Ya Tuhan, pilkada serentak yang meski diselenggarakan di 7 provinsi, 18 kotamadya, dan 76 kabupaten tapi rasanya seperti cuma terjadi di DKI Jakarta ini ternyata belum selesai juga. Belum selesai untuk Jakarta maksudnya. Di hari yang berdekatan dengan tamatnya Tukang Bubur Naik Haji (akhirnya!), drama pilkada Jakarta malah bersambung dua putaran. Begitulah yang disimpulkan dari sejumlah hasil hitung cepat.
Yang mengejutkan dari putaran pertama ini ialah, meski digadang-gadang bakalan jadi lawan tangguh sang petahana, ternyata perolehan suara Mas Agus Harimurti Yudhoyono melempem. Ibarat kerupuk kesiram air, gembleh-gembleh. Siapa yang bersalah? Hanya Pepo dan Tuhan YME yang tahu.
Nasi sudah menjadi bubur, walau si tukang bubur sudah tamat, kekalahan tetaplah kekalahan. Dan kekalahan akan terlihat terhormat jika mau berlapang dada menerima itu. Dan syukur alhamdulillah, Mas Agus dengan legawa bak ksatria menerima kekalahan, walau mungkin di dalam hati rasanya pengin misuh-misuh dan njuotosi orang. Jika Mas Agus butuh berkeluh kesah, Curhat Mojok akan merasa sangat terhormat menerimanya. Jangan di media sosial, Mas. Cukup bapak, ibu, istri, dan adik Mas yang jadi seleb di sana.
Dengan hasil nan syuram ini, mungkin banyak yang menyayangkan keputusan Pepo untuk menarik anaknya dari militer ke kancah politik. Bagaimana tidak? Prestasi militer cemerlang proyeksi jadi jenderal. Wajah ganteng. Lulusan Harvard. IPK summa cum laude. Istri cantik mantan artis.
Tetapi, siapa yang tahu jalan hidup seseorang. Mungkin bapaknya punya pandangan lain, yang tentu semua itu demi kebaikan anaknya juga. Bisa jadi darah politiknya Pepo mengalir di darah anak sulungnya, bukan di anak bungsu. Dan dengan hasil seperti ini, hanya nasihat yang menguatkan dan membangun yang harus diberikan. Mohon bersabar, Nak. Ini ujian. Ini perjuangan. Memang mengecewakan. Ini ujian, Nak. *SBY*
Jika memang benar prediksi para pengamat politik, termasuk Kepala Suku Mojok bahwasanya perang di DKI hanyalah pemanasan untuk Mas Agus sebelum bertarung di pilkada Jatim 2018, yang saya khawatirkan ialah apa yang harus Mas Agus lakukan untuk mengisi waktu selama satu tahun penantian itu. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk urun saran kemungkinan profesi untuk Mas Agus. Hitung-hitung sembari mengumpulkan rezeki modal nyalon tahun depan. Dan bukannya memang sudah tugas peradaban Mojok untuk memikirkan sungguh-sungguh pilihan karier calon mana saja yang kalah di pemilihan?
1. Redaktur Mojok
Ketika di debat pilkada kemarin, banyak yang mengkritik bahwa Mas Agus itu hanya modal hafalan. Kayak mahasiswa menghafal materi kuliah. Mungkin bergabung di Mojok yang notabene situs nyinyir nomor satu di Indonesia bisa melatih kecakapan Mas Agus dalam berpidato dan berdebat nantinya; ketika ditanya masalah program, bisa langsung cas cis cus menjelaskan. Apalagi bisa berguru langsung dengan redaktur kawakan sekaliber Agus Mulyadi, logat Jawa Mas Agus bakalan terasah dan terlatih. Kelancaran misuh-misuh logat Jawa bakalan mengalir lancar.
Sebab, ini medannya Jatim lho, Mas. Diperlukan pendalaman kebudayaan orang-orang Jatim. Semisal seberapa luwes Mas Agus mengucapkan “jancuk!”. Kalau Mas Agus gegabah dan menggantinya dengan “Bastard!” misalnya, wah gawat, elektabilitas pasti langsung turun. Ingat, ini pilkada Jatim, bukan Los Angeles.
Untuk masalah gaji di Mojok, jenengan bisa nego sendiri ke Kepala Suku. Hanya saja, mungkin Mas Puthut akan membatin, taek, dibayar UMR ra gelem. Mungkin lho.
2. Jualan Bubur
Masak anaknya mantan presiden dua periode dodolan bubur? Nggak apa-apa kok, wong anaknya presiden masih aktif saja nggak malu jualan martabak.
Jualan bubur bisa dimanfaatkan Mas Agus untuk berkampanye kelak. Apalagi kalau buburnya diberi nama “Bubur Cikeas”. Siapa yang tidak kenal coba. Untuk marketing-nya guampang pol. Chilli Pari corporation boleh di-buzzer-i adek sendiri, sementara Mas Agus bahkan satu keluarga sudah buzzer semua.
Kalau sudah sukses di Jakarta, buka cabang sebanyak-banyaknya di Jawa Timur. Jika saatnya kampanye, bisa dipakai untuk posko kemenangan.
3. Jadi Ustad Artis
Mas Agus pasti tahu, Jawa Timur gudangnya para ulama. Pondok pesantren tumplek blek di sana. Mulai dari Ponpes Tebu Ireng, Gontor, Lirboyo, Langitan, dan masih banyak lainnya. Bagi orang Jawa Timur, fasih misuh juga harus diimbangi dengan pengetahuan agama yang ngelotok di kepala.
Modal silaturahmi sampean dengan ulama dan habib toh sudah ada. Hanya perlu diperdalam lagi materi-materi keagamaannya. Saya yakin Mas Agus ini pintar sekali dalam menghafal.
Kalau sudah jadi ustad, tidak elok rasanya jika tidak tayang di televisi. Hitung-hitung menambah jam terbang dalam berceramah. Sepertinya mudah untuk Mas Agus punya program sendiri di televisi. Bisa meminta tolong Pak HT supaya dibuatkan himne program ceramah.
Kalau Ustad Maulana punya jargon “Jamaah, oh, jamaah …”, Mas bisa memakai jargon “Wahai jamaah”. Jika dirasa kurang gede bayaran jadi penceramah, Mas Agus bisa melebarkan sayap ke dunia akting. Bisa berembuk dengan istri dulu, karena hitungannya lebih senior. Syukur-syukur ada produser atau PH yang mau mendanai pembuatan film kolosal semacam “Misteri Candi Hambalang” atau apalah.
4. Buzzer Media Sosial
Profesi ini sebenarnya lebih sebagai melanjutkan tradis keluarga. Jika Mas Ibas sudah mengikuti Pak SBY yang bermain di Twitter, sedangkan Mbak Annisa di Path dan Bu Ani di Instagram, Mas Agus bisa mengisi kekosongan di Facebook.
5. Penyanyi Dangdut
Kenapa harus jadi penyanyi dangdut? Mas Agus jangan sewot dulu, saya bisa menjelaskan. Darah seni sudah diwariskan dari bapak jenengan. Lihat saja dalam sejarah Indonesia, baru bapak jenengan presiden yang bisa menghasilkan enam album selama satu dekade. Itu modal penting yang Mas Agus peroleh.
Jawa Timur itu gudangnya orkes melayu (OM) lho, Mas. Sebut saja OM New Pallapa yang punya fansbase SNP (Sahabat New Pallapa). OM Monata, OM Sera, OM Sagita, OM Sonata, dan masih banyak lagi om-om girang lainnya. Artinya, orang Jawa Timur (dan Jawa Tengah sebenarnya) itu penyuka dangdut, fanatik bahkan. Setiap kali ada orkes melayu di atas manggung, tidak sedikit yang datang. Malah terkadang membeludak. Dan akhir-akhir ini dangdut lebih manjur dipakai untuk mengumpulkan massa ketika kampanye.
Kalau boleh saran, kelak jika memang nyalon, pilih cawagubnya Mbak Via Vallen. Saya yakin Vianisty seluruh Indonesia mendukung. Selain itu, permasalahan di negeri ini kadang kala tidak ada artinya jika sudah berada di hadapan tabuhan koplo. Terasa menguap jika badan ini bergerak joget mengikuti irama musik.
Dan wabil khusus untuk fans album bapaknya Mas Agus, akan terobati karena sebentar lagi lagu-lagunya hadir dalam versi koplo. Bapak jenengan akan kebanjiran royalti. Sebuah lagu jika belum ada versi koplonya itu ibarat pacaran lama tetapi tidak jadi menikah.
Demikian saran-saran saya, Mas. Semua pilihan ada di tangan jenengan. Salam sejahtera dan sehat selalu.