MOJOK – Berikut adalah lima hal yang harus segera mendapat sertifikasi halal dari MUI pada bulan Ramadan, supaya lebaran besok kita benar-benar jadi bersih dan patut dicap halal pula.
Dulu saya sempet naif berpikir kalau sertifikasi halal itu hanya diberikan untuk produk makanan dan obat-obatan saja. Ealah, ternyata saya salah besar. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang diberi wewenang menerbitkan sertifikat halal oleh pemerintah—rencananya sih kewenangan sertifikasi halal ke depan akan diambil alih oleh Kementerian Agama—nyatanya ikut pula menerbitkan sertifikat halal untuk deterjen, jilbab, dan yang terbaru adalah kulkas.
Terlepas dari kontroversi yang muncul di kalangan warganet karena pelabelan tersebut, sertifikasi kerudung dan kulkas itu membuktikan satu hal: MUI telah membuktikan diri sebagai lembaga yang berhak memberikan sertifikasi halal kepada siapa dan apa saja bentuknya.
Untuk itulah, tiada salahnya bila saya mengusulkan beberapa hal yang harus segera mendapat sertifikasi halal agar Indonesia dengan umat Islam terbanyak di dunia ini bisa terbebas dari perkara haram yang bisa merusak agama, keluarga, dan keturunan.
Berikut adalah lima hal yang harus segera mendapat sertifikasi halal pada bulan mulia ini agar 1 Syawal besok kita benar-benar jadi bersih dan patut dicap halal di dahi kita masing-masing.
Pertama, APBN dan APBD.
Kita tahu pembiayaan negara selama setahun bersumber dari APBN dan APBD. Padahal, kita sebaiknya juga peduli bahwa APBN dan APBD bisa bersumber dari mana saja yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Tidak hanya bersumber dari pajak yang dipungut dari penghasilan rakyat, tapi juga bisa diambil dari pajak hotel plus-plus, tempat hiburan, perusahaan minuman keras, dan tempat-tempat maksiat lainnya.
Semuanya dikumpulkan sebagai pendapatan negara jadi satu. Yang dari tempat baik-baik, tempat kurang baik, atau tempat tidak baik tapi jadi baik karena punya ijin operasional.
Selain dana dari dalam negeri, APBN juga bisa saja berasal dari dana utang luar negeri. Sudahlah negara yang diutangi kafir, negara pendukung penindas Palestina, prosesnya riba pula. Dobel-dobel dah itu dosanya.
Untuk itulah, MUI perlu memberikan sertifikasi halal kepada APBN maupun APBD di beberapa daerah. Tentu saja, agar masyarakat senantiasa mendapatkan jaminan kehalalan. Apalagi, pada lebaran kali ini pemerintah bakal memberikan gaji ke-13 dan THR yang konon totalnya mencapai 35 trilliun rupiah.
Tentu tidak varookah kalau misalnya gaji bulanan, gaji ke-13, dan THR tidak terjamin kehalalannya dan kemudian digunakan untuk lebaran. Sudah dosa terhapus karena lebaran, eh, langsung terkontaminasi dosa lagi pas hari H karena belanja pake duit haram.
Dua, masjid.
Sudah dengar belum bahwa di Indonesia ada masjid sunah?
Kalau amalan sunah mah sudah biasa saya dengar sejak masih mondok di pesantren dulu. Tapi kalau masjid sunah, dengar baru-baru kemarin ini dan saya baru menyadari bahwa label halal dari MUI semacam ini ternyata juga penting. Tidak hanya masjid sunah, tapi kalau perlu dikasih stempel halal sekalian biar makin jelas.
Sejauh yang saya amati, harus diakui memang ada beberapa masjid yang tidak memenuhi standar suci dalam bab thaharah di kitab Fathul Qarib. Mulai dari bak mandi di WC yang tidak sampai dua qullah, takmir yang kurang paham tentang cara menyucikan najis, kloset WC yang kadang mampet dan memberikan kejutan tokai, hingga jamaah yang hanya peduli dengan batas suci, tapi tidak paham dengan batas toleransi.
Jadi saya pikir sudah saatnya sertifikasi halal ke masjid-masjid yang ada di Indonesia ini segera diupayakan. Mengingat sebentar lagi arus mudik lebaran akan dimulai. Sebab pada arus mudik nanti, akan ada lebih banyak pemudik yang menggunakan masjid sebagai tempat istirahat dibandingkan pemudik yang mampir ke masjid untuk salat.
Hal ini jelas penting bagi pemudik yang tidak sempat salat karena kecapekan, sayang sekali bukan jika tidur para pemudik ini ternyata berada di atas lantai masjid yang tidak halal?
Kalau buat pemudik yang salat sih terserah mereka, salah sendiri pilih tempat salat kok enggak lihat status masjidnya sunah atau enggak.
Ketiga, program televisi.
Untuk mengontrol program televisi, memang sudah ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun, KPI hanya memberikan teguran, itu saja ternyata kurang begitu diperhatikan oleh pemilik televisi.
Buktinya, sampai sekarang lagu “Mars Perindo” masih masuk di tangga top chart versi MNC Group selama berminggu-minggu yang jika diakumulasikan sudah sampai satu tahun lebih. Benar-benar rekor abadi yang bahkan Bohemian Rhapsody saja pasti tidak bisa mengungguli prestasi tersebut.
Selain itu, program-program hina-hinaan atau gosip murahan tetap menjadi andalan beberapa stasiun televisi untuk memperoleh rating penonton. Padahal sudah jelas sekali, kalau zaman sekarang sudah ada Lambe Turah yang lebih up to date, dasar ya kalian semua manusia goa.
Oleh sebab itu, sepertinya MUI perlu juga turun tangan dengan memberikan label halal kepada program-program televisi yang hanya menjajakan kemaksiatan dan tidak memiliki nilai pendidikan sama sekali.
Jadi, tidak perlu lagi ada label-label di pojok kanan atas televisi kita, seperti BO: Bimbingan orang tua, SU: Segala Umur, atau D: Dewasa. Besok labelnya tinggal halal, sunah, makruh, atau mubah. Jadi kalau tayangannya masuk kategori haram, ya tinggal kameranya kasih hijab hitam. Beres sudah. Ulama senang, umat bahagia.
Empat, sertifikasi halal untuk dai atau mubalig.
Tentu ini tak bisa sesederhana Kementerian Agama yang bisa dengan otoritatif merilis rekomendasi 200 dai atau mubalig minus ustaz kondyang seperti Ustaz Abdul Somad. Hanya saja, sepertinya MUI perlu juga memberikan kriteria yang jelas, siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan sertifikat ini.
Nanti biar masyarakat sendiri yang memilih; mau ustaz sunah, halal, atau ustaz honorer belum sertifikasi?
Terakhir, buku.
Usulan kelima atau terakhir, sekalian saja buku-buku yang beredar juga diberi label halal pula oleh MUI. Sehingga masyarakat yang pada dasarnya malas membaca ini tinggal melihat label halal yang ada di cover sebagai preferensi dalam memilih buku yang dapat membawa kebaikan.
Dengan adanya sertifikasi buku ini, maka tidak akan ada lagi buku-buku yang akan dibakar oleh aparat negara. Buku-buku yang dianggap berisi ide-ide kuminis yang beredar di kalangan anak muda bangsa pun tidak bakalan dibredel. Sebabnya, ya karena sudah ada cap haram di sampulnya. Artinya, membaca buku-buku itu tanpa mengerti maknanya saja sudah dianggap maksiat.
Jangan pikirkan tentang keluasan wawasan dan pentingnya berpikir terbuka, karena semua itu tidak dibutuhkan di Indonesia. Sebab yang dibutuhkan adalah kejelasan halal atau haram, titik.
Itulah kenapa jangan pernah ikut nasihat Gus Dur; daripada memberikan sertifikasi halal, lebih baik memberikan sertifikasi haram. Karena yang haram lebih sedikit ketimbang yang halal. Gitu aja kok repot!
Lho, kita ini kan emang bangsa yang repot, Gus ~