Terbang rendah, bisa melihat pemandangan indah
Pesawat besar buatan Boeing dan Airbus terbang tinggi dengan jalur yang teratur. Sementara itu, pesawat kecil Cessna Caravan justru terbang lebih rendah dan fleksibel. Dengan ketinggian terbang 25.000 kaki atau kurang lebih 7.620 meter dari permukaan air laut, penumpang Susi Air bisa melihat pemandangan indah di daratan.
Saat terbang di atas Pulau Halmahera dan Papua misalnya, saya bisa melihat laut dan hutan yang mulai gundul. Saya juga bisa memandangi atap warna warni milik warga dan kapal-kapal nelayan yang sedang berlayar di lautan lepas. Semuanya bisa saya lihat dengan jelas.
Hal tersebut berbanding terbalik saat saya naik Garuda Indonesia, Citilink, Air Asia, atau pesawat buatan Boeing dan Airbus lainnya. Saya tidak bisa melihat pemandangan indah dari dalam kabin. Dengan model jendela kecil dan ketinggian jelajah 40.000 kaki dari permukaan laut, sekalipun saya duduk di dekat jendela, pemandangan di bawah hanya tampak hitam, biru, atau hamparan awan putih saja. Nggak ada spesial-spesialnya.
Kabin Susi Air memang kecil, tapi bisa melihat aktivitas pilot real time
Ketika duduk di dalam kabin pesawat buatan Boeing dan Airbus dengan system pressurized cabin, tekanan udara dibuat stabil sehingga telinga aman dari dengungan dan penumpang bisa duduk dengan nyaman. Sistem ini juga membuat turbulensi pesawat terasa lebih kecil. Namun, ruangan kokpit terkunci, sehingga radar dan autopilot tak terlihat dari belakang.
Sebagai penumpang, saya mengetahui kondisi cuaca atau hal-hal penting lainnya dari informasi yang disampaikan pilot saja. Atau, dari bunyi ting saat lampu indikator pasang sabuk pengaman dinyalakan (tanda cuaca buruk). Intinya, kita buta situasi dan percaya-percaya saja dengan apa yang dikatakan pilot dan awak kabinnya.
Namun, hal berbeda saya rasakan saat terbang dengan Cessna Caravan Susi Air. Di pesawat kecil ini, saya merasa menjadi bagian dari penerbangan itu sendiri, bukan sekedar penumpang atau benda mati.
Saya bisa melihat berbagai macam tombol indikator, altimeter, GPS terrain display, sampai joystick di ruang kemudi pilot. Ya karena tidak ada sekat yang membatasi penumpang dan pilot Susi Air.
Saya bisa tahu persis kapan pesawat menanjak, berbelok, atau saat sedang menerobos rintik hujan. Kondisi kabin yang tidak bersekat dan kecil ini meningkatkan situational awareness saya sebagai penumpang. Saya merasa seperti sedang terbang dengan keseruan yang nyata.
Pesawat besar buatan Boeing dan Airbus memang unggul soal kapasitas, kemewahan, dan kecepatan. Akan tetapi, Susi Air unggul dalam hal yang lebih penting, yaitu membuat saya merasakan terbang yang sesungguhnya.
Saya tidak sekadar dipindahkan dari kota A menuju kota B. Saat itu, saya sedang berada dalam perjalanan bernyawa yang terasa menegangkan sekaligus menyenangkan.
Bagi orang-orang yang suka memicu adrenalin, naik Susi Air akan terasa lebih menarik dan menyenangkan ketimbang naik wahana roller coaster berbayar. Cobain, deh.
Bukan hanya koper, badan juga wajib ditimbang
Pesawat Cessna Caravan Susi Air itu kapasitasnya kecil. Hanya muat kurang lebih 12 penumpang saja dengan berat maksimum take off (MTWO) 3.995 kilogram. Sebelum naik pesawat, seluruh barang bawaan dan berat badan penumpang harus ditimbang.
Kalau bobot badan kamu lebih dari 100 kilogram, siap-siap saja pilot meminta kamu duduk di kursi tengah. Karena kalau kamu duduk di pinggir (dekat jendela) berpotensi membuat pesawat miring atau tidak berimbang.
Dalam penerbangan Garuda Indonesia, Lion Air, Citilink, atau pesawat besar lainnya, akan sangat sulit bagi penumpang untuk berinteraksi langsung dengan pilot. Boro-boro bisa bicara dengan pilotnya, seringnya saya malah tidak tahu wajah pilotnya.
Sementara kalau naik Susi Air, pilot sendiri yang mengatur posisi duduk penumpang agar pesawat terbang dengan stabil dan nyaman. Bahkan, saya juga bisa melihat aktivitas pilot secara real time. Bagaimana cara pilot menaikkan tuas, apa yang dilakukan pilot selama penerbangan, sampai camilan apa yang dimakan pilotnya. Ternyata kebiasaan pilot tak jauh berbeda dengan supir Grab, suka ngemil dan minum kopi juga selama berkendara di udara.
Take off dan landing Susi Air tidak menegangkan, tapi menyenangkan
Take off dan landing pesawat adalah momen yang paling berbahaya dalam semua penerbangan pesawat udara. Saat berada di kabin pesawat Boeing dan Airbus, momen ini biasanya terasa menegangkan.
Namun, saat naik Susi Air, moment take off dan landing selalu terasa berbeda di setiap penerbangan. Bentuk pesawatnya yang mungil dengan kaca lebar memungkinkan saya melihat panorama luas tanpa batas. Itu artinya, pemandangan di setiap bandara akan terasa berbeda-beda.
Selain itu, jendela Susi Air itu luas. Tekanan udara di dalamnya tidak berbeda dengan atmosfer. Ini membuat saya merasa seperti burung yang sedang menanjak ke langit saat take off dan menukik ke daratan saat landing.
Lantaran pesawat Susi Air kecil dan mudah melakukan manuver, saat akan landing di bandara yang sibuk, pesawat ini sering harus “mengalah” dengan pesawat besar buatan Boeing dan Airbus. Pilot pesawat Susi Air biasanya akan berputar-putar di sekitar bandara sampai otoritas bandara mengijinkan masuk.
Momen yang harusnya menjengkelkan tersebut, justru selalu bisa membuat saya bahagia. Sebab, saya bisa melihat pemandangan di sekitar bandara lebih lama. Apalagi jika bandarnya berada di pulau-pulau kecil Indonesia dengan pemandangan luar biasa indahnya.
Jadi bagaimana? Kapan kalian mau mencoba naik Susi Air juga?
Penulis: Tiara Uci
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Menghitung Kekayaan Susi Pudjiastuti, Menteri Kesayangan Umat dan pengalaman seru lainnya di rubrik OTOMOJOK.












