MOJOK.CO – Kemenangan Gus Yahya Cholil Staquf jadi Ketum PBNU sudah bisa diprediksi sejak sistem pemilihan ditentukan melalui sistem voting.
“Wah, Gus Yahya (Cholil Staquf) yang menang.”
Pagi ini (Jumat, 24 Desember 2021) pesan WhatsApp hape saya sibuk sekali. Hampir semua grup WhatsApp (ada juga yang japri) mengirimi saya kabar akan kemenangan suara K.H. Yahya Cholil Staquf atau biasa disapa Gus Yahya dalam Muktamar ke-34 NU di GSG UIN Raden Intan, Lampung.
Gus Yahya terpilih dengan perolehan suara cukup jauh dari petahana K.H. Said Aqil Siraj. Gus Yahya memperoleh 337 suara muktamirin (para peserta muktamar), sedangkan Kiai Said Aqil memperoleh 210 suara.
Sejujurnya, terpilihnya Gus Yahya Cholil Staquf ini agak di luar prediksi teman-teman Nahdliyin di sekitar saya (Sleman, Yogyakarta, dan sekitarnya). Bukan apa-apa, meski secara personal tidak begitu peduli siapa yang terpilih, namun kalau ada temen Nahdliyin nanya… “Ketoe menang sopo Muktamar sesuk?” (Kelihatannya menang siapa Muktamar besok?)
Udah kayak dukun aja saya ditanya-tanya.
Saya akan jawab normatif, “Tergantung nanti model pemilihannya gimana. Kalau AHWA ya kemungkinan Kiai Said yang menang. Kalau model voting, bukan tidak mungkin Gus Yahya Cholil Staquf yang menang.”
Saya bahkan perlu menambahkan kata “bukan tidak mungkin” lho di situ. Udah kayak politisi aja saya ini.
Anu, bukan karena apa-apa juga sih, ini karena ya ndak yakin saja kalau Gus Yahya Cholil Staquf yang akhirnya menang. Lah kan Kiai Said Aqil itu petahana yang cukup kuat… dengan catatan kalau sistem pemilihan Ketum PBNU-nya pakai sistem AHWA.
Waitu, itulah yang kemudian jadi jawaban kenapa pemilihan Ketua Umum PBNU begitu panas. Panas karena menentukan sistem pemilihannya. Iya, bukan panas saat memilih siapa calon paling baik, tapi justru panas saat berdebat mengenai sistem apa yang bakal dipakai.
Ada dua model pemilihan yang dikenal untuk menentukan Ketum PBNU selama ini di Muktamar NU. Model pertama adalah AHWA, model kedua ya voting biasa oleh muktamirin.
Buat kamu yang nggak terlalu paham sistem ahlul khalli wal ahdi (AHWA) itu apa—terutama untuk orang-orang di luar Nahdliyin. Secara sederhana sistem ini merupakan sistem musyawarah mufakat.
Simpelnya, AHWA itu beranggotakan 9 ulama NU sepuh yang sudah dipilih sebelum pemilihan Rais Aam dan Ketum PBNU. Ya jadwal untuk menentukan 9 ulama ini biasanya pada hari-hari awal Muktamar NU gitu.
Kesembilan ulama sepuh ini dipilih berdasar kriteria tertentu seperti berakidah ASWAJA, wara’ (hati-hati terhadap dosa), zuhud (tidak berorientasi dunia), adil, berilmu, punya integritas moral, tawadhu’ (hormat terhadap guru), berpengaruh, dan mampu memimpin.
Nah, setelah 9 ulama ini terpilih, beliau-beliau ini kemudian musyawarah menentukan Rais Aam (semacam MPR-nya PBNU lah). Pilihan yang kemudian melahirkan K.H. Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam PBNU pada edisi Muktamar kali ini.
Usai Rais Aam PBNU terpilih, agendanya tentu adalah pemilihan Ketum PBNU yang lebih bergengsi. Dan karena lebih greget, wajar kalau debat terjadi saat penentuan sistem pilihannya mau pakai yang mana? Mau yang voting aja, atau yang AHWA kayak pemilihan Rais Aam?
Kubu Kiai Said Aqil menginginkan sistem pemilihan memakai sistem AHWA. Artinya, muktamirin cukup menonton saja waktu pemilihan Ketum PBNU, biarkan itu ditentukan oleh 9 ulama sepuh tadi. Sudahlah, muktamirin ini kan santri semua, percaya sudah sama guru-gurunya.
Nah, kalau kita flashback agak jauh ke belakang, sistem AHWA inilah yang membawa Kiai Said Aqil menjadi Ketum PBNU ketika Muktamar ke-33 di Jombang pada 2015 lalu. Kemenangan yang lantas disebut sebagai kemenangan aklamasi karena memang tidak ada pilihan voting sama sekali. Semua diserahkan kepada sesepuh-sesepuh saja dan muktamirin hanya menjadi saksi.
Makanya cukup bisa dimaklumi kalau beberapa pendukung Kiai Said Aqil Siraj, terlihat begitu ngebet menginginkan memakai sistem ini. Beberapa pihak yang mendukung sistem AHWA di antaranya ada nama besar seperti Samsul Ma’arif, Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta dan Ketum PKB, Muhaimin Iskandar.
Beberapa alasan kenapa sistem AHWa dianggap lebih baik, karena sistem ini diklaim bisa mencegah suara dari luar NU, meminimalisir money politics, dan bisa mencegah polarisasi di kubu NU sendiri.
Sedangkan pihak pendukung Gus Yahya Cholil Staquf, tentu saja menginginkan sebaliknya, yakni voting. One man one vote. Satu peserta berhak menentukan pilihan. Sistem ini tentu diklaim lebih adil, karena itu artinya setiap muktamirin yang hadir merupakan penentu siapa Ketum PBNU berikutnya secara langsung tanpa perantara.
Oh iya, peserta yang dimaksud di sini tentu bukan seluruh masyarakat Nahdliyin yang jumlahnya jutaan itu ya, tapi muktamirin yang terdiri dari Ketua Pengurus Cabang (PC) dan Ketua Pengurus Wilayah (PW) dari seluruh Indonesia. Artinya, jumlahnya hanya ada sekitar 400-an lebih pemilih.
Oleh sebab itu, ketika kemudian sistem pemilihan sudah ditentukan voting (meski sempat ada debat-debat dikit), sudah banyak umat Nahdliyin yang yakin bahwa kali ini Kiai Said Aqil akan kalah suara.
Hasil yang kemudian bisa dilihat pagi ini, bagaimana jarak perolehan suara antara Gus Yahya Cholil Staquf dengan Kiai Said Aqil saja sampai 100-an lebih. Cukup telak. Bahkan ketika penghitungan suara ini diulang untuk yang kedua kali, hasilnya pun tetap sama.
Usai memastikan memperoleh suara lebih banyak, Gus Yahya segera menghampiri Kiai Said Aqil, keduanya bersalaman dan berpelukan. Sesuatu yang tentu saja menjadi harapan bagi saya dan semua masyarakat Nahdliyin di Indonesia.
Muktamar sudah selesai, Ketum PBNU sudah dipilih. Saatnya kita kembali ke sawah masing-masing, bercocok tanam masing-masing. Tak perlu terjebak dengan polarisasi, karena siapapun yang menang dalam kontestasi itu, hidup kita juga gini-gini aja kok dari dulu.
Selamat untuk Gus Yahya Cholil Staquf. Semoga amanah dan membuat wajah NU jadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Btw, situs teronggosong.id nya terus mau digimanain itu, Gus? Lanjut atau vakum dulu selama periode jadi Ketum PBNU ini? Eh.
BACA JUGA 9 Tokoh yang Layak Jadi Calon Ketum PBNU dan ESAI lainnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi