memanggil nama saya. Tapi dia bahkan nggak bisa baca tulisan “Ajeng” di secarik kertas yang berisi instruksi dari dokter. Saya langsung angkat tangan, tapi saya cuma bisa bahasa monyet karena nggak bisa ngomong. Sambil masih mangap dan ditutupi tisu, saya nunjuk-nunjuk kertasnya. Di tengah air liur yang makin membuncah akhirnya ibu-ibu radiologi yang budiman menyelamatkan saya.
“Maksudnya Ajeng kali, Mbak!”
Allahuakbar padahal nama saya termasuk pasaran lho, bisa-bisanya salah baca. Seketika saya masuk ruang radiologi dan dapat penanganan.
Untungnya kebanyakan dokter, apoteker, dan orang-orang di bidang kesehatan sudah kompak dan kejadian seperti saya nggak perlu terulang. Mengenai alasan kenapa tulisan dokter jelek sebenarnya nggak mungkin receh. Mana ada dokter sengaja bikin pasiennya nggak bisa baca resep. Kalau tujuannya gitu, dokter dan apoteker tinggal pakai kode-kode warna sekalian huruf-huruf yang ada di tabel periodik, beres.
Sayangnya alasan dokter tulisannya jelek adalah karena mereka terburu-buru. Hal ini diungkapkan salah seorang kawan dokter di Facebook. Banyaknya dokumen tentang pasien yang harus dilengkapi dokter benar-benar menciptakan kebiasaan menulis diseret-seret dan tampak nggak bisa dibaca. Total sembilan dokumen formulir yang seharusnya dilengkapi dokter anestesi demi mengurus satu pasien saja. Bayangkan kalau sehari dokter itu mengurus lebih dari sepuluh pasien, apa nggak keriting jari-jarinya?
Makanya biar cepat selesai, dokter juga harus cepat menulis. Jadilah tulisan yang nggak keruan, bahkan beberapa kata cuma jelas di huruf bagian depan dan belakangnya aja. Terpujilah para dokter yang kelihatan tetap cool padahal kerjaannya banyak dan merepotkan. Saya rasa memang sudah saatnya teknologi menjembatani kerja dokter. Wong kasir-kasir kedai makanan saja sekarang tinggal klik bisa keluar struk belanja kok.
Seharusnya ada aplikasi khusus atau bahkan alat yang mempermudah dokter dalam mengisi dokumen pasien. Kalau perlu tinggal klik, langsung tercetak resep buat diberikan ke apoteker. Yakinlah, nggak akan ada sejarahnya pasen bikin spekulasi aneh-aneh lagi soal tulisan dokter yang jelek. Kasus salah baca tulisan dokter yang saya alami juga semoga nggak kejadian lagi deh.
BACA JUGA Kisah Saat Berjaga di Bangsal Paru atau artikel lainnya di POJOKAN.