MOJOK.CO – Selayaknya manusia normal, saya punya banyak kawan dengan pengalaman dan cerita lucu. Saya menuliskan tiga di antaranya, semoga bisa menjadi penguat imun untuk kalian yang yang berkenan membaca.
Cerita Lucu #1 Beli LKS
Saya pernah punya seorang kawan yang, entah apa sebabnya, tak pernah naik kelas. Kalau cuma sekali dua kali, itu hal yang biasa. Namun ia tidak naik kelas hampir setiap tahun. Sebut saja kawan kita ini Sastro. Saking seringnnya ia tak naik kelas, sampai beredar rumor bahwa ia adalah satu-satunya siswa pemegang rekor yang buku rapornya benar-benar terisi penuh sampai halaman terakhir.
Saya pernah satu kelas dengannya saat kelas 1 SD, dan tentu hanya itu pula satu-satunya kebersamaan saya dengan Sastro, sebab setelah saya naik ke kelas 2, Sastro masih tetap kelas 1. Begitu terus bertahun-tahun. Tak heran jika kemudian banyak kawan-kawan lintas angkatan di kampung saya yang pernah satu kelas dengan Sastro.
Karena terus-menerus tidak naik kelas, Sastro kemudian mendapat label bodoh. Walau saya sendiri sebenarnya berkeyakinan bahwa ia tak sebodoh itu. Saya bahkan pernah ditipunya satu kali, hal yang membuat saya yakin bahwa ia memang tak sebodoh itu.
Besar kemungkinan, ia mengalami disleksia, namun saat itu siapa pula yang paham apa itu disleksia. Tahun segitu, film Taare Zameen Par belum tayang. Maka, biar gampang, sebut saja Sastro itu memang bodoh belaka.
Sebagai seniornya senior di sekolah, Sastro tentu menjadi jagoan. Maklum, walau kelas 1, namun usianya sudah cukup tua karena berkali-kali tak naik kelas, hal yang membuat ia ditakuti oleh anak-anak satu kelas dan bahkan anak-anak yang kelasnya di atasnya.
Ia pun lebih sering bergaul dengan anak-anak kelas 4-5 yang notabene pernah juga satu kelas dengan dirinya beberapa tahun lalu.
Sastro, ehm, lebih tepatnya, orang tua Sastro, akhirnya menyerah dan mengeluarkan Sastro dari sekolah setelah bertahun-tahun ia menghuni kelas 1 melulu.
Kepada saya, Sastro mengatakan bahwa dirinya tidak terlalu ambil pusing dengan kondisi tersebut.
Sebagai kawan, saya pernah iseng bertanya bagaimana rasanya menjadi penghuni kelas 1 selama bertahun-tahun. Ia mengaku menikmatinya. Lelaki yang kini bekerja sebagai pengamen di lampu merah tak jauh dari rumahnya ini menjawabnya sambil prengas-prenges. Ia menjawab pertanyaan saya seperti tak ada penyesalan atas pengalaman yang, di mata saya, terasa amat memilukan itu.
“Tapi ada satu momen aku pernah mangkel banget sama Bu Ida,” katanya. Bu Ida adalah guru kami yang biasanya mengajar PPKN dan agama.
“Mangkel kenapa?”
“Pernah suatu saat ia menawari anak-anak buat beli LKS, dia bilang, yang mau beli LKS, silakan angkat tangan. Tentu aku ikut angkat tangan.”
“Lha, trus?”
“Eh, sama Bu Ida, aku disuruh untuk menurunkan tangan. Dia bilang, ‘Sastro nggak usah beli LKS, wong tahun depan belum tentu naik.’ Ha bajingan tho?”
Tentu saja jawaban tersebut membuat saya tertawa. Saya memang benci dengan ketimpangan dan ketidakadilan, namun khusus yang satu ini, saya benar-benar menikmatinya. Saya sering menemukan guru yang mendemotivasi muridnya, namun demotivasi dari Bu Ida adalah level yang lain. “Itu seandainya yang dikatai begitu bukan aku, melainkan siswa lain, pasti sudah down itu.” Tawa saya semakin keras.
“Tapi jujur, Tro, kalau aku jadi Bu Ida, aku juga akan melakukan hal yang sama,” kata saya.
Sastro tertawa. “Asuuuuuu!”
Cerita Lucu #2 Alasan Hujan
Namanya juga sedang liyut, mabuk berat, jadi wajar saja bila kawan saya Gembus malam itu sampai tak ingat jalan pulang. Itulah yang akhirnya memaksa Gembus tidur di rumah Marcopolo setelah sebelumnya mabuk bersama kawan-kawannya di ngebug dekat persimpangan jalan kampung.
Gembus tepar parah, ia tidur sampai pagi di rumah Marcopolo, dan baru terbangun saat mentari sudah cukup tinggi. Ia kaget karena sudah berada di Kamar Marcopolo.
Gembus segera keluar dan menuju ruang tamu, di sana, ia dapati Marcopolo sudah asyik menonton televisi. “Cuk, kok aku kok bisa tidur di rumahmu tho?” tanya Gembus heran.
“Lha yo bisa, wong semalam kamu liyut berat, nggak ingat jalan pulang ke rumah, jadi kamu tidur di sini,” jawab Marcopolo sambil terkekeh, ia teringat adegan semalam saat berkali-kali Gembus salah arah jalan menuju rumahnya, dan bahkan sempat masuk ke rumah orang lain sebab dikira sebagai rumahnya sendiri, hanya karena bentuk terasnya yang hampir sama dengan rumahnya.
Gembus menengok jam dinding yang tergantung di dinding ruang tamu Marcopolo, sudah jam sepuluh. Ia segera terburu, lalu mencuci muka.
“Aku pulang dulu, Cuk, sudah siang,” pamit Gembus pada Marcopolo yang sudah nongkrong manis di ruang tamu. “Bilangke sama emakmu, matur suwun,” imbuhnya.
“Shaaap, lapan anam.”
Gembus pun berlalu, ia keluar dari rumah Marcopolo, berjalan pulang dengan wajah yang masih agak semrawut.
Sesampainya di rumah, Gembus langsung disambut dengan serapah oleh emaknya.
“Ke mana saja kamu jam segini baru pulang? Nggak mikir apa kalau pagi tadi ada sambatan usung-usung tikar buat acara gendurenan nanti sore!”
Gembus sudah memprediksi ini bakal terjadi. Sehari sebelumnya, Gembus memang berjanji untuk ikut bantu-bantu mengangkuti tikar juga kursi untuk keperluan kenduri yang akan dilangsungkan di rumah neneknya yang bersebelahan persis dengan rumahnya. Gembus sadar, bahwa ia berada dalam posisi salah, namun bagaimanapun, sebagai gentho pilih tanding, ia harus tetap mencari pembelaan.
“Aku tidur di rumah Marcopolo, Mak.”
“Lha iya, trus kenapa jam segini baru pulang?”
Gembus bingung setengah mati mencari alasan yang bagus dan logis. Beruntung, ia punya jiwa improvisasi yang lumayan mumpuni. Akhirnya, ia pun mendapat alasan yang dirasa tepat dan ampuh untuk membela diri.
“Aku sebenarnya pengin pulang tadi pagi, Mak, tapi maaf, Mak, di rumah Marcopolo tadi hujan deras,” jawab Gembus mantap, ia terlihat puas karena punya alasan yang sangat defensif dan cukup masuk akal. Ia yakin, ibunya bakal segera maklum dengan alasan yang iklimis itu.
Namun, apa yang diharapkan Gembus ternyata salah besar.
“Hujan deras dengkulmu!” bantah ibunya.
Gembus pun terkaget, lagi bingung, mengapa ibunya membantah alasan yang ia ajukan, padahal menurutnya, alasan itu sangat logis dan acc–able. Barulah setelah berpikir sejenak, Gembus menyadari, bahwa alasan “di rumah Marcopolo tadi hujan deras” yang baru saja ia tawarkan adalah alasan yang goblok juga sangat ngawur, sebab rumah Gembus dan rumah Marcopolo jaraknya hanya terpisah empat rumah.
Cerita Lucu #3 Maratama
Di perempatan Pakelan itu, kawan saya Kuncung dan Paijo selalu sigap. Lha gimana nggak sigap, namanya juga pengamen bus, harus selalu bisa menyelaraskan langkah kaki mengikuti laju bus yang senantiasa ritmis dan bergegas.
Perempatan Pakelan menjadi semacam posko bagi mereka. Perempatan Pakelan adalah perempatan yang strategis karena menjadi salah satu nadi utama jalur transportasi Purworejo-Magelang-Semarang-Jogja.
Kuncung pegang gitar kentrung, sedangkan Paijo pegang ketipung paralon.
Pagi itu agaknya bakal menjadi pagi yang menjanjikan. Lalu lintas belum terlalu ramai, dari kejauhan bus berwarna biru muda tampak merapat ke lampu merah perempatan Pakelan. Sebagai manusia cekatan, Kuncung tentu bersorak pelan, bersyukur akan kedatangan si mangsa.
“Maratama, Jo!” ujar Kuncung menyebut salah satu nama bus, “Sikat!” lanjutnya
“Wah, masih pagi, Cung, nanti saja lah, ngopi-ngopi dulu, rokokan dulu,” sahut Paijo.
“He, goblok, ini Maratama, Cuk, eman-eman kalau dilewatkan, sudah, cepet, siapkan ketipungnya!” Kata kuncung sembari menyiapkan gitar kencrungnya. “Jarang-jarang, Jo, pagi-pagi begini sudah dapat Maratama!” imbuhnya.
Paijo pun terpaksa menuruti apa kata Kuncung, Lagi pula Paijo sebenarnya juga merasa sayang kalau harus melewatkan tarikan bus Maratama ini. Maka, bergegaslah Paijo menyiapkan ketipung mautnya.
Bus mendekat dan berhenti tepat di lampu merah. Dengan sigap Paijo dan Kuncung langsung naik. Dasar hari baik, rupanya kondisi bus sedang on-fire alias penuh dengan penumpang.
Keduanya lantas segera mempersiapkan diri. Sepatah dua patah intermezzo yang menjadi formalitas pengamen pun dilancarkan. Tak butuh waktu lama setelah intermezzo yang lirih dan hanya berisi perkenalan dan blablabla itu rampung, keduanya langsung memasang kuda-kuda dan segera memainkan aksi musikal mereka.
Kencrung langsung digenjreng tanpa perlu disetem dahulu karena Kuncung sudah begitu yakin dengan bunyi kencrungnya yang amat melodius itu. Paijo pun tak mau kalah, ketipungnya segera ditabuh mengikuti irama genjrengan kencrung si Kuncung, tentu dengan ketukan koplo yang harmonis. Dengan suara yang sebenarnya tak sedap-sedap amat, Kuncung melantunkan beberapa tembang.
Para penumpang tampak begitu terhibur, beberapa ada yang menggoyangkan kepalanya, beberapa bahkan ada yang ikut bernyanyi mengikuti lirik tembang yang sedang didendangkan oleh dwitunggal kita.
Lima belas menit berlalu dan tak terasa tiga nomor sukses didendangkan: “Mendem Kangen”, “Lungiting Asmoro”, dan “Layang Sworo”.
Setelah keduanya selesai dengan tembang mereka, kini saatnya bagi Paijo untuk mengambil peran penting: mengumpulkan “iuran” receh sukarela. Paijo mengambil bungkusan plastik dan mulai mengedarkannya dari kursi ujung depan sampai ujung bagian belakang. Sedangkan Kuncung masih tetap memainkan genjrengan kencrungnya sebagai suara latar.
Dasar untung tak dapat diraih, sial tak dapat ditolak. Dari depan sampai belakang, tercatat hanya tiga penumpang yang bersedia menyisihkan uangnya untuk aksi musikal Paijo dan Kuncung, itu pun satu penumpang memberi seribu, dan dua penumpang lainnya masing-masing lima ratus. Total, hanya dua ribu perak uang yang Paijo dapatkan di dalam bungkusan plastiknya.
Paijo ngedumel dan kemudian duduk di kursi deretan belakang sambil memberikan kode kepada Kuncung agar segera menyusulnya ke belakang.
“Cung, cuma tiga yang ngisi, dan dapatnya cuma dua ribu,” kata Paijo sambil berbisik.
“Weee! Lha kok bisa?” tanya si Kuncung kaget.
“Hambuh ki, lha aku sendiri juga bingung.”
Mereka berdua heran, bagaimana mungkin dari sekian banyak penumpang bus Maratama, hanya tiga penumpang yang bersedia mengisi kantong perjuangan mereka. Padahal selama ini, kalau beroperasi di bus Maratama, satu kali tarikan, mereka berdua bisa dapat banyak, seapes-apesnya ya bisa lima ribu. Maklum, Maratama adalah bus trayek Magelang-Purworejo yang dikenal cukup ramah pengamen, banyak penumpang yang biasanya sudah menyiapkan uang kecil khusus untuk para pengamen.
“Ini Maratama edisi kere, Jo,” Kuncung ngedumel pelan.
Paijo kemudian mengetuk pintu bus dengan uang koin sebagai tanda agar bus berhenti. Keduanya langsung turun begitu bus menurunkan kecepatannya. Jam terbang mereka yang tinggi sebagai pengamen rupanya telah menempa mereka untuk bisa turun dari bus bahkan sebelum bus yang mereka tumpangi benar-benar berhenti.
“Wooo, penumpang kere! Maratama kere!” umpat Kuncung sesampainya di darat.
Paijo pun hanya bisa ikut-ikutan mengumpat sambil sambil menatap bus yang terus berlalu menjauh dengan pandangan yang terpaku. Ia terdiam sejenak, hingga kemudian tersadar dan segera memaki Kuncung.
“Wooo, bajingan!” maki Paijo kepada Kuncung. Kuncung tentu saja bingung karena tiba-tiba dimaki oleh kompatriotnya.
“Ngopo?” tanya Kuncung.
“Deloken,” kata Paijo sembari menunjuk bus yang baru saja mereka tumpangi.
Kuncung pun melihat ke arah bus yang sudah mulai menjauh itu. Ia terperanjat. Di body belakang bus tadi, tercetak jelas tulisan yang amat besar: USMANTEX. Itu artinya, bus yang baru saja mereka naiki bukanlah bus angkutan umum, melainkan bus antar-jemput karyawan.
“Woooooo, Usmantex bajingan!” teriak Kuncung.
“Kowe sing bajingan!” balas Paijo.
BACA JUGA Cerita Lucu Sopir Truk: Ke Ostrali-lah Maka Kau Enggak Bakal Lucu Lagi dan artikel AGUS MULYADI lainnya.