MOJOK.CO – Wacana UN dihapus memang menimbulkan kontra, baik dengan alasan yang bikin kita mesam-mesem, maupun yang bikin ngakak nggak ketulungan.
Debat Cawapres hari Minggu (17/3) lalu menyisakan pernyataan Sandiaga Uno yang hingga kini menimbulkan pro dan kontra. Saat itu, pasangan Prabowo Subianto dalam pertarungan Pilpres 2019 ini mengusulkan adanya penghapusan Ujian Nasional (UN).
Sejujur-jujurnya, isu UN dihapus bukan kali pertama terdengar di Indonesia. Bertahun-tahun lalu, Mendikbud pernah mengajukan wacana serupa. Tapi nyatanya, UN masih tetap ada, tuh. Hanya saja, penghapusan fungsi sebagai satu-satunya parameter kelulusan telah dilaksanakan.
Tapi, apa, sih, urgensi UN dihapus saat ini? Toh, seleksi masuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi pun tak lagi pakai nilai UN, melainkan sistem zonasi. Apakah alasannya untuk menghindari kecurangan gara-gara kunci jawaban yang bocor? Karena jika iya, sesungguhnya perlu kita pahami bersama bahwa kecurangan toh akan tetap muncul, bukan hanya dari UN.
Kalau nggak percaya, coba deh pergi ke kantin: memangnya nggak ada orang yang ngaku-ngaku makan gorengan dua, padahal aslinya dia makan lima biji?
Saya rasa, sih, pasti ada, soalnya saya sendiri pernah membawa dagangan ke kantin kejujuran di kampus, dan ujung-ujungnya harus pasrah mendapati total pendapatan yang tidak sebanding dengan jajanan yang sudah laku diambil orang. Hadeh, mumet!
Terlepas dari niat baik Prabowo-Sandi yang konon bermaksud menggantikan UN dengan penelusuran minat dan bakat, wacana UN dihapus ini memang cukup banyak menimbulkan kontra, baik dengan alasan yang bikin kita mesam-mesem, maupun alasan yang bikin ngakak nggak ketulungan. Yah, mau bagaimana lagi: UN itu erat kaitannya dengan masa-masa muda di sekolah, Bosque. Ia adalah ibarat Ratna bagi Galih, atau cabai bagi mendoan—melekat, menyatu.
Apa jadinya masa-masa sekolah tanpa UN, coba?
Berangkat dari pemikiran ini, saya rasa tak ada salahnya kita merangkum bersama alasan-alasan sebaiknya kita menolak wacana UN dihapus.
*JENG JENG JENG*
Pertama, jika wacana UN dihapus benar dilaksanakan, berkuranglah satu alasan untuk modus dan mencari bahan obrolan dengan teman ataupun gebetan.
UN mencakup sekian mata pelajaran yang tentu tak semuanya kita kuasai. Saya pernah nggak ngerti materi Matematika sama sekali, terutama soal integral dan trigonometri. Lantas, apa yang saya lakukan?
Tentu saja langkahnya sudah jelas: mengadu pada pacar SMA saya saat itu dan meminta diajari sampai ngerti. Untung si pacar punya track record nilai Matematika yang lebih baik, jadi “alasan” saya ini cukup masuk akal, meskipun sebenarnya…
…saya tetep nggak mudeng sama sekali sama penjelasannya! Hehe.
Tapi nggak papa, setidaknya hingga hari H ujian Matematika dilaksanakan, saya mendapat lambaian tangan darinya di ruang ujian seberang, sebagai tanda semangat untuk saya. Padahal, sejak pagi selepas Subuh tadi, ia juga mengirimi saya pesan pendek cukup banyak berisi ringkasan kiat-kiat menghadapi soal Matematika yang njelimet, lengkap dengan kata-kata motivasi yang bikin saya klepek-klepek.
Hasilnya, saya mengerjakan UN Matematika dengan bahagia, meski hasilnya cuma dapat nilai 70, bukan 90 seperti si pacar. Tapi, ya itu tadi: yang terpenting, saya jadi bahagia karena merasa diperhatikan dan dibimbing. Tanpa UN, gimana bisa saya ngerasain itu coba?
Kedua, UN dihapus berarti sama dengan menghapus tahapan perjuangan terkeras dalam kehidupan manusia.
Tolong, ya, pahami hal ini: meski UN menyebalkan, perjuangan kita dalam menghadapinya sesungguhnya perlu diapresiasi. Coba ingat-ingat lagi: apa saja yang sudah kamu lakukan demi UN sialan ini?
Saya pernah mengunci diri di kamar bersama dengan bertumpuk-tumpuk buku paket dan catatan, mulai dari semester 1 hingga semester 6 di tingkat SMP dan SMA. Bahkan, saya rela melepaskan jati diri saya sebagai tukang tidur dan malas-malasan demi UN.
Untuk pergi ke WC saja saya mempersiapkan diri se-intelektual mungkin: saya membawa pot kosong yang dilapisi kresek hitam berisi buku-buku pelajaran untuk dibaca sembari saya menuntaskan hajat!!!1!!1!!!
Segitu takutnya saya untuk dapat nilai jelek dan nggak lulus sampai-sampai saya rela menjelma sebagai zombie pencinta materi pelajaran. Saya menolak makan tidak teratur—padahal sesungguhnya saya paling tidak suka makan—demi asupan otak saya tidak terhambat dalam menerima gempuran materi pelajaran.
Intinya, gini, Saudara-saudara: setelah bersusah payah menelan materi pelajaran yang setumpuk, dikasih ratusan soal ujian, lalu berdebar-debar menunggu pengumuman sampai ketakutan setengah mati, sekarang kita harus menerima fakta bahwa…
…adik-adik angkatan kita tidak akan mengalami hal yang sama???
Hey, hey, hey, tunggu dulu. Yakin, nih, nggak mau merasakan perjuangan yang sensasinya jauh lebih mendebarkan daripada pertandingan di arena The Hunger Games???
Ketiga, penghapusan UN menjadi ancaman bagi kaum-kaum “punya-pacar-tapi-pengin-putus”.
Hal ini terjadi pada sahabat saya. Memasuki masa-masa UN SMP yang mendebarkan—saking mendebarkannya, seorang teman saya bahkan pernah menanggapi sebuah berita duka tentang seorang anak SMP sebaya kami yang meninggal karena kecelakaan dengan kalimat, “Inalillahi, tapi dia pasti lega, ya, nggak harus ngadepin UN” dan ini serius—seorang sahabat menangis terisak-isak suatu siang selepas kami makan lotek di kantin. Usut punya usut, dia baru saja diputusin pacarnya.
“Katanya, dia mau fokus belajar buat UN,” terang si sahabat.
Saya, yang saat SMP belum pernah pacaran, cuma bisa mengernyitkan dahi. Memangnya, kalau mereka pacaran, seberapa besar, sih, fokus belajar buat UN jadi terganggu??? Memangnya, saat sedang belajar untuk UN, pacarmu bakal ngglundung-ngglundung di depanmu dan mengunyah semua buku paketmu gitu???
Tapi, yah, nyatanya, teman saya yang lain justru berada di pihak yang memutuskan kekasihnya dengan alasan “ingin fokus belajar UN”. Baginya, UN justru menjadi berkah karena sudah sejak lama ia ingin putus, tapi tak menemukan alasan yang tepat. Mungkin, hal yang sama juga dirasakan oleh mantan kekasih sahabat saya yang nangis-nangis tadi.
Jadi, kalau beneran UN dihapus, apa kabar, dong, nasib anak-anak zaman sekarang yang pengin putus tapi nggak punya alasan yang tepat? Gimana kalau mereka sesungguhnya terjebak dalam toxic relationship dan semestinya harus melepaskan diri?
Yah, tanpa adanya UN, alasan apa yang harus mereka pakai???