MOJOK – Perempuan diaspora yang menyebar di berbagai negara punya berbagai pandangan tentang politik. Empat dari lima orang yang diwawancara memilih golput. Lho, kok gitu?
Suasana menjelang pesta demokrasi 2024 kian memanas. Berbagai lembaga survei berlomba merilis riset elektabilitas. Manuver-manuver tokoh politik sudah terlihat. Bahkan, beberapa hoaks terkait Pemilu 2024 mulai tersebar. Suasana itu mungkin lebih terasa karena kita hidup di Indonesia. Bagaimana dengan mereka yang tinggal di luar negeri? Pengalaman politik seperti apa yang mereka rasakan selama tinggal di negara orang?
Mojok menghubungi beberapa perempuan diaspora untuk dimintai tanggapan. Latar belakang masing-masing narasumber: pekerja, ibu rumah tangga, dan pelajar. Sekarang mereka tinggal di Inggris, Malaysia, Selandia, Baru, Jerman dan Austria.
“Mengikuti berita politik dalam negeri, nggak?”
“Mengikuti terus dong. Takut ke-skip berita tau-tau sudah kudeta,” jelas Icha, pelajar yang saat ini menempuh pendidikan S3 di Inggris. Tanggapannya itu berangkat dari cerita eksil 1965 yang tidak bisa pulang ke tanah air karena kekacauan politik di dalam negeri.
Hal senada juga dilakukan oleh Rina, warga Indonesia yang saat ini menjadi ibu rumah tangga di Wellington, Selandia Baru. Ia mengaku masih memantau berita politik di dalam negeri, walau ujung-ujungnya kebingungan.
“Kadang ngikutin tapi nggak sampe selesai. Kesannya, membingungkan. Makanya, kadang ngikutin, kadang enggak,” kata dia.
Begitu juga dengan Atin yang sekarang menjadi ibu rumah tangga di Wina, Austria. Sesekali ia masih mengikuti kabar politik. Sepengamatannya dari negeri seberang, ia menilai situasi politik di Indonesia saat ini sudah lebih terbuka, walau memang masih didominasi isu partai politik.
Akan tetapi bagi Ellen, seorang pekerja di Berlin, Jerman, cenderung melihat situasi politik di Indonesia tidak sehat dan terpolarisasi. Oleh karenanya, ia tidak begitu tertarik mengikuti isu politik di Indonesia.
“Apakah situasi politik di negaramu tinggal saat ini menarik?”
Icha yang sudah pernah tinggal di tiga negara yang berbeda di Eropa sebenarnya cukup mengikuti dinamika politik di negeri orang meski kadang kurang bisa memahami. Menurutnya, politik di Inggris terkesan klasik karena berita didominasi dua partai di sana: Partai Buruh dan Partai Konservatif. Sementara, ia cukup terhibur karena sesekali menyimak drama Royal Family alias keluarga Kerajaan Inggris.
Lain halnya, saat Icha tinggal di Swiss pada 2008 silam. Saat itu polemik tentang keputusan Swiss bergabung ke EU sedang hangat. Masa itu terkenang karena setiap ada kebijakan baru warga diminta untuk “nyoblos” atau semacam referendum.
“Jadi jelang referendum kebijakan baru kampanyenya seru-seru,” jelas Icha.
Pengalamannya hidup di Belanda juga memberikan kesan tersendiri. Di sana terdapat macam-macam parpol yang memiliki tujuan sangat spesifik seperti kebebasan internet, sayang hewan, dan lain sebagainya.
Windi juga punya kesan tersendiri terhadap kondisi politik di negara tetangga. Pemilu di Malaysia mengingatkannya pada Orde Baru. Warga memilih partai koalisi bukan figur politiknya. Selain itu, kekuasaan petahana selama 60 tahun akhirnya beralih ke koalisi oposisi pada pemilu terbaru. Ia melihat ini semacam era reformasinya Malaysia.
“Oh iya, nggak ada kampanye, nggak ada dangdutan, nggak ada konvoi juga. Seperti ada yang hilang,” kata Windi.
Berbeda lagi di Austria. Atin melihat partai politik di tempat tinggalnya saat ini tidak begitu banyak, hanya sekitar lima partai. Namun, setiap partai mengusung hal yang sangat berbeda. Yang menarik, presiden saat ini berasal dari Partai Hijau yang berfokus pada masalah lingkungan dan keadilan sosial.
Ia juga menyoroti perlakuan terhadap pejabat-pejabat korup. Sebagai negara yang menempati tingkat atas dalam indeks persepsi korupsi, ternyata kasus korupsi masih saja terjadi Austria. Namun, perlakuan yang diberikan setelahnya yang membedakan dengan penanganan di Indonesia.
“Baru-baru ini ada skandal korupsi yang melibatkan kanselir. Ia dicopot dari jabatannya, dan kalau pejabat yang mewakili suatu partai melakukan kecurangan, dipastikan partai itu nggak akan dipercaya lagi oleh rakyat,” jelas Atin.
Sementara itu, Ellen menilai kondisi politik Jerman dan Indonesia seperti berkebalikan. Politik di Jerman terkenal dengan stabilitas dan efisiensi. Lain halnya politik Indonesia yang memiliki ciri khas banyak partai politik. Ellen menduga ini diakibatkan karena Indonesia memiliki keberagaman suku, etnis, agama/kepercayaan, dan daerah yang signifikan. Keberagaman itu yang kadang bisa menyebabkan tekanan politik, sedangkan di Jerman relatif homogen, yang akhirnya berkontribusi pada stabilitasnya.
“Selama jadi diaspora pernah ikut pemilu?”
Masing-masing narasumber punya jawaban yang berbeda, namun empat dari lima perempuan diaspora ini memilih golput alias tidak ikut nyoblos. Ellen terang-terangan menjawab tidak pernah tertarik politik, sehingga memilih golput. Sementara, Icha mengaku tiap momen pemilu ia sedang kembali ke Indonesia.
Selanjutnya, Rina mengaku tidak pernah nyoblos karena terlanjur skeptis. “Tidak ada yang bisa dipercaya,” tandasnya.
Lain halnya dengan Windi. Ia memilih golput lebih karena mager alias malas gerak.
“Alasan pertama, aku telat daftar dapil luar negeri. Alasan kedua, WNI di Malaysia banyak jumlahnya jadi kalau nyoblos nanti antre lama, panas,” ungkapnya.
Atin satu-satunya perempuan diaspora yang baru setahun tinggal di luar negeri. Ia sudah berencana berpartisipasi dalam Pemilu 2024.
“Memutuskan untuk menjadi golput itu menurutku tindakan yang kurang bijak. Terlepas nantinya pilihanku kalah atau menang, yang penting sudah memilih sebagai bentuk menghargai dan menjunjung tinggi demokrasi,” ujar Atin.
“Adakah aspirasi yang ingin kamu sampaikan?”
Atin berharap pemilu ke depan tidak ada isu yang sengaja disebar untuk mengaburkan objektivitas pemilih. Pemilih juga perlu mengurangi fanatisme sempit.
“Selalu berpikirlah realistis dan objektif,” tegasnya. Untuk mereka yang saat ini sudah duduk di kursi pemerintahan, jangan sampai kepentingan partai di atas kepentingan negara.
Senada, Rina berharap penyelenggaraan pemilu bisa jujur, sesuai prosedur dan adil. Ringkasnya, sistem pemilu yang hasilnya benar-benar bisa dipercaya oleh rakyat.
“Untuk partai dan pemimpin terpilih, kalau sudah dipilih harus jujur dan amanah. Jangan mikirin diri sendiri atau golongan. Tolong rakyatnya dipikirkan biar hidupnya sejahtera,” kata dia.
Sementara itu Windi menekankan pentingnya kinerja kedutaan besar di negara tempat diaspora tinggal. Baginya, kinerja kedutaan besar lebih signifikan terasa dibandingkan kondisi sosial politik dalam negeri.
“Sebagai WNI yang tidak tinggal di Indonesia, kita nggak terlalu engage dengan keadaan sosial politik dalam negeri. Yang paling penting kinerja duta besar di negara yang kita tinggali, bagaimana dia melihat situasi WNI di negara tersebut,” jelasnya.
Ia mencontohkan KBRI di Malasyia yang banyak membantu buruh migran WNI saat Covid-19. Banyak pekerja yang “nyangkut” di Malaysia karena tidak punya cukup uang untuk pulang. KBRI dengan aktif memulangkan pekerja-pekerja tersebut.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Amanatia Junda