MOJOK.CO – Erick Thohir dan Sandiaga Uno mendulang popularitas setelah berhasil mendatangkan Timnas Argentina dan Band Coldplay. Dua tokoh ini sedang berlomba untuk mendapat tiket sebagai cawapres di Pemilu 2024.
Kedatangan Tim Nasional (Timnas) Argentina ke Indonesia menjadi mata rantai perhelatan budaya populer jelang Pemilu 2024. Event olahraga ini merupakan bagian yang tak terlepaskan dari kedatangan band Coldplay ke Indonesia. Keduanya seolah-olah menjadi persaingan merebut simpati publik melalui budaya pop yang didorong netizen generasi muda. Bagaimana tidak, jika Timnas Argentina didatangkan oleh Erick Thohir, maka Coldplay dihadirkan oleh tangan dingin Sandiaga Uno.
Meskipun keduanya pejabat publik, yakni Erick sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara sekaligus Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Sandi sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), namun keduanya telah menjelma menjadi calon wakil presiden di tahun politik 2024. Survei Indikator Politik Indonesia pada Mei 2023 memperlihatkan bahwa Sandi menempati posisi pertama dengan persentase 24,5% sebagai cawapres. Sementara, Ridwan Kamil 18,3% dan Erick Thohir 15,3% berada di belakangnya.
Timnas Argentina dan Coldplay
Lantas, apa hubungannya dengan Timnas Argentina dan Coldplay? Salah satu yang menghubungkan keduanya adalah popularitas. Setelah memenangi Piala Dunia 2022, peringkat Argentina melesat. Tim ini berhasil memuncaki peringkat pertama FIFA kategori putra dengan poin 1.840,93 pada bulan April 2023. Belum lagi magnet Lionel Messi.
Kepopuleran Coldplay juga tak kalah menarik. Setidaknya hal ini terlihat dari ludesnya tiket konser band asal Inggris ini di Stadion GBK yang terjual hanya dalam hitungan menit. Padahal, tiket yang tersedia lebih dari 50 ribu penonton. Pendengar Coldplay di Jakarta bahkan mencapai 1,58 juta orang berdasarkan statistik Songstats. Keduanya sungguh populer. Hal ini dapat dilihat dari data Kompas (2023) bahwa percakapan netizen di media sosial pada 23-29 Mei 2023 menunjukkan adanya 62.982 percakapan untuk Timnas Argentina dan 60.625 untuk Coldplay.
Jika mengkombinasikan faktor Erick dan Sandi dengan kedua ikon pop itu ke Indonesia di waktu yang hampir bersamaan menjelang Pemilu 2024, maka kita dapat melihat kedatangan mereka lebih dari sekedar pergelaran seni dan olahraga. Bisa jadi karena tahun politik, kedatangan keduanya merupakan kendaraan untuk memperoleh atensi netizen, anak muda, dan pemilih pemula. Lalu, fenomena apakah yang dapat menjelaskan hal ini?
Perbincangan di ruang digital
Salah satu yang dapat menjelaskan adalah pergeseran budaya pop. Budaya pop memang tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa-peristiwa dan faktor-faktor sosial. Jauh sebelum heboh Timnas Argentina dan Coldplay, budaya pop memang lekat dengan gerakan sosial. Misalnya saja, gerakan punk yang merebak di Inggris pada sekitar akhir tahun 1970-an. Pada saat itu, gerakan punk di London mencoba untuk mendobrak kelas ekonomi yang tak setara. Contoh lainnya adalah gerakan musik rap yang tidak lepas dari perlawanan kaum kulit berwarna terhadap kebijakan Amerika Serikat yang rasial kala itu. Pergerakan ini memunculkan tokoh seperti Tupac Sakur dan Eminem.
Kedua contoh tersebut memperlihatkan nature dari gerakan musik sebagai sebuah bentuk perlawanan. Senada dengan hal tersebut, gerakan olahraga, khususnya sepakbola juga menjadi sumbu perlawanan dan pergerakan sosial. Sudah sering kita lihat bagaimana sepakbola menjadi ladang perbincangan gerakan sosial politik. Misalnya momen Piala Dunia 2022 yang menghadirkan polemik ban kapten “one love” sebagai kampanye LGBT atau pitch invader berkaos “Save Ukraina” dan “Hormati Perempuan Iran” ketika kegiatan berlangsung.
Cerita-cerita di atas memperlihatkan semangat sosial politik di dalam kegiatan olahraga maupun musik. Namun, disadari atau tidak, kini titik perbincangan tentang budaya pop dan perlawanannya bergeser ke ruang digital. Pergeseran ini dapat dilihat melalui dinamisnya hashtag sebagai bagian dari indikator pentingnya sebuah isu dibahas. Perbincangan netizen di ruang tersebut menjadikan aksi ini menarik. Sehingga, dalam beberapa hal, justru perbincangan online terasa lebih seru ketimbang offline.
Dalam konteks ini, kita harus mahfum bahwa pintu masuk popularitas budaya pop bukan lagi terletak pada aksi offline namun justru online. Tindakan online bisa jadi sebagai pancingan untuk mendapatkan magnitude yang lebih besar. Dalam beberapa hal pintu masuk ini kemudian menjadi bargaining position bagi ruang offline seperti permintaan netizen untuk menambah jumlah hari konser Coldplay. Kondisi seperti ini juga selaras dengan konteks Erick, Sandi dan cawapres Pemilu Serentak 2024.
Pintu meraih popularitas politik
Erick yang berperan besar di dalam kedatangan Timnas Argentina dan Sandi dalam hal Coldplay bisa jadi hidden agenda dalam menaikkan popularitas politik mereka sebagai cawapres. Sebagai contoh, Sandi mendapat dukungan deras menjadi cawapres Ganjar Pranowo setelah berhasil membujuk Coldplay ke Indonesia. Atau cerita mengenai elektabilitas Erick sebagai cawapres berada di posisi pertama dengan 15,5% setelah menghadirkan Timnas Argentina (IPI, 2023).
Naiknya popularitas mereka tentu saja harus dibarengi idealisme pemilih. Terlebih netizen yang saat ini didominasi oleh kaum muda yang rata-rata juga pemilih pemula. Jika kaum muda saat ini sangat mudah terbawa isu-isu populer dan tak paham makna sebenarnya, maka bisa jadi kualitas demokrasi dan politik kita akan gitu-gitu aja. Bonus demografi yang terjadi tidak lama lagi harus dimaknai sebagai pembangunan idealisme pemuda dan partisipasi politik. Idealisme ini tidak hanya dibangun melalui suapan isu populer semata.
Budaya pop sudah jadi komoditas digital dan generasi muda memiliki peranan di dalamnya, baik sebagai produsen maupun konsumen. Sebagai produsen, kaum muda mampu menggiring opini publik melalui tweet dan hashtag, sementara sebagai konsumen, kaum muda mampu menjadi filter informasi yang menjurus kepada kepentingan tertentu. Dengan filterisasi seperti ini, kaum muda bisa kritis, khususnya di dalam agenda popularitas salah satu calon politik.
Penulis: Satria Aji Imawan
Editor: Purnawan Setyo