Ada banyak faktor yang membuat menonton film di bioskop menjadi sangat tidak menyenangkan. Dari mulai film yang ternyata jauh dari ekspektasi karena saking buruknya, suasana teater yang berisik karena ada banyak penonton yang membawa anak-anak, sampai adanya pasangan yang nekat cipokan klomoh dan kebetulan posisi duduknya di sebelah kita.
Nah, faktor-faktor di atas adalah faktor yang terjaid di dalam teater. Tentu saja juga faktor-faktor yang terjadi di luar teater. Salah satu yang paling menyebalkan tentu saja adalah tatkala harus mengikuti proses antrean beli karcis bioskop di jam-jam mepet.
Yang menyebalkan dari mengantre karcis bioskop di jam-jam mepet, jam-jam saat film sudah mau dimulai tentu saja adalah menahan emosi terhadap para pengantre di depan kita.
Saya pikir, ini hal yang lumrah dan dirasakan oleh banyak orang.
Bayangkan, Anda tiba di bioskop sekitar 10 menit sebelum jadwal film diputar. Tanpa banyak babibu, Anda langsung mengantre untuk membeli karcis. Di depan Anda, ada lima belas orang yang juga mengantre untuk membeli karcis. Kemudian, muncullah si pengantre bedebah itu.
Ia berdiri di depan loket dengan ketenangan yang luar biasa, namun dengan kebodohan yang luar biasa pula.
Film sudah hampir dimulai, para pengantri di belakangnya sudah tidak keburu waktu, tapi ia masih saja tidak mempersiapkan uang dalam genggaman, sehingga begitu sampai di depan petugas karcis, ia masih harus sibuk mengeluarkan dompet dari dalam tas, lalu kemudian mengeluarkan uang dari dalam dompet.
Hal itu kemudian menjadi lebih menyebalkan lagi, sebab setelah dompet didapat, ia bukannya mengambil duit, tapi malah kartu debit, yang mana akan membutuhkan waktu buat input pin dan tetek bengek lainnya sebelum pembayaran.
Dalam kondisi yang demikian, pihak bioskop biasanya juga ikut menguji kesabaran kita: sudah tahu kalau antrean banyak dan mengular, tapi loket karcis yang buka cuma satu.
Bodhol bakule slondok. Remuk bakule lombok.
Itu pengantre jenis pertama.
Pengantre jenis kedua tak kalah menyebalkannya. Mereka adalah tipikal pengantre yang tak bisa membedakan mana setia kawan dan mana yang bukan.
Betapa tidak, mereka datang berombongan, sekira empat sampai lima orang, namun saat mengantre, mereka ikut semuanya. Padahal sampai di depan loket karcis, yang ngomong sama penjaga karcis ya tetap saja satu orang.
Saya curiga, jangan-jangan, mereka tidak mengenal kata “representasi” dalam kamus hidup mereka.
Nah, pengantre jenis ketiga saya yakin jauh lebih membuat Anda emosi. Kebetulan saya pernah beberapa kali kena sial karena ketemu pengantre jenis ini.
Pengantre jenis ini berwujud sepasang makhluk lelaki dan perempuan. Bisa berstatus pacaran, atau bisa juga berumah tangga.
Mengapa menyebalkan? Karena mereka tak bisa membedakan mana tempat yang layak dijadikan untuk tempat diskusi dan mana yang tidak.
Sekarang bayangkan, saat Anda antre —tentu saja dalam kondisi waktu yang mepet sebelum film diputar, pasangan ini berada di depan Anda. Begitu mereka sampai di depan loket karcis, mereka malah berdebat untuk menentukan film mana yang sebaiknya mereka tonton.
Bedebah.
“Nonton Yo Wis Ben aja beb, film bagus, penuh muatan lokal, gimana?”
“Ah, enggak, mau nonton Love for Sale aja, pengin liat pantatnya Gading Marten nih…”
“Pokoknya Yo Wis Ben.”
“Nggak mau, aku maunya Love for Sale, titik!”
Dalam kondisi yang demikian, saya yang ada di belakang mereka hanya bisa berdoa, semoga Yo Wis Ben dan Love For Sale kasetnya macet saat mau diputer.
Kepada kalian para pencinta film yang senantiasa simpel dan praktis dalam mengantre, semoga Gusti Alloh senantiasa memberkahi hidup kalian.