MOJOK.CO – Minimal buat stop and go di jalan perkotaan, Honda Vario saya ogah kalah sama yang muda-muda. Paling enggak akselerasi awal bisa lebih baik lagi.
Honda Vario 110 kelahiran tahun 2008 menjadi pilihan hati saya sejak Februari 2017. Honda Vario ini saya pinang dengan mahar Rp4,5 juta. Saya nggak tahu mahar segitu worth it atau enggak untuk sebuah matic bekas. Saya juga nggak punya pilihan lain karena udah nggak punya motor lagi waktu itu.
Satu-satunya yang menjadi pertimbangan, karena pemilik pertamanya adalah kawan bapak saya. Ibarat sebuah perjodohan dari bapak dan kawannya, ya akhirnya saya terima-terima aja ketika ditawarin Honda Vario ini. Soalnya bapak saya udah terlanjur yakin banget kalau si Vario kondisinya masih tokcer.
Menurut bapak, di usia Honda Vario yang menginjak 9 tahun—pada 2017—dan kilometer baru menyentuh 40.000-an artinya “bebek” ini nggak pernah jalan jauh-jauh. Ditambah lagi pengakuan dari pemilik awalnya, bahwa motor ini cuma dipakai buat antar jemput anak sekolah, ke warung, ke pasar, dan aktivitas rumah tangga lainnya.
Wah boro-boro touring dari Bekasi sampai ke KM 0 Indonesia di Sabang sana, keluar komplek perumahan aja, baru 20 menit langsung pulang lagi. Alasan Honda Vario ini dijual karena si Pemiliknya kepengin motor baru lagi, yakni Honda Scoopy.
Setelah “ijab kobul” berjalan lancar Honda Vario diboyong ke rumah. Entah saya merasa beruntung atau enggak, mengingat motor ini secara keseluruhan memang dalam keadaan sehat. Setelah saya cek semuanya di rumah, yang pasti saya merasa senang karena udah bisa dapetin motor bekas dengan jeroan mesin dan daleman CVT-nya masih standaran. Belom dioprek macam-macam. Masih orisinil.
Kelistrikan masih tokcer. Klakson udah diganti sih, pakai merek Denso—yang nyaringnya kek kelakson Avanza. Lampu sign kanan-kiri, oh jelas masih oke. Tombol starter cukup sekali pencet aja, mesin motor langsung greeeng. Dan bonusnya pajak masih bisa bernafas panjang. Ya jalan 7 bulan kemudian baru jatoh tempo lagi. Plat nomor masa berlakunya juga sampai 19 bulan ke depan. Poin tambahnya, saya jadi ada waktu menabung lagi buat biaya balik nama.
Tapi sebetulnya Honda Vario 110 bekasan ini nggak 100% prima. Okelah belum pernah turun mesin, CVT masih bawaan parbik, body mulus, dan kelistrikan lancar. Tapi soal performa—aduh, kasihan sekali—Vario ini terabaikan. Lemotnya itu loh, minta ampun! Tarikan awal nggak smooth banget. Top speed mentok di angka 80 KM/Jam. Boro-boro top speed-nya jos, akselerasinya aja sungguh tyyyda responsif banget.
Merasakan larinya yang nggak gesit tapi bensin tetap boros—full tank Cuma bisa nempuh 25-an KM, saya mendapat pemahaman sekaligus pemakluman dari teman-teman. Katanya, udah terima aja, maklum motor udah tua umurnya lebih dari satu dekade. Oh, bagi saya nggak bisa kayak gitu. Vario 110 karbu ini wajib menolak tua.
Baru satu dekade kok mau-mauan dibilang motor tua. Malu dong sama si Pitung atau Honda CB yang masih sanggup kejar-kerjaran dengan Honda Tiger. Okedeh, Pitung sama CB memang mengaplikasikan mesin jahat, jadi nggak apple to apple. Tapi, soal usia? Mereka berdua menolak punah. Sekali lagi Honda Vario 110 karbu wajib juga me-no-lak tua sebab umur segitu itu nggak ada apa-apanya dibanding para pendahulu.
Honda Vario 110 generasi pertama yang masih bermesin karburator, kalau dibandingkan keiritannya memang nggak bisa head to head dengan Honda Vario generasi termutakhir yang berteknologi injeksi. Tapi secara akselerasi, ayok lah, jangan mau kalah sama adik-adiknya. Saya yakin banget banyak cara buat mengembalikan akselerasinya.
Dari kasus Honda Vario 110 karbu milik saya yang lemot itu, paling enggak ada beberapa hal yang saya lakukan. Nggak ekstrem sih, masih standaran, dan tergolong biasa-biasa aja. Nggak ada yang istimewa juga tapi efeknya cukup terasa.
Pertama, saya garap bagian karburator. Ternyata kondisi choke otomatisnya udah nggak befungsi. Jarum dari choke itu patah, jadi pantas aja bensin bisa boros lantaran lubang udara choke yang seharusnya tertutup malah terbuka. Bisa aja saya akalin agar tertutup secara permanen, tapi saya lebih milih untuk menggantinya.
Toh harga choke otomatis di online shop masih terjangkau dan layak untuk ditebus. Mau yang KW super juga ada. Terus saya juga ganti karet vakum karburator sebab kondisinya yang udah kaku kek kanebo kering dan juga retak-retak kayak hati ini kalau teringat mantan. Spare part itu saya tebus juga di olshop. Selebihnya part yang lain, main jet, dan pilot jet Honda Vario ini kondisinya masih layak pakai tanpa cacat fisik.
Kedua, yang saya perhatikan lagi adalah filter udara. Saat itu memang filternya udah mampet banget akibat dari kotoran yang menyumbat. Masih bisa diselamatkan sih, dengan cara dibersihkan tapi ya kudu sabar sebab kondisnya cukup parah. Kalau ibarat manusia nih, tu motor udah nggak bisa nafas lagi lewat hidung karena umbelan.
Akhirnya saya ganti baru aja, sekalian belanja choke otomatis dan karet vakum di olshop. Kadang saya mikir, pengin sih pakai filter udara aftermarket yang berbahan stainless itu, yang katanya bisa dipakai seumur hidup, yang bersihinnya cukup diguyur air aja. Tapi melihat harganya yang sampai menyentuh angka Rp500-an ribu, kok ya eman duitnya. Lebih baik saya upgrade CVT aje, Lur~
Ketiga, ngecek kondisi busi Honda Vario ini. Kalau memang elektrodanya udah menipis, ya monggo diganti. Kalau masih ciamik, ya cukup dibersihkan aja. Terus saya lanjut ke setting celah klep sesuai standar pabrikan yakni 0.16 mm untuk klep in dan 0.27 mm untuk klep ex. Boleh lebih dan boleh kurang, toleransi 0.02 mm. Boleh setting pakai fuller boleh juga pakai felling. Intinya dibikin enak aja, Lur~
Keempat, saya cek kondisi CVT. Saya pastikan roller nggak berubah bentuk jadi elips atau kotak, rumah roller nggak haus atau terkikis, dan v-belt belum terkikis atau retak-retak. Sekalian juga saya bersihin pulley belakang dan melumasi ulang dengan grease khusus CVT. Yang saya perhatikan lagi kampas ganda dan mangkok ganda Vario harus dalam kondisi bersih dan menapak sempurna agar nggak terjadi slip.
Setelah semua itu saya pastikan bagus dan dalam kondisi layak pakai, hasilnya syukur alhamdulillah performa Honda Vario saya terasa perubahannya. Tarikan awal nggak lemot lagi, asupan bahan bakar full tank bisa menempuh jarak sampai 50an KM—udah termasuk macet-macetan dan berboncengan sama istri. Indikator bensin nggak sampai kering sih, masih di warna merah.
Top speed-nya udah bisa sampai 100 KM/jam dengan track lurus yang pastinya harus puanjaaang banget. Ya kan rasanya nggak mungkin bisa tembus 100 KM/jam dalam jarak 200 meter dengan kondisi mesin standar ting ting pula. Itu kalau saya pakai sendiri, yaaa.
Kalau boncengan sama istri lain cerita, nggak bakal sampe 100 KM/jam. Boro-boro segitu, baru nyentuh 60 km/jam aja udah kena limiter. Lebih dari itu kepala saya langsung dikeplak sama istri sambil bilang, “Pelan-pelan, hoy!!!” Wqwqwq~
Emang sih Honda Vario 110 karbu punya saya belum bisa menempel larinya si Honda Vario 125 cc atau 150 cc. Tapi minimal buat stop and go di jalan perkotaan ogah kalah sama yang muda-muda. Paling enggak akselerasi awal bisa lebih baik lagi. Yang penting udah berusaha untuk menolak tua.
BACA JUGA 5 Motor Bekas yang Paling Diburu atau perjuangan merawat motor lainnya di rubrik OTOMOJOK.