MOJOK – Maria Ulfah adalah menteri perempuan pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Ia dikenal sebagai perempuan yang memperjuangkan kesetaraan, terutama hak pilih perempuan.
Perempuan bernama lengkap Maria Ulfah Santoso ini lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911, dalam keluarga priayi. Sebagai anak kaum berada, privilese pendidikan pun ia dapatkan—setidaknya jika dibandingkan golongan pribumi lainnya.
Alhasil, Maria Ulfah dapat menempuh studi hingga perguruaan tinggi. Bahkan, ia menamatkan kuliahnya di Universitas Leiden sebagai perempuan pertama lulusan jurusan hukum asal Indonesia.
Sejak November 1934, ia kembali ke tanah kelahiran, yang saat itu masih hidup dalam belenggu kolonialisme. Di negeri asalnya ini, Maria Ulfah menemui banyak sekali kenyataan miris soal kehidupan perempuan, yang bikin ia terus mengelus dada.
Misalnya, di kampung halamannya, Serang, ia kerap menjumpai seorang perempuan yang sudah menikah dipulangkan ke rumah orangtuanya hanya karena jatuh sakit. Sekonyong kemudian, sang suami dengan seenak jidatnya menjatuhkan talak dan melayangkan gugatan cerai kepada perempuan karena “sudah dianggap tak layak”.
Cerita itu baru satu hal. Seiring berjalannya waktu, saat ia mulai bekerja di Kantor Kabupaten Cirebon, Maria Ulfah makin menyadari bahwa perempuan sesungguhnya begitu tersisih dari arena politik. Akibatnya, hak-hak mereka pun juga terabaikan, karena tidak ada yang mewakili kepentingannya.
Menukil Ipong Jamizah dan Arifin S. Nugroho dalam bukunya, Maria Ulfah: Menteri Perempuan Pertama Indonesia (2021), sebagai sarjana hukum Maria Ulfah menyadari bahwa salah satu permasalahan utama yang menyebabkan lemahnya kedudukan perempuan dalam politik saat itu adalah karena “ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku seringkali tidak berpihak pada perempuan”.
“Dengan adanya partisipasi perempuan di parlemen, perempuan Indonesia akan memiliki akses untuk mengubah keadaan sekaligus dapat menyampaikan aspirasi perempuan Indonesia secara langsung kepada pemerintah,” ujar Maria Ulfah, sebagaimana dikutip Jamizah dan Nugroho.
Bicara hak pilih perempuan di Dewan Kota
Hingga 1937, hanya laki-laki yang memiliki hak untuk duduk sebagai anggota di semua dewan perwakilan daerah. Namun, pada awal tahun 1938, pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk pertama kalinya membuka keanggotaan Gemeenteraad (dewan setingkat Kota Praja; sekarang DPRD Kabupaten/Kota) untuk perempuan.
Perempuan akhirnya memiliki hak pasif (hak untuk dipilih) dalam pemilihan umum anggota dewan. Namun, ini belum memuaskan Maria Ulfah karena jika hanya laki-laki yang boleh memilih, potensi keterpilihan perempuan di dewan akan sangat kecil.
Akhirnya, dalam rangka menyambut pemilihan anggota Gemeenteraad periode 1938-1942, beberapa organisasi perempuan Indonesia memutuskan untuk mengadakan pertemuan guna memberikan edukasi kepada kaum perempuan Indonesia tentang hak pilih mereka.
Pertemuan diadakan pada tanggal 3 Juli 1938 di Jakarta dan Maria Ulfah diminta sebagai pembicaranya.
Dalam acara tersebut, Maria Ulfah mengawali pidatonya dengan membahas tentang hak pilih perempuan di negara-negara Barat, terutama Belanda yang berhasil mendapatkan hak pilih umum pada 1919. Dengan hak pilih umum, maka semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak pilih aktif (memilih) dan pasif (dipilih).
Selain itu, Maria Ulfah juga membahas tentang hak pilih perempuan di negara-negara yang memiliki banyak penduduk Muslim, seperti Turki dan India. Di negara-negara tersebut, kaum perempuan juga telah memiliki hak pilih serta berpartisipasi aktif di dunia politik.
“Oleh karena perempuan hanya mempunyai hak dipilih, bukan dia-lah yang dapat menentukan apakah dalam Gemeenteraad akan duduk seorang lid [anggota] perempuan atau tidak,” seru Maria Ulfah dalam pidatonya, yang dimuat dalam liputan berjudul “Kaoem Iboe Dalam Badan-Badan Perwakilan”di surat kabar Pemandangan (1938).
“Oleh karena hak [untuk] memilih hanya diberikan kepada laki-laki, mereka lah yang dapat menentukan apakah seorang perempuan akan terpilih atau tidak,” serunya, melayangkan kritik.
Akhirnya, ia pun mengajak para perempuan untuk menyadari hak pilih mereka. Maria Ulfah juga terus mendorong pemerintah kolonial Hindia-Belanda agar memberikan hak pilih tersebut kepada perempuan, utamanya pribumi.
“Bagi perempuan, dalam hal ini tidak banyak yang dapat kita kerjakan selain berseru kepada kaum laki-laki bahwa sekarang sudah tiba waktunya, bahkan amat perlu perempuan turut duduk juga dalam raad (dewan),” sambungnya.
Berhasil memenangkan keputusan soal hak pilih
Sejak saat itu, Maria Ulfah terus menyuarakan bahwa perempuan harus memiliki hak pilih, bukan hanya dipilih. Puncaknya, pada 25-28 Juli 1941 diselenggarakan Kongres Perempuan IV yang menelurkan salah satu keputusan penting: pemberian hak kepada perempuan untuk memilih Dewan Rakyat dari golongan Indonesia.
Anggota Fraksi Nasional Gemeenteraad saat itu, Muhammad Yamin, menyatakan dukungannya pada keputusan Kongres Perempuan yang dipimpin oleh Maria Ulfah.
Bahkan, Yamin tak segan memuji Maria Ulfah sebagai “ahli hukum yang andal”. Pun, ia akhirnya menyampaikan keputusan ini ke Volksraad (Dewan Rakyat; DPR), yang mana anggota-anggotanya seperti Otto Iskandar Dinata, Samsudin, dan Soeroso juga memberikan dukungan.
Sempat ada perdebatan, karena pihak pemerintah kolonial hanya menginginkan perempuan Belanda saja yang punya hak pilih. Namun, akhirnya pada 20 September 1941 Hindia-Belanda melunak dan menyetujui keputusan itu.
Dengan demikian, maka semua perempuan yang memenuhi persyaratan dapat mendaftarkan dirinya sebagai pemilih dalam pemilihan anggota Gemeenteraad selanjutnya.
Untuk pertama kalinya, pemilihan anggota Gemeenteraad tahun 1942 diikuti oleh perempuan Indonesia sebagai pemilih. Sayangnya, pemilu ini tidak pernah terjadi karena pada Maret 1942 Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang.
Sebenarnya, pada 1939 nama Maria Ulfah juga sempat diusulkan ke Gubernur Jenderal agar diangkat sebagai anggotga Volksraad—anggotanya ditunjuk secara langsung oleh Gubernur Jenderal. Bahkan, organisasi-organisasi perempuan di Jawa dan Sumatra memberikan dukungan kepadanya.
“Beberapa organisasi perempuan mengirim surat telegram ke pemerintah kolonial Belanda tertanggal 20 Januari 1939, menyatakan bahwa Maria Ulfah adalah perempuan yang tepat untuk duduk di Volksraad sebagai wakil dari kaum perempuan,” sebagaimana dicatat dalam buku berjudul Maria Ulfah: Menteri Perempuan Pertama Indonesia.
Sayangnya, keinginan kaum perempuan Indonesia untuk diwakili oleh Maria Ulfah di Volksraad periode 1939-1943 tidak pernah terwujud. Hal ini karena tidak ada satupun perempuan Indonesia yang diangkat oleh Gubernur Jenderal ke dalam Dewan Rakyat tersebut.
Di masa menjelang kemerdekaan, Maria Ulfa bergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di lembaga ini, ia sukses memasukkan Pasal 27 UUD 1945 tentang “kesetaraan warga negara di dalam hukum tanpa pengecualian”.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda
BACA JUGA Maria Ulfa, Perempuan yang Tumbuh dalam Dinamika Politik Internasional