MOJOK.CO – Aku ngefans sama Kiai Ma’ruf Amin yang tampil berbeda. Pakai sarung, ketika semuanya berjas. Nah, gimana seandainya yang berbeda itu soal agama, bukan penampilan saja?
Selamat ulang tahun Kiai Ma’ruf Amin. Semoga sehat dan bahagia selalu. Safari politik dan memikirkan umat di waktu bersamaan di usia 76 tahun itu bukan perkara enteng. Kalau stamina tidak dijaga, flu mudah menyerang. Banyak minum air putih, ya Abah.
Bahagianya mendapat hadiah handmade buatan cucu sendiri. Ketika sedang safari politik di Sumatera Utara, Kiai Ma’ruf menerima kue buatan Syaikha Aulia, cucunya. Kiai Ma’ruf yang tampak bahagia itu menerima kue dari cucunya kepada istrinya, Wury Estu Handayani.
“Hari ini hari ulang tahun saya bertepatan Super Semar, 11 Maret. Saya berharap ke depan mendapat keberkahan, keberuntungan, di tahun yang membawa kebaikan buat saya, keluarga dan tentu bagi bangsa dan negara,” ujar Ma’ruf Amin, seperti dilansir dari Antara, Senin.
Sungguh random ketika Kiai Ma’ruf menyebut Super Semar sebagai titi mangsa tanggal ulang tahunnya. Hmm…seperti kebanyakan orang tua, yang menggunakan pertanda alam atau kejadian bersejarah sebagai penanda tahun atau tanggal kelahiran. Menarik betul mengetahui pandangan Kiai Ma’ruf soal Super Semar yang legendaris itu.
Tapi itu bukan yang ingin aku katakan. Begini, aku itu ngefans sama Kiai Ma’ruf. Ngefans ya, tolong bedakan ngefans dengan preferensi politik. Ngefans bukan berarti aku bakal mencoblos Kiai Ma’ruf di tanggal 17 April. Enak saja. Aku nyoblosnya Jokowi, lah…..sama Prabowo, dan Sandiaga Uno. Aku coblos semua.
Tapi aku serius soal ngefans sama Kiai Ma’ruf. Mengapa? Karena beliau berani tampil beda. Seperti kebanyakan ulama, Kiai Ma’ruf tampil dengan identitasnya yang khas. Beliau tidak terbawa oleh “keharusan” menggunakan jas dan kemeja. Bahkan, salah satu syarat Kiai Ma’ruf mau menerima pinangan Jokowi maju nyapres/nyawapres adalah diizinkan tetap menggunakan sarung.
Saking sudah cirinya begitu, yang ditanyakan Ma’ruf Amin ketika dipinang Jokowi sungguh spesifik. “Ketika diajak jadi calon wakil presiden, saya tanya: apakah saya kalau jadi wakil presiden harus ganti celana?” tanya sang kiai seperti dikutip oleh merdeka.com.
Seperti apa jawaban Jokowi? Ma’ruf Amin menirukan jawaban mantan Gubernur DKI itu secara langsung, “Oh tidak, pak kiai tetap seperti semula (bersarung).” Jawaban yang tentunya sungguh melegakan karena mengubah penampilan, bagi beberapa orang, sungguh sulit dilakukan, apalagi yang sudah menjadi ciri khas dirinya.
Bagi seorang santri, imam, guru, kiai, Ma’ruf Amin sudah nyaman dengan starter pack khas dirinya: bersarung, bersandal slop, surban, dan peci. Jangan heran, cara berbusana ini punya filosofi yang sangat dalam, terutama sarung bagi laki-laki muslim.
Adalah Neyla Hamadah, seorang kolumnis, mengungkapkan makna sarung yang sangat cocok dengan filosofi Ma’aruf Amin sendiri. Jadi, Mbak Neyla, menulis seperti ini:
“Saya mengartikan filosofi sarung yang tanpa karet, atau tanpa resleting dan kancing. Kain sarung sangat sederhana. Namun, corak kain sarung sangat beragam dan detailnya apik. Seperti seharusnya pemikiran kita dalam bersosialiasai di tengah masyarakat yang kompleks seperti corak sarung. Bahwa kita hanya perlu berbuah baik dengan memberi manfaat kepada sesama,” tulis Mbak Neyla seperti yang ia tuangkan untuk beritagar.id.
“Digambarkan dengan tidak adanya atribut kancing dan resleting yang mengekang pergerakan badan. Artinya, kita semestinya bersikap fleksibel, tidak kaku dalam bergaul. Kemudian adanya ruang ketika kain sarung dipakai adalah sebuah pengibaratan untuk menerima dengan lapang dada apa saja yang menjadi permasalahan umat untuk dirasai bersama.”
“Gulungan kain di perut mengisyaratkan supaya kita tetap kuat menjaga silaturahmi bersama. Filosifi sarung yang penuh makna itu bisa kita jadikan kontemplasi akan kehidupan sosial kita yang makin hari makin gersang oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek. Dari sebuah kain bahkan kita bisa belajar akan pentingnya menjaga silaturahmi antarsesama dengan sikap fleksibel. Sehingga memupuk persatuan dan kesatuan bangsa,” tutup Mbak Neyla.
Jadi memang sangat kontras ketika Ma’ruf Amin berfoto bersama Jokowi, Prabowo, dan Sandiaga Uno. Ketika ketiga orang yang disebut terakhir menggunakan jas yang “kebarat-baratan”, Kiai Ma’ruf mengenakan seragamnya yang khas itu.
Berani tampil berbeda selalu baik, selama positif dan ada di dalam koridor etika. Oleh sebab itu, aku ngefans betul sama Kiai Ma’ruf. Namun, izinkan aku agak nakal sedikit. Begini: gimana kalau yang berbeda dan diterima itu bukan hanya soal fisik saja tetapi soal yang lebih prinsipil? Misalnya agama.
Gimana jadinya kalau Ma’ruf Amin itu seorang kafir? Ahh maaf, maksud saya, non-muslim. Gimana seandainya nama lengkap beliau itu Andreas Ma’ruf Amin. Beliau mau nyapres dengan mengajukan syarat kepada Jokowi seperti ini: “Pak Jokowi, shalom. Apakah saya nanti harus melepas kalung rosario ketika safari politik dan pas debat cawapres nanti?”
Jokowi menjawab, “Oh tidak, pak Andreas tetap seperti semula (berkalung rosario).”
Lalu ada seorang kolumnis ternama menulis begini:
“Saya mengartikan filosofi kalung rosario yang berderet-deret, tanpa terputus. Kalung rosario sangat sederhana. Namun, detailnya apik. Seperti seharusnya pemikiran kita dalam bersosialiasai di tengah masyarakat yang kompleks. Bahwa kita hanya perlu membina persatuan dan menguatkan sesama seperti rangkaian kalung yang tidak terputus.”
“Kalung rosario identik dengan agama Katolik. Namun, tetap bisa diterjemahkan secara universal seperti sarung. Artinya, kita tetap bersikap fleksibel, tidak kaku dalam bergaul. Kemudian adanya ruang di antara biji-biji tasbih rosario menggambarkan sifat menerima dengan lapang dada apa saja yang menjadi permasalahan umat untuk dirasai bersama.”
“Gulungan kalung di leher mengisyaratkan supaya kita tetap kuat menjaga silaturahmi bersama. Filosifi kalung rosario yang penuh makna itu bisa kita jadikan kontemplasi akan kehidupan sosial kita yang makin hari makin gersang oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek. Dari sebuah kalung kita bisa belajar akan pentingnya menjaga silaturahmi antarsesama dengan sikap fleksibel. Sehingga memupuk persatuan dan kesatuan bangsa, toh pemeluk Katolik juga bagian dari Indonesia dan sekarang tidak lagi disebut sebagai kafir. Saya rasa ini kemajuan yang patut dirayakan semua pemeluk agama di Indonesia.”
“Diterimanya non-muslim sebagai pendamping pemeluk agama mayoritas di gelaran politik sungguh seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Segar dan menentramkan. Artinya, perbedaan yang diterima tidak hanya soal fisik, melainkan mental dan kepercayaan. Ini Bhineka Tunggal Ika yang paripurna,” tutup kolumnis ternama itu.
Ketika sedang safari politik, Pak Andreas Ma’ruf Amin diberi waktu untuk ibadah misa hari Minggu pagi. Habis itu baru kampanye lagi. Tengah hari, ketika waktunya salat Zuhur, Pak Andreas Ma’ruf Amin menghentikan orasinya supaya simpatisannya yang beragama Islam bisa salat. Sungguh aku bakal menangis kalau itu betul-betul terjadi.
Jangan ngamuk-ngamuk begitu, ini tulisan “membayangkan”. Santai saja. Sini, aku bikinin kopi susu yang enak.