MOJOK – Menghadapi orang tua anak-anak yang enggak peduli sama perilaku anak sendiri, tapi nuntut guru sekolah untuk membenahi semuanya itu berat. Ditambah Menteri Pendidikannya teoritis, kurikulumnya idealis, anak sekolahnya meringis, dan honor guru privatnya konsisten minimalis.
“Pipo,” panggil adik saya dari ujung telepon.
Sebelum jauh ke mana-mana, biar saya jelasin dulu dua hal.
Pertama, bukan itu nama asli saya. Orang tua saya nggak sekreatif itu. Itu cuma nama panggilan. Nama asli saya lebih pasaran dari itu. Kedua, kami memang berasal dari keluarga yang enggak mengharamkan untuk memanggil yang lebih tua dengan nama. Kecuali kepada kedua orang tua. Boleh sih, asal mau tidur di kebon.
“Ya,” sahut saya.
“Kau mau ngajarin si Okin matematika enggak? Jadi guru privatnya? Dia udah mau UN tuh. Kau kan jago matematika.” Oh jelas, gue gitu loh.
“Boleh.”
“Yaudah kau ke sini cepetan, ngomong dulu sama Kak Lita.”
“Oke.”
Sampai di sini, kalau Anda masih bertanya-tanya kenapa saya irit ngomong, berarti Anda enggak nyimak. Kan sudah dibilang, saya ini PINTAR matematika. Bukannya sombong, tapi ya itulah alibi saya. Bukankah katanya orang yang pendiam itu tandanya pintar? Meski bisa juga karena lagi nahan berak sih.
Ngomong-ngomong, itu kejadian 6 tahun yang lalu. Saat itu usia saya masih… yaa 6 tahun lebih muda dari sekarang. Pokoknya saya baru tamat SMA, dan seperti kebanyakan anak SMA yang baru lulus, saya enggak tahu mau ke mana setelah lulus. Enggak tahu mau berbuat apa setelah lulus, bahkan enggak tahu kenapa saya bisa lulus.
Maka waktu kesempatan untuk jadi pengajar alias ENGGAK NGANGGUR lagi tiba-tiba muncul, tanpa ragu langsung saya ambil. Kan daripada saya ngabisin uang di warnet, mending saya ngajar jadi guru privat. Dari ngajar bisa dapat uang, terus uangnya bisa dipake untuk ke warnet. Visioner kan?
Maka sejak itu dimulailah petualangan saya di dunia pendidikan. Enggak perlu lah ya saya flashback tentang gimana prosesnya saya yang mantan siswa telatan ini bisa resmi menyandang status guru. Eh salah, pengajar. Jangan sebut guru deh, takutnya para Bapak dan Ibu Guru terhormat yang punya ijazah sarjana dan sertifikat profesi ogah disamakan dengan saya yang ngajar cuma modal sambungan telepon.
Yang jelas, saya adalah orang yang kerjaannya memberi pelajaran pada anak-anak yang kelebihan waktu bermainnya, sehingga butuh diprivat. Dan setelah bertahun-tahun berurusan dengan bocah-bocah dari berbagai usia dan latar belakang, saya sendiri jadi belajar beberapa hal. Dan hal-hal itulah yang mau saya bagikan kepada Anda sekarang.
Pertama, watak anak tidak lain adalah produk watak orang tua. Klise sih, tapi sumpah ini bukan sok, sebagai guru privat saya berani mengklaim bahwa saya lebih tahu tentang hal ini dibanding guru sekolah.
Ya bagaimana, saya ketemu orang tua murid saya hampir setiap ngajar. Enggak kayak guru sekolah yang cuma tatap muka dengan orang tua tiap penerimaan rapor atau waktu si orang tua datang ke sekolah sambil ngomel karena enggak terima anaknya dicubit.
Nah, karena sering bertemu sebagai guru privat, saya jadi tahu karakter si orang tua seperti apa dan bagaimana hal itu bisa menciptakan karakter anaknya. Maksud saya, karakter yang sebenar-benarnya.
Dari inner beauty sampai inner ugliness-nya yang hanya muncul sewaktu orang sedang berada di daerah kekuasaannya sendiri, alias di kediamannya sendiri, saya jadi paham dan mengerti. Dan setelah saya bandingkan dengan watak anaknya, ternyata hukum sebab-akibat memang berlaku untuk urusan ini.
Jadi begini. Kalau seorang anak rajin dan disiplin, maka sering-kali musababnya adalah ketegasan yang ditampilkan dari kebiasaan sehari-hari si orang tua. Dari yang sepele-sepele. Misal, mau ada rapat RT jam 7 malam, orang tua berangkat setengah jam sebelumnya. Kondangan jam 8, orang tua sudah siap-siap berangkat sejak dua jam sebelum acara.
Si anak bisa jadi tidak memerhatikan keributan orang tuanya yang mau berangkat karena konsen lagi privat, tapi kebiasaan disiplin itu merasuk juga tanpa sadar. Dan ini berpengaruh saat pemberian materi les privat juga pada akhirnya. Usaha si anak untuk disiplin dalam belajar juga nyata terasa, hasilnya pun menyusul.
Pada sisi sebaliknya. Kalau si anak suka seenaknya sendiri, ya jelas itu adalah buah dari sikap Papi Maminya yang lembek kayak adonan nastar. Salah satu orang tua murid saya suka ngomel karena anak bungsunya sering malas merapikan mainannya.
Tapi sembari ngedumel macam-macam, malah beliau sendiri yang membereskan mainan anaknya itu. Lho piye tho, Buk? Ingin anaknya rajin dan mandiri, tapi enggak tega kalau anaknya kesusahan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Note to self: Kalau punya anak nanti jangan dibeliin Lego. Susah beresinnya.
Kedua, sistem pendidikan di negara kita tercinta ini rupanya masih begitu-begitu saja dari dulu. Itu yang bisa saya simpulkan dari curhatan murid-murid saya yang bersekolah di sekolah negeri.
Pokok perkaranya bukan materi pelajaran yang berjibun, tapi tuntutan bagi para siswa untuk menguasai semuanya itu. Seolah-olah kalau mau jadi orang sukses, seorang anak harus multi–talent: piawai dalam aljabar, hapal nama-nama raja Kerajaan Kutai, pandai menghayati puisi, plus jago senam lantai. Wat de…?
Bukankah kita setuju bahwa setiap manusia pasti punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing? Tidak ada seorang pun yang ahli dalam semua bidang, sama seperti tidak ada orang yang selalu jadi pecundang di segala aspek bukan?
Celakanya kebenaran tersebut sering alpa diterapkan justru kepada generasi muda kita sendiri. Pokoknya yang namanya anak sekolah ya nilainya minimal harus 70 untuk setiap pelajaran, titik. Kurang dari itu berarti kamu kebanyakan main Mobel Lejen!
Rupa-rupanya pemerintah—kadang juga orang tua sih—lupa bahwa bukan kiamat kalau seorang anak rada bahlul dalam urusan hitung-hitungan geometri atau fisika. Toh belum tentu dia kepingin jadi insinyur. Atau memangnya kenapa kalo dia enggak hapal anatomi tubuh kodok dan waktu praktik bedah malah celingak-celinguk? Ya kan itu berarti dia enggak cocok jadi dokter kodok. Udah gitu aja kan cukup.
Sayangnya, kenyataan yang sama selalu berulang tahun demi tahun. Pemerintahnya teoritis, kurikulumnya idealis, anak sekolahnya meringis, guru privatnya pun minimalis. Pilih privat yang murah-murah aja, yang penting setia kayak saya.
Another note to self: Kalo punya anak nanti kasih makan yang banyak biar cepet gede, karena menjadi anak-anak di negeri ini susahnya minta ampun.
Last but not least, menjadi pengajar membuat saya menyadari betapa tak ternilainya jasa seorang guru. Memang betul, sejak dari SD saya selalu diajarin kalo guru itu adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tapi baru sekarang saya sadar benar makna ungkapan tersebut.
Status pahlawan layak disematkan bukan semata lantaran guru memberikan ilmu untuk para muridnya, tapi yang lebih utama adalah karena mereka melakukannya dengan penuh kesabaran.
Dari situ saja harusnya Anda sudah paham di mana letak heroiknya. Di zaman manapun yang namanya sabar itu bukan perkara enteng. Apalagi zaman sekarang di mana makin banyak bocah kurang ajar berani melawan gurunya, yang kadang lebih tua umurnya dari orang tua si bocah.
Bahkan tidak jarang bocah-bocah ini sampai berani membentak sampai berlagak mau nempeleng gurunya sendiri. Sudah begitu itu, si guru ya cuma bisa sabar. Lha gimana? Mau ngejewer atau mencubit nanti dianggap penganiayaan berencana sama orang tua si anak. Dibiarin, dibilang enggak bisa ngajarin yang bener. Maju kena, mundur kena. Repot sudah.
Maka dari itu saya—dan juga Anda—sudah selayaknya memberi penghormatan kepada golongan pendidik yang mampu tetap tabah menghadapi tingkah barbar putra-putri harapan bangsa. Sekaligus menghadapi orang tua anak-anak yang kadang enggak peduli sama perilaku anak sendiri, tapi nuntut guru sekolah untuk membenahi semuanya. Kalau guru sekolah dianggap enggak mampu, akhirnya manggil saya untuk privatin anaknya.
Ealah, yang lepas tangan siapa, yang mbenerin siapa. Untung saja mereka bayar…
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati ~